Wednesday, April 05, 2006

Moskwa-4

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki


Bagian IV

Senin, 24 Januari 2000
Hari pertamaku bekerja! segala sesuatunya harus beres. Jangan ada yang ketinggalan untuk dibawa: Kepercayaan diri dan penampilan prima.

Pagi hari, pukul 08.45 dengan langkah mantap aku berjalan ke arah gedung kecil di sebelah selatan KBRI, Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Gedung berbentuk huruf L bersebelahan dengan tempat tinggal duta besar, Wisma Duta.
Gedung tersebut penah menjadi poliklinik saat keseluruhan komplek merupakan Rumah Sakit Anak-anak. Setelah difungsikan sebagai kedutaan RI tahun 1954, gedung mungil di sudut utara tersebut menjadi tempat tinggal lokal staf jaga dan ruang kursus sebelum akhirnya menjadi Sekolah Indonesia.

Sekolah Indonesia di Moskwa telah ada sejak zaman orde lama, yaitu tahun 1963. Saat itu Duta Besar RI, Manaai Sophian, amat prihatin dengan ketiadaan lembaga pendidikan bagi anak-anak staf kedutaan. Kondisi politik stempat tidak memungkinkan mereka bersekolah di sekolah Sovyet. Situasi setelah peristiwa G30S semakin mendukung dibutuhkannya sekolah tersebut, untuk itu diajukan permohonan ke Jakarta. Hasilnya, pada tanggal 1 Agustus 1968, SIM dikukuhkan oleh SK menteri P dan K No. 06/P&K/1968 sebagai sekolah Indonesia di luar Negeri di bawah naungan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan bekerjasama dengan Departemen P dan K.

S nova v shkola!
Saat langkah kakiku memasuki aula SIM berukuran 6 x 8 m, para siswa yang berjumlah 25 orang dari tingkat TK hingga 3 SMU telah berdiri dengan rapi. Mereka mengenakan seragam jas dan celana biru dongker, hem putih, dasi merah, dan sepatu hitam. Suasana dingin di luar segera terbayar dengan kehangatan dalam ruangan dan senyum-senyum kecil anak-anak Indonesia.
Perkenalan singkat setelah upacara membuat keakraban tercipta. Suasana grogi yang sempat bersemayam dalam hati serta merta dapat kuantisipasi. Bu Erna Kusmaningsih, kabid Pensosbud KBRI Moskow, yang merupakan PJS Kepala SIM menghantarkan perkenalan kami.

Siang hari, saat istirahat siang, Pak Sholihin, Kaunit Komunikasi KBRI, mengajakku makan siang di luar KBRI. Pak Solihin adalah pejabat yang memperjuangkanku hingga dapat menorehkan sejarah hidup di Moskwa ini. Beliaulah yang merekrut kami --guru-guru baru—sejak dari wawancara, pengurusan berkas, keberangkatan, kontak Moskwa-Indonesia, hingga perkenalan di KBRI 3 hari yang lalu.

Kami berjalan kaki ke arah barat melintasi Pyatnitskaya Ulitsa, arah Metro Tretyakovskaya, dan singgah di restoran khas Rusia “Yolki Palki”. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa gaul artinya “Bodo Amat!”. Pak Abdullah yang turut mendampingi kami menjadi juru pesan jenis makanan yang akan kami makan. Ia cukup berpengalaman urusan hidangan Rusia yang ‘aman’ dimakan.

Dabro pozhalovath v nasyem restorane!
Urusan mengisi perut di Moskwa, tidaklah sesederhana di Indonesia dahulu. Bukan lantaran ketiadaan uang atau selera yang berlainan, tetapi status halal haram tentu harus selalu didahulukan. Di restoran ini tersedia berbagai jenis makanan yang menarik ala Rusia dan dari negri-negri sekitarnya. Makanan pembuka kami adalah salad berbagai sayuran dan buah-buahan. Tentu jangan dibayangkan akan selengkap sayur dan buah-buahan tropis. Sebagai bumbu pencampur salad ada banyak pilihan rasa, misalnya minyak olive, maionez, keju cair, dan lain-lainnya yang tidak kuketahui namanya. Jangan harap akan ditemukan sambel terasi, bumbu pempek atau sambel pecel. Selain di Rusia tidak mudah diperoleh cabe, juga budaya mereka yang tidak suka pedas. Sambel kecap yang mereka hidangkan lebih tepat disebut saus tomat asam-asin . Agak nano-nano rasanya!

Priyatnawa appetita!
Makanan kedua terhidang kepada kami sup bors merah tanpa daging dan roti baton khas Rusia. Lalu menyusul hidangan utama 2 pilihan: nasi plof atau pure kentang dengan lauk jamur. Dan hidangan kami ditutup dengan buah-buah segar: anggur, apel, dan pir. Sari buah jeruk dan teh hangat melengkapkan makan siang kami dan mengakhiri pengalaman pertama kami makan di restoran Rusia lebih dari 1 jam. Pelayan yang sedari tadi melayani kami mengucapkan terima kasih dan mengantar kami ke pintu keluar dgn ‘senyum dingin’ mereka yang khas.
Spasiba bolshoi, prikhodite k nam isyo!

