Thursday, March 09, 2006

Moskwa-3

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

Bagian III


Nye slishni v sadu dazhe sorakhi
vso zdish zamerla do utra
yesli vzhani vei kak mnye dorogi
pod moskovnie vechera

Sebait nyanyian khas tentang keindahan dan ketenangan desa di sekitar kota Moskwa mengantar ingatanku pada hari ketiga di Rusia. Lagu tersebut sebenarnya untuk Leningrad, kota terbesar kedua di Rusia yang sekarang bernama Sank Petersburg. Syair asli saat dibuat pada reffrein adalah: Leningradskie vecera, tapi karena ‘permintaan’ penguasa, saat launcing diubah menjadi lagu Moskwa.

Hari ketiga di Rusia. Dingin masih terus menerpa. Menelisik di antara daun jendela yang tidak rapat. menghantarkan kebekuan dan nuanasa sepi yang mendalam.
Musim dingin menyajikan malam yang lebih panjang dari siang. Matahari sangat sulit ditemui. Meskipun cahaya temaramnya telah nampak di pagi hari, namun wajahnya bias tersamar tirai kabut dan salju yang luruh terbawa angin.

Badanku yang buatan Indonesia, masih belum beradaptasi dengan iklim kutub ini. Dan waktu 2 hari belum cukup membayar keletihan akibat perjalanan panjang dengan pesawat selama 20 jam. Jet-Lag! (baca: Jetlek!). Irama tubuhku masih mengikuti irama tropis. Padahal perbedaan waktu 4 jam amat signifikan mempengaruhi kinerja di sini.

Bangun tidur di tanah air pukul 05, berarti baru pukul 01 malam, masih dini hari. Sementara sore hari di Moskwa pukul 18, berarti pukul 22 di Indonesia, so sudah berat rasanya mata untuk tetap berjaga. Tetapi, alhamdulillah, dibalik itu semua mengandung hikmah, tidak sulit bagiku untuk bangun malam dan sujud kepada Yang Maha Kuasa.

Vi musliman? Namas sitali?
Anda muslim? Anda mengerjakan sholat?
Dua pertanyaan unik saat aku bertemu mencoba berbicara dengan beberapa pekerja Rusia yang ternyata dari suku bangsa Kirghiztan. Tholik dan Hasan nama kedua pekerja tersebut. Mereka pekerja yang rajin, hampir selalu datang paling awal dari yang lain, karena memenag tuga mereka mengeruk salju dan membersihkan parkir dari bongkahan es yang licin dan menebal.
Tholik dan Hasan juga muslim seperti diriku, tetapi sayang mereka belum mau untuk sholat.
Jawabannya selalu sama saat kuajak sholat: Patom! yang artinya dalam bahasa betawi: Entar!

Urusan sholat memang butuh perjuangan untuk mau menegakkannya dengan konsisten. Perubahan iklim mengakibatkan perubahan ‘jam tayang’ matahari. Itu berarti waktu sholat amat dinamis mengikuti perubahan musim.

Hari ini, subuh baru bertabuh 06.30, zhuhur datang menegur pukul 12.50, ashar siap digelar pukul 14.30, dan maghrib menyisip pukul 16.40 sementara Isya telah tiba pukul 18.00. Praktis harus selalu bawa jadwal sholat kemana-mana agar tidak kelewat.
Sampai hari ini, masih kumanfaatkan rukhsoh untuk menjama’ dan mengqoshor sholat. Subuh sebelum sarapan pukul 06.30, zhuhur dan ashar pukul 13.15 saat istirahat makan siang, maghrib dan isya sepulang bekerja pukul 18.00 saja. Alhamdulillah, inilah rupanya makna Islam itu mudah dan memudahkan. Selalu ada cara untuk tetap berada di jalanNya.

Hari ini ada undangan untuk berkunjung ke rumah sekretaris dubes, Pak Adi Prajitno. Seorang lokal staf senior yang murah senyum, bersahaja, dan tampak berusaha ‘mengemong’ kami, guru-guru yang baru tiba di Moskwa. Pak Adi dan keluarga sudah lama di sini, lebih dari 10 tahun lamanya. Pak Wawan, seorang guru senior, menjemputku dan Pa Nandang di KBRI.