Setelah makan siang, Pak Abdullah menyempatkan diri menukarkan uang di dekat stasiun metro Tretyakovskaya. “Orang Rusia tidak percaya dengan rubel mereka sendiri” komentar Pak Sholihin. Sejak dulu, apalagi pasca runtuhnya Uni Sovyet, bank-bank Rusia selalu terancam bangkrut dan uang rakyat yang simpan raib entah kemana. Sehingga kebanyakan orang Rusia, terutama penduduk Moskwa menyimpan uang dalam dollar di rumah mereka sendiri. Jika hendak berbelanja, barulah mereka tukarkan di ‘obmen valyuty’ yang banyak terdapat di hampir setiap perempatan jalan dan tempat strategis. Apalagi nilai rubel beberapa kali mengalami penurunan drastis. Pada masa akhir komunis tahun 1990, nilai 1 dollar sebanding dengan 1 rubel. Tetapi pada tahun 1997 nilai 1 dollar sudah mencapai 6 rubel. Setelah itu terjadi krisis moneter yang amat parah sehingga tahun 2000 nilai 1 dollar telah mencapai 28 rubel!! Kalau dibandingkan dengan krisis moneter di tanah air, maka kondisi Rusia sebenarnya jauh lebih parah. Hanya saja, latar belakang budaya kerja, sumber daya alam dan energi yang belimpah, dan supremasi hukum yang terkendali membuat Rusia tidak mengalami kehancuran dan krisis berkepanjangan. Kini sudah tampak begitu gencar pembangunan di berbagai sudut kota Moskwa.

Sore hari, setelah sekolah usai dan sholat magrib telah kutunaikan, aku beranikan diri berjalan sendiri ke luar pagar KBRI. Angin dingin minus 18 derajat selsius sedikit membuat gemeretak gigi dan memerahkan pipi. Ternyata saran sekuriti KBRI –Pak Tursino—untuk menggunakan krim kulit jika keluar gedung benar-benar harus diindahkan. Udara dingin bukan hanya membuat kulit membeku, kelembaban yang rendah kurang dari 20% dapat menimbulkan dehidrasi fatal.

Langkah kakiku berayun menyusuri Ulitsa Novokuznetskaya hingga perempatan Visnyakovski Pereulok. Sebuah ‘Gastronom’ yang menjual bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari berada di sudut gedung di pojok perempatan itu. Sejak zaman komunis, toko-toko yang menyediakan makanan dan kebutuhan sehari-hari tersebar di setiap blok.

Di Moskwa dan kota-kota besar lain di Rusia terdapat toko-toko yang menjual makanan dan bahan kebutuhan sehari-hari di jalan-jalan kecil yang disebut Produkti. Toko yang berukuran sedang yang terletak di jalan-jalan yang cukup besar disebut Gastronom. Sedangkan toko-toko besar di jalan utama disebut Universam. Aku beranikan diri untuk melihat ke dalam gastronom dan membeli sesuatu di sana. Beberapa potong roti kecil—pirozhki terdiri dari sochnik (berisi tvorog), pakhlava (berisi kacang mindal), ekler (dilapis coklat cair) dan sebotol coca cola berhasil kubeli. Dan seperti biasanya para penjual yang kutemui selalu memberikan bonus ‘sikap dingin’ dan tidak mau peduli. Masih perlu waktu untuk mengubah kultur mereka menghargai pembeli.

Sekembalinya dari gastronom, kusempatkan diri mampir ke ruang piket KBRI. Pak Dasep tengah bertugas saat itu didampingi Pak Setro Martoyo yang murah senyum. Percakapan ringan kami seputar aktivitas di KBRI dan suasana Mokwa di musim dingin menjadi menarik dengan hidangan pirozhki yang kubawa dan mie instan yang disediakan Mas Toyo, panggilan dari Bapak Setro martoyo. Pak Dasep telah 5 tahun di Moskwa. Ia cukup banyak mengetahui seluk beluk ‘desa’ ini. “Musim dingin adalah ciri khas Moskwa” tuturnya. Biasanya musim dingin dimulai awal Nopember. Salju pertama turun di pertengahan November. Musim dingin berlangsung amat panjang hingga akhir Maret tahun berikutnya. Berarti hampir 5 bulan lamanya Moskwa diselimuti salju. Jika kita jalan-jalan ke luar kota Moskwa, banyak sekali lokasi yang tidak dapat dicapai pada musim dingin. Jalan-jalan menuju ke desa-desa dan lokasi terpencil pada pertengahan Januari tertutup salju hingga 1,5 meter! “Kalau di Moskwa sih tidak masalah” timpal Mas Toyo. Pemerintah ibukota memiliki instansi khusus yang rutin mengeruk salju hampir setiap hari. Hanya saja jalan-jalan menjadi sempit karena salju di tengah jalan disingkirkan ke sisi jalan. Apalagi mobi-mobil penduduk Moskwa diparkir di kiri-kanan jalan, maka jalan 2 jalur menjadi tinggal 1 jalur dan membuat kemacetan berkepanjangan.

Aku teringat kisah Pak Adi kemarin. Penduduk Moskwa seluruhnya tinggal di kwartira (apartemen) dalam gedung-gedung bertingkat yang disebut dom. Tinggi dom bervariasi antara 5 hingga 16 lantai. Dom berlantai 5 tanpa lift dibangun masa pemerintahan Stalin. Kwartir di dom Stalin berukuran besar, tinggi (lebih dari 3 meter), terdiri atas 3-8 komnata (ruangan) selain kamar mandi dan dapur, dan memiliki tangga panjang yang landai. Kwartir tersbut diperuntukkan untuk pegawai pemerintah dan anggota CC Partai Komunis, sehingga banyak terdapat di pusat Moskwa.

Pada masa pemerintahan Kruschov dilakukan pembangunan dom secara massal untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal rakyat. Dom Kruschov terkenal sederhana, kecil, dan kommunal. Kamar mandi dan dapur pada setiap lantai dibuat terpadu, sehingga semua penghuni dalam satu lantai menggunakan kamar mandi dan dapur secara bersama (kommunal). Dom dibangun berlantai 6, tanpa lift, dan tersebar di bebagai penjuru Moskwa.

Setelah Kruschov lengser dari pemerintahan tahun 1967, pemerintahan Brezhnev melakukan kebijakan pembangunan dom yang menghemat penggunaan lahan. Dom dibuat berlantai 16, menggunakan lift ganda (besar dan kecil), ukuran kwartira standart 2--4 komnata, dan setiap dom dilengkapi dengan produkti, taman bermain anak, dan taman-taman kecil sebagai paru-paru Moskwa.

Masalahnya, semua tata kota Moskwa menggunakan prinsip proletariat. Semua warga Moskwa tidak diperkenankan memiliki kendaraan pribadi. Untuk transportasi, negara telah menyediakan berbagai macam fasilitas seperti bis(avtobus), bis listrik (tralibus), trem (tramvai), mikrobis (masrutnoye taksi), dan kereta bawah tanah (metro). Karena itu semua dom yang dibangun tidak diperlengkapi dengan garasi mobil. Alhasil, pasca perestroika dan glasnost, rakyat Moskwa yang euphoria dengan kebebasan berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Karena tidak memiliki garasi pribadi, mereka menjadikan sisi jalan sebagai tempat parkir. (Bersambung ke Bagian 5).

Thursday, March 09, 2006

Moskwa-3

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

Bagian III


Nye slishni v sadu dazhe sorakhi
vso zdish zamerla do utra
yesli vzhani vei kak mnye dorogi
pod moskovnie vechera

Sebait nyanyian khas tentang keindahan dan ketenangan desa di sekitar kota Moskwa mengantar ingatanku pada hari ketiga di Rusia. Lagu tersebut sebenarnya untuk Leningrad, kota terbesar kedua di Rusia yang sekarang bernama Sank Petersburg. Syair asli saat dibuat pada reffrein adalah: Leningradskie vecera, tapi karena ‘permintaan’ penguasa, saat launcing diubah menjadi lagu Moskwa.

Hari ketiga di Rusia. Dingin masih terus menerpa. Menelisik di antara daun jendela yang tidak rapat. menghantarkan kebekuan dan nuanasa sepi yang mendalam.
Musim dingin menyajikan malam yang lebih panjang dari siang. Matahari sangat sulit ditemui. Meskipun cahaya temaramnya telah nampak di pagi hari, namun wajahnya bias tersamar tirai kabut dan salju yang luruh terbawa angin.

Badanku yang buatan Indonesia, masih belum beradaptasi dengan iklim kutub ini. Dan waktu 2 hari belum cukup membayar keletihan akibat perjalanan panjang dengan pesawat selama 20 jam. Jet-Lag! (baca: Jetlek!). Irama tubuhku masih mengikuti irama tropis. Padahal perbedaan waktu 4 jam amat signifikan mempengaruhi kinerja di sini.

Bangun tidur di tanah air pukul 05, berarti baru pukul 01 malam, masih dini hari. Sementara sore hari di Moskwa pukul 18, berarti pukul 22 di Indonesia, so sudah berat rasanya mata untuk tetap berjaga. Tetapi, alhamdulillah, dibalik itu semua mengandung hikmah, tidak sulit bagiku untuk bangun malam dan sujud kepada Yang Maha Kuasa.

Vi musliman? Namas sitali?
Anda muslim? Anda mengerjakan sholat?
Dua pertanyaan unik saat aku bertemu mencoba berbicara dengan beberapa pekerja Rusia yang ternyata dari suku bangsa Kirghiztan. Tholik dan Hasan nama kedua pekerja tersebut. Mereka pekerja yang rajin, hampir selalu datang paling awal dari yang lain, karena memenag tuga mereka mengeruk salju dan membersihkan parkir dari bongkahan es yang licin dan menebal.
Tholik dan Hasan juga muslim seperti diriku, tetapi sayang mereka belum mau untuk sholat.
Jawabannya selalu sama saat kuajak sholat: Patom! yang artinya dalam bahasa betawi: Entar!

Urusan sholat memang butuh perjuangan untuk mau menegakkannya dengan konsisten. Perubahan iklim mengakibatkan perubahan ‘jam tayang’ matahari. Itu berarti waktu sholat amat dinamis mengikuti perubahan musim.

Hari ini, subuh baru bertabuh 06.30, zhuhur datang menegur pukul 12.50, ashar siap digelar pukul 14.30, dan maghrib menyisip pukul 16.40 sementara Isya telah tiba pukul 18.00. Praktis harus selalu bawa jadwal sholat kemana-mana agar tidak kelewat.
Sampai hari ini, masih kumanfaatkan rukhsoh untuk menjama’ dan mengqoshor sholat. Subuh sebelum sarapan pukul 06.30, zhuhur dan ashar pukul 13.15 saat istirahat makan siang, maghrib dan isya sepulang bekerja pukul 18.00 saja. Alhamdulillah, inilah rupanya makna Islam itu mudah dan memudahkan. Selalu ada cara untuk tetap berada di jalanNya.

Hari ini ada undangan untuk berkunjung ke rumah sekretaris dubes, Pak Adi Prajitno. Seorang lokal staf senior yang murah senyum, bersahaja, dan tampak berusaha ‘mengemong’ kami, guru-guru yang baru tiba di Moskwa. Pak Adi dan keluarga sudah lama di sini, lebih dari 10 tahun lamanya. Pak Wawan, seorang guru senior, menjemputku dan Pa Nandang di KBRI.

Mobil zhiguli sederhana membawaku ke arah barat Moskwa. Arah selatan KBRI melalui Paveletsky, masuk ring utama Sadovaya, dan melaju terus melewati Dobrininskaya, Park Kulturi atau yang dikenal dengan Gorky Park, menyeberang jembatan besar tertua di Moskwa: Kuznetsky Most, terus melalui pertigaan Smolens dimana terdapat gedung MID, Minister Inostrani Del (Departemen Luar Negeri) Rusia --salah satu dari 7 gedung megah Stalin, melalui perempatan Novi Arbat, lalu berbelok ke kiri arah Gruszinsky.

Sebuah apartement untuk diplomat dan orang asing, UpDK (Upravlenia po obsluzhivaniyu Diplomaticheskawa Korpusa) terletak di belakang stasiun metro Belorusskaya dan tidak jauh dari Zoopark Moskwa, Gruzinsky. Di sanalah tinggal 5 keluarga Indonesia, termasuk Pak Adi dan keluarga. Kedatangan kami disambut dengan ramah. Hidangan berbagai makanan cita-rasa Indonesia cukup membayar kerinduan lidahku yang telah 3 hari hanya makan nasi dan sarden. Perlu latihan untuk mulai terbiasa makan roti tawar Rusia—baton, dan berbagai masakan khas setempat yang belum cocok dengan lidah ‘penuh bumbu’ Indonesia.

Pembicaraan hangat seputar pengalaman sebelum menjadi guru di Sekolah Indonesia Moskow (SIM), nasehat dan saran untuk tinggal di megapolis Moskwa mewarnai obrolan kami. Kisah menarik yang dituturkan Pak Adi adalah tentang pengalamanya masa Uni Sovyet saat tiba di Moskow tahun 1989. Situasi komunis membuat semua orang asing ‘eksklusif’. Orang Rusia dilarang berbicara panjang, bersikap kasar, marah, berinteraksi dengan orang asing, apalagi bertamu. Semua harga amat murah. Dengan uang 1 rubel, sudah terbeli roti dan lauk pauknya. Hanya saja harus antri dan dibatasi jumlahnya. Setiap kepala hanya bolah membeli satu roti baton. Adapun setiap kepala keluarga satu hari hanya boleh membeli satu baket sembako, berisi misalnya sekilo gula, 100 gram teh, 100 gram kopi, sekilo terigu, dan beberapa bahan lain. Lebih dari itu, Nyelza!! Penjual adalah raja, dan pembeli harus hormat kepada penjual.
Bu Adi menuturkan penggambaran kondisi itu saat berbelanja: Saya sudah antri sampai satu jam lebih, ternyata hanya dapat 2 butir pisang, padahal anak-anak sudah menanti di rumah menunggu makanan. Aduh, sampai bercucuran air mata saat pulang ke rumah. Apalah gunanya punya uang, kalau barang tidak ada.

Zaman Uni Sovyet tidak ada rakyat yang memiliki kendaraan, kecuali anggota utama Partai Komunis, orang-orang pemerintah. Jalan-jalan yang luas hanya dilewati kendaraan umum, kendaraan berplat merah—korps diplomatik, dan pejabat pemerintah. Hampir tidak ada kendaraan buatan luar, hampir semuanya buatan Rusia. Moskvich, Lada, Niva, Zhiguli, Wolga, Gazel dan lain-lain. Jalan-jalan terasa lapang dan lengang. Tidak pernah ada istilah macet.

Saat itu, penduduk Moskwa tidak lebih dari 7 juta orang. Padahal Moskwa sangatlah luas, mungkin 2 kali luas Jakarta. Mobilitas penduduk Moskwa saat itu cukup terfasilitasi kendaraan umum yang amat bervariasi di sini, terutama kereta bawah tanah, Metro. Kemanapun tempat di Moskwa bisa dicapai dengan kendaraan umum: avtobus—bis, trolibus—bis listrik, tramvai—trem, masrutnoye taksi—seperti mikrolet.

Saat itu, segala fasilitas umum bebas bea alias gratis! Pendidikan gratis, sekolah gratis, kuliah gratis, taman hiburan gratis, kendaraan umum gratis, kalaupun harus membayar jauh di bawah bayangan kita. Mau nonton pertunjukkan, opera, balet, sirkus, semua mudah di dapat di Moskwa, dan amat murah. Rakyat Uni Sovyet memang dimanjakan dengan kemudahan seperti itu, sebagai kompensasi pelarangan kebebasan berpendapat.

Moskwa, 23 Januari 2000








Friday, February 24, 2006

Moskwa-2

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di RUSIA
Oleh: Marzuki, A.

(Bagian-2 dari 7 tulisan)

Sabtu, 22 Jan 2000
Dabroye Utra! Zhelayu vam uspekha sevodnya!
Hari Sabtu, hari kedua di Moskwa, Pak Joko—pejabat TU—mengajakku berbelanja pakaian ke Pasar Vietnam di Savelovsky. Pak Hidayat berkenan menjadi pemandu kami di sana. Suhu sedikit menghangat, minus 12 derajat selsius! Alhamdulillah cuaca cerah, dan angin bertiup lembut bersahabat.

Perjalanan ke arah utara dimulai dari KBRI melalui Pyatnitskaya Ulitsa, menyeberang kanal Moskwa, lalu melewati kompleks megah Kremlin, gedung KGB Lubyanka, Stadion Olympik, Gedung Teater Tentara, dan memotong lingkar dalam kota—Sadovaya Koltso hingga tiba di Savelovsky. Sebuah gedung pertokoan sederhana mirip PD Pasar Jaya di Jakarta dipenuhi dengan pedagang yang hampir seluruhnya Vietnamis, Pasar Vietnam!

Pak Hidayat menceritakan bahwa di Moskwa lebih dari setengah juta Vietnamis. Mereka datang bergelombang ke Moskwa dan wilayah lain di Uni Sovyet sejak pecah perang Vietnam tahun 1968. Kedekatan politis kedua bangsa penganut komunis memungkinkan mereka mudah diterima sebagai pengungsi di Uni Sovyet. Vietnamis banyak mengadu nasib menjadi pekerja kasar, pedagang pakaian dan kelontong, dan petani di pinggiran Moskwa.

Pak Hidayat memperkirakan bahwa di Moskwa telah berdiri lebih dari 20 pasar yang didominasi orang-orang Vietnam. Setidaknya ada 3 pasar besar yang diproklamirkan sebagai pasar Vietnam, yaitu di Savelovsky, Tulsky, dan Partizansky. Pokoknya, kalau mau beli barang yang murah, bumbu khas asia dan sayur-sayuran ‘langka’ semacam kangkung, katuk, bayam, dll cari saja di pasar Vietnam!

“Skolska stoit? Mozhna paminsye?”
Berapa harganya? Boleh kurang sedikit? Dua pertanyaan urgen kalau sedang belanja. Hanya saja jika jawabanya panjang, alias bukan sekedar da (iya) atau nyet (tidak), maka gelagapan juga menanggapinya. Tetapi alhamdullah, karakter orang Vietnam tidak sedingin orang-orang Slavia Rusia. Mereka masih mau tersenyum dan mau ditawar harga dagangannya. Kalaupun marah, mereka toh nggak bisa melotot kayak orang Rusia... J

Dalam tempo kurang dari sejam, aku telah merampungkan paket belanja pertama di Rusia: Sebuah Palto dari wol ala Sudirman, Sepatu bulu, syal dingin tebal, kaos kaki wol, sarung tangan wol, dan kaos hanoman yang semuanya berwarna hitam. Topi bulu? Ah, nanti saja membelinya. Lebih bagus yang model tentara Rusia. Kalau mau beli nanti saja di Ismailovsky Park! Begitu usul Pak Joko yang turut serta berbelanja dengan kami.

Dihitung-hitung, ternyata belanjaan yang kuanggap murah lumayan juga harganya. Semua berjumlah total hingga 6000 rubel, atau senilai 200 dollar US alias sepertiga gaji pertamaku! Itu berarti lebih dari 2 juta rupiah! Memang kalau dihitung-hitung dan dibandingkan dengan rupiah, maka jangan harap bisa belanja dengan tentram.

Privet! Kak Dela? Tovarish! Vi At kuda? Malayzia?”
Nyet, mei Indoneziets! Ochen priatna!
Sebuah sapaan ramah dari pedagang vietnam yang menjajakan berbagai hio, petasan,dan asesoris per-Budha-an. Pak Hidayat yang berkulit putih, pendek dan bertampang khas cina berkali-kali diajak berbicara vietnam, dan kali ini dituduh orang Malaysia. Benar-benar tidak populer ternyata negeri kita tecinta Indonesia. Dengan sesama tetangga Asia Tenggara saja mereka tidak pernah berhasil menebaknya.

Pasar Vietnam Savelovsky menempati sebuah blok besar, terdiri atas 3 gedung utama, yaitu toko pakaian dan kelontong, toko elektronik, dan toko perlengkapan ibu hamil dan bayi yang gedung-nya dipisahkan oleh jalan. Pasar ini berada di sisi stasiun kereta savelovsky dan berdampingan dengan jalan layang lingkar ketiga, Treti Koltso, yang masih dalam pembangunan.

Moskva Bolshaya Jerevnya! Kazhdei jend, bolshe chem 1000 novi mashinei priedet suda!
Supir kami, seorang Rusia berbadan gemuk besar bernama Waluja memberi komentar tentang pembangunan jalan yang tiada henti namun tidak juga memadai menampung jumlah mobil yang masuk Moskwa lebih dari 1000 buah perhari. Kalau kita pikirkan, sebenarnya masih lebih maklum kejadian macet di Jakarta. Jalan yang sempit, penduduk yang banyak, dan pedagang kaki lima yang tumpah ruah ke jalan menjadi penyebab kemacetan. Tetapi Moskwa, meskipun memiliki jalan-jalan lebar teratur dengan berbagai alternatifnya, masih juga macet di waktu sibuk! Bayangkan saja, jalan lingkar koltso 16 jalur bisa macet berjam-jam!

Tetapi kenapa waktu kami datang kemarin pagi tidak macet yaa? Cetus hatiku dalam hati. Belum sempat kusampaikan pertanyaan itu, jawabannya sudah kudapat. Ternyata kemacetan itu ada ‘timing’nya, pagi hari setelah jam 8.00 dan sore hari setelah jam 17.00. Kharasyo, Spasiba bolshoi, Waluja!!

Wednesday, February 22, 2006

Moskwa-1

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA MOSKWA
catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia*
Oleh: Marzuki, A.**


“Zdrafstvuite! Dokumen pazhaluista!”
Sapaan perlakuan dingin terlontar dari sosok-sosok berwajah dingin di terminal-2 Seremetyevo. Suhu minus 15 derajat selsius sekejap saja terkalahkan dengan perlakuan dingin seperti ini. Sungguh menakjubkan kedisiplinan pemeriksaan yang menjunjung tinggi kecurigaan. Apalagi namaku didahului dengan Ahmad, sehingga pemeriksaan melekat lebih dari 1 jam membenarkan dugaan Islamophobi yang kukhawatirkan.

“Eta Rossiya! Eta Moskva, Kamerad!”
Terngiang suara sumbang di telinga yang mengingatkanku bahwa negeri yang baru kujejaki ini adalah pusat kedinginan dunia. Pengalaman pertama segera mengiyakan bayangan semua kengerian yang digambarkan oleh orang-orang terdekatku saat sebelum berangkat: “Awas Komunis!”

Sebuah mobil VW Kombi Caravel milik KBRI Moskow bernomor 033-028 mengantar pandanganku melalui jalan yang dipenuhi dengan selimut putih salju. Pohon-pohon Bereozka yang pucat meranggas diam tepekur, pasrah pada alam yang membekukan. Matahari belum ada tanda-tanda menampakkan diri, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Eh, maaf, aku lupa mengubah waktu Indonesia. Moskow di musim dingin 3 jam lebih awal daripada Jakarta, jadi... baru jam 07.00 pagi. Hari ini, hari pertamaku di Rusia, Jumat, 21 Januari 2000.

Tanda-tanda kehidupan mulai tampak ketika Caravel melesat melalui jembatan jalan tol lingkar MKAD (Moskovsky Koltso Avtomobilny Daroga). Jalan tol lingkar 16 jalur yang membatasi kota Administratif Moskow dengan ‘Kabupaten’ Moskow. Jalan tol gratis yang sangat lebar; memutari kota seluas 950 km2.

“Dabro Pozhalovath v Moskve!”
Kami memasuki kota melalui arah Barat Laut. Caravel terus melesat ke arah tenggara menuju pusat kota melalui jalan protokol 12 jalur, Leningradsky Prospekt. Kota sedemikian besar namun mengapa terasa sepi. Tanda-tanda kehidupan hanya lampu-lampu jalan dan hilir mudik mobil Zhiguli, Volga dan Gazel. Orang yang lalu lalang di jalan tidak lebih dari hitungan jari, padahal kami sudah memasuki pusat kota! Ajaib! Kemana gerangan para penghuni gedung-gedung menjulang yang berjajar di kiri kanan jalan? Masihkah terlalu pagi untuk beraktivitas? Padahal hampir pukul 08.00!

Pusat kota ditandai dengan jalan lingkar dalam yang biasa disebut Koltso, alias cincin. Jalan selebar lapangan bola terdiri dari 16 jalur yang disebut sebagai kaltso itu bernama Sadovaya Ulitsa. Daerah pusat atau Tsenter kota merupakan daerah elit dengan segala kelebihannya. Hampir semua gedung yang berdiri di Tsenter memiliki nilai sejarah, terutama gedung yang menjadi cikal bakal kota ini: Kremlin!

Dahulu, moskow adalah sebuah desa kecil yang dipagari pagar kayu sehingga disebut benteng, Kreml. Di luar tembok yang ada hanya kebun, tanah garapan dan hutan bereozka. Sebuah sungai kecil mengalir melalui sisi selatan benteng dan sebuah lapangan kecil di sebelah timur benteng menjadi ajang jual beli musiman saat musim panas. Desa berpagar kayu tersebut terus tumbuh menjadi benteng kokoh bertembok batu. Pada tahun 1147 lahirlah sebuah kota kecil bernama Moskwa. Yuri Dolgoruky, seorang Kniazh(Ksatria)—adalah nama sang pendiri kota itu. Diluar benteng tidak hanya tanah garapan, pemukiman rakyat yang berkembang dan para pedagang pendatang membuat kota meluas hingga lingkar yang sekarang menjadi koltso, Tsenter kota Moskwa.

“Selamat datang di KBRI Moskow! Apa kabar?”
Seruntunan sambutan dan senyum-senyum khas Indonesia menghangatkan kedinginan yang sedari tadi menyelimuti. Perjalanan 1 jam dari Seremetyevo 2 menuju KBRI yang terletak di pusat kota terasa begitu cepat. Semangat menjelajahku telah menerawang ke sudut-sudut kota misterius yang terasa sepi ini mengalahkan kelelahan sepanjang perjalanan.

Gedung KBRI adalah sosok gedung tua berusia hampir 2 abad. Arsitektur zaman Renaissance, terdiri atas 2 gedung utama untuk kantor dan wisma duta, serta beberapa gedung kecil yang difungsikan sebagai garasi, kantin, ruang piket, dan Sekolah Indonesia. Sebuah taman kecil dan lapangan tennis berada di antara gedung utama dan di beranda belakang, melengkapi teritori Indonesia seluas 1 ha. Gedung yang terletak di Novokuznetskaya Ulitsa 12-14 tersebut awalnya milik Aristokrat Rusia. Pasca Revolusi Bolshevik 1917, segera diambil alih penguasa Komunis dan dijadikan Rumah Sakit Anak-Anak. Selanjutnya, saat ditandatangani MOU pembukaan kedutaan 29 September 1954, maka gedung tersebut resmi menjadi perwakilan Indonesia untuk Uni Sovyet.

Aku dan rekanku, Nandang, untuk sementara tinggal di gedung tua itu. Ruang kecil di lantai 4 KBRI telah disulap menjadi kamar tidur sementara kami. Pak Dasep yang mengantar kami begitu baik ikut membawakan barang-barang ke atas. Bahkan ia menunjukkan kami 2 ruang penting di KBRI untuk dapat kami gunakan: Toilet dan Dapur! Spasibo Bolshoi, Tovarish Dasep! Dan hari pertamaku penuh dengan ajang perkenalan dan sowan ke tiap ruang pejabat dan rekan-rekan di KBRI. Suasana Indonesia yang khas segera merebak --ramah dan penuh basa-basi.

“Minya zavut Ahmad. Eta moi dokumen. Ya Indonesiets. Rabotayu v posolstvo”
Sebaris kalimat-kalimat pendek yang perlu kuhafal untuk berjaga-jaga dari militsioner yang kupikir terlalu rajin memeriksa dokumen kami yang bertampang asing. Kekhawatiran akan pendatang haram alias imigran gelap selalu menghantui kota yang pernah menjadi pusat superpower dunia, Uni Sovyet.

Bukan suatu yang mengherankan bila banyak orang yang ingin mengadu nasib di kota Moskwa. Hal ini disebabkan ketimpangan yang amat jauh antara pendapatan perkapita penduduk Moskwa juga Sant Petersburg dengan daerah lainnya di Rusia. Peredaran uang di kedua kota besar tersebut mencapai 80% dari jumlah semua uang yang beredar di Rusia. Kesenjangan sosial demikian kontras terasa tidak usah jauh-jauh, cukup dengan mengunjungi kota-kota satelit Moskwa terdekat semisal Serpukhov, Yachroma, dan sebagainya. Ditambah lagi kondisi negara-negara eks Uni Sovyet yang terus dilanda masalah politik dan krisis ekonomi, memaksa rakyatnya untuk bekerja keras dengan upah sedikit. Sehingga, berimigrasi keluar dari negrinya adalah sebuah keinginan dan impian. Dan... Moskwa adalah pilihan yang paling memungkinkan. Kesempatan untuk memiliki dua kewarganegaraan antara negrinya atau Rusia membuat mereka rela meninggalkan tanah air demi menghidupi keluarga.

“Slovo Boga! Ocen Kholadna!
Jaketku tidak mempan menghadapi dingin menggigit tulang minus 15 C. Padahal saat beli di Sarinah Blok M, sang pedagang bilang ini benar-benar hangat untuk musim dingin. Olala, aku lupa sampaikan kalau di Rusia bukan sekedar dingin tetapi sangat-sangat-sangat dingin!!

Aku rangkapkan pakaian menjadi 4 lapis: kaos dalam lengkap--alias kaos hanoman--, kemeja, sweater, dan Jaket dingin. Perlengkapan anti dingin ditambah dengan syal, sarung tangan, dan kaos kaki lapis 3. Masih juga dingin, Subhanallah!

*Tulisan pertama dari 7 tulisan.
**Guru Sekolah Indonesia Moskow.

Tuesday, February 21, 2006

Rostov na Donu

KABUT PUTIH LAUT HITAM
SEUNTAI KISAH DARI ROSTOV NA DONU


Assalamu alaikum wr. wb.
Bada tahmid wa sholawat,

Seperti yang telah kujanjikan kepada kalian
bahwa kan kutuliskan sebuah laporan perjalanan
kisah pengembaraanku sendiri di negeri sepi
yang selalu diselimuti dingin tak terperi

Inilah awal petualanganku di Rusia
menjelajah sudut negeri hingga pelosok desa
ke arah selatan baru saja ku melayat
Rastov Na Donu, kota yang perlu kau ingat

Perlu kusampaikan tujuanku anjangsana
tak lain karena Rahman sahabatku kuliah di sana
seorang diri sebagai mahasiswa Indonesia
menggeluti kedokteran yang memerah tenaganya

Perjalanan dimulai pukul 18.00 di Hari Raya Ied
di tengah turun salju yang memerahkan kulit
dengan kereta di stasiun Kazanski gerbong lima
terharu hati dilepas Baudin sahabat Chechnya

Perjalan kereta yang sesungguhnya nyaman
dengan Sirah Nabawi Ramadhan Al-Buthi sebagai teman
sedikit kegusaran dengan orang Rusia satu kompartemen
selalu mengajakku meneguk vodka dan sampanye

Esok hari pukul 11.00 tiba di stasiun Rastov na Donu
suhu 5°C dan gerimis, riang menyambutku
sahabatku Rahman tak tampak menunggu di situ
e-mail tidak dibacanya lebih dari seminggu

Saat sore hari bertemu di institut kedokteran
ia terperanjat surprise di luar dugaan
musim ujian kali ini membuatnya amat sibuk
hingga lupa bahwa kuberjanji kan datang menjenguk

Rastov, sebuah kota pelabuhan di timur laut hitam
jalur perdagangan Rusia terbesar di selatan
berbagai komoditi dari Kaukasus, Timur Tengah, dan Eropa
bersandar di pelabuhan Rastov untuk masuk ke Rusia

Sebagaimana pedagang kelontong dan buah-buahan di Moskwa
orang-orang selatan mendominasi penjual di sana
Ingusetia, Chechnya, Tajik, Tatar, dan Kazakhtan
ditambah imigran dari Korea dan Vietnam

Suasana kota yang penuh hiruk pikuk manusia
berbeda rasa dengan ketenangan di pelosok jerevnya
dengan tramwai kurasakan nuansa kontras kehidupan
kota yang dinamis dan desa yang seakan stagnan

Orang-orang asing yang banyak hilir mudik
adalah mahasiswa yang menimba ilmu di sini
kelak mereka menjadi kader-kader terdidik
yang ditunggu baktinya oleh ibu pertiwi

Pun Rahman sahabatku nan akrab
tak putus-putus kukatakan padanya tentang tanggungjawab
bahwa kelak nasib masa depan negara dan umat
kan beralih dalam genggaman dan terhasung di pundak

Dari mereka yang kukenal di hari pertama
Flora dan Marina dua gadis siprus teman sahabatku
Juga Sharleen gadis energik CostaRica
berkat bantuan merekalah dengan Rahman kubertemu

Perkara tinggal adalah agenda pertama yang harus kutuntaskan
karena di asrama mahasiswa selain penghuni tidak diperkenankan
dengan Rahman kejajagi Ibis dan Inturis Hotel
namun sambutan mereka sepadan ungkapan: Go to hell!

Rahman amat kesal dengan tudingan berprilaku bejad
oleh pengurus hotel yang menganggap sama mahasiswa setempat
dianggapnya ia seperti yang lain suka melacur
lantas tak bertanggungjawab gadis Rusia ditinggal kabur

Ada tatap tak bersahabat dan sinis kebencian
terhadap orang asing yang dianggap penabur kejahatan
padahal tak bisa begitu saja disamakan
warna kulit dengan perilaku keseharian

Sayapun bermalam di rumah seorang teman
memohon maaf mengganggunya semalam
dan esok pengembaraan kan kulanjutkan
keliling kota mengenal Rastov lebih dalam

Pagi hari tatkala munajatku selesai terpanjat
kuberkemas menentukan perjalananku hari ini
Rahman mengingatkan bahwa hari ini adalah jumat
kita bersama ke masjid pukul satu siang nanti

Dan langkahku menyusur Sadovaya hingga Vorosilovski
berujung jembatan besar di atas sungai Don
burung-burung merpati dan gagak yang riang bernyanyi
meningkahi keheningan pagi yang nikmat kutonton

Siang hari saat sholat jumat hendak dihelat
aku menunggu hingga kantuk menidurkan
dan bergegas kemudian kami berangkat
sebuah masjid kecil tersembunyi yang aku temukan

Sholat jumat telah setengah jam yang lalu berakhir
sahabatku mengatakannya tanpa merasa bersalah
senyumnya menghiburku agar jangan khawatir
karena ada sessi kedua sholat jumat berjamaah

Pukul dua siang jamaah mahasiswa berdatangan
dan 15 menit kemudian khutbah mulai disampaikan
seorang mahasiswa Saudi menjadi khatib kali ini
ucapannya tegas dan uraiannya memikat hati

Ia menggambarkan seorang muslim yang tegar dalam ujian
laksana karang kokoh diterjang ombak lautan
sejuta maksiyat yang bertebaran menggoda iman
adalah syetan pembangkang yang bergentayangan

Muslim sejati sadar akan arus ghazwul fikri
dalam bungkus apapun dikemas harus diwaspadai
adat kebiasaan sering ditunggangi bahaya ini
sudah sepatutnya kita selalu berhati-hati

Sebentar lagi perayaan tahun baru meruyak
di seluruh kota disiapkan hiburan dan paket acara semarak
berkwintal-kwintal kembang api siap dihamburkan
bergalon-galon minuman keras laris dibagikan

Dan dandanan yang dijadikan trend perayaan ini
adalah pameran tubuh yang memberangus rasa malu
simbol-simbol ular yang mereka percayai
bentuk kemusyrikan yang mengancam aqidahmu

Khutbah singkat namun teramat padat
disampaikan dalam bahasa Arab yang memikat
memang tidak dapat kumengerti semua kata
tapi cahayanya terasa dalam menembus dada

Catatan hari ini yang paling mengharukan
tentang pertemuanku dengan Adam mahasiswa muslim Chad
dengan