Mobil zhiguli sederhana membawaku ke arah barat Moskwa. Arah selatan KBRI melalui Paveletsky, masuk ring utama Sadovaya, dan melaju terus melewati Dobrininskaya, Park Kulturi atau yang dikenal dengan Gorky Park, menyeberang jembatan besar tertua di Moskwa: Kuznetsky Most, terus melalui pertigaan Smolens dimana terdapat gedung MID, Minister Inostrani Del (Departemen Luar Negeri) Rusia --salah satu dari 7 gedung megah Stalin, melalui perempatan Novi Arbat, lalu berbelok ke kiri arah Gruszinsky.

Sebuah apartement untuk diplomat dan orang asing, UpDK (Upravlenia po obsluzhivaniyu Diplomaticheskawa Korpusa) terletak di belakang stasiun metro Belorusskaya dan tidak jauh dari Zoopark Moskwa, Gruzinsky. Di sanalah tinggal 5 keluarga Indonesia, termasuk Pak Adi dan keluarga. Kedatangan kami disambut dengan ramah. Hidangan berbagai makanan cita-rasa Indonesia cukup membayar kerinduan lidahku yang telah 3 hari hanya makan nasi dan sarden. Perlu latihan untuk mulai terbiasa makan roti tawar Rusia—baton, dan berbagai masakan khas setempat yang belum cocok dengan lidah ‘penuh bumbu’ Indonesia.

Pembicaraan hangat seputar pengalaman sebelum menjadi guru di Sekolah Indonesia Moskow (SIM), nasehat dan saran untuk tinggal di megapolis Moskwa mewarnai obrolan kami. Kisah menarik yang dituturkan Pak Adi adalah tentang pengalamanya masa Uni Sovyet saat tiba di Moskow tahun 1989. Situasi komunis membuat semua orang asing ‘eksklusif’. Orang Rusia dilarang berbicara panjang, bersikap kasar, marah, berinteraksi dengan orang asing, apalagi bertamu. Semua harga amat murah. Dengan uang 1 rubel, sudah terbeli roti dan lauk pauknya. Hanya saja harus antri dan dibatasi jumlahnya. Setiap kepala hanya bolah membeli satu roti baton. Adapun setiap kepala keluarga satu hari hanya boleh membeli satu baket sembako, berisi misalnya sekilo gula, 100 gram teh, 100 gram kopi, sekilo terigu, dan beberapa bahan lain. Lebih dari itu, Nyelza!! Penjual adalah raja, dan pembeli harus hormat kepada penjual.
Bu Adi menuturkan penggambaran kondisi itu saat berbelanja: Saya sudah antri sampai satu jam lebih, ternyata hanya dapat 2 butir pisang, padahal anak-anak sudah menanti di rumah menunggu makanan. Aduh, sampai bercucuran air mata saat pulang ke rumah. Apalah gunanya punya uang, kalau barang tidak ada.

Zaman Uni Sovyet tidak ada rakyat yang memiliki kendaraan, kecuali anggota utama Partai Komunis, orang-orang pemerintah. Jalan-jalan yang luas hanya dilewati kendaraan umum, kendaraan berplat merah—korps diplomatik, dan pejabat pemerintah. Hampir tidak ada kendaraan buatan luar, hampir semuanya buatan Rusia. Moskvich, Lada, Niva, Zhiguli, Wolga, Gazel dan lain-lain. Jalan-jalan terasa lapang dan lengang. Tidak pernah ada istilah macet.

Saat itu, penduduk Moskwa tidak lebih dari 7 juta orang. Padahal Moskwa sangatlah luas, mungkin 2 kali luas Jakarta. Mobilitas penduduk Moskwa saat itu cukup terfasilitasi kendaraan umum yang amat bervariasi di sini, terutama kereta bawah tanah, Metro. Kemanapun tempat di Moskwa bisa dicapai dengan kendaraan umum: avtobus—bis, trolibus—bis listrik, tramvai—trem, masrutnoye taksi—seperti mikrolet.

Saat itu, segala fasilitas umum bebas bea alias gratis! Pendidikan gratis, sekolah gratis, kuliah gratis, taman hiburan gratis, kendaraan umum gratis, kalaupun harus membayar jauh di bawah bayangan kita. Mau nonton pertunjukkan, opera, balet, sirkus, semua mudah di dapat di Moskwa, dan amat murah. Rakyat Uni Sovyet memang dimanjakan dengan kemudahan seperti itu, sebagai kompensasi pelarangan kebebasan berpendapat.

Moskwa, 23 Januari 2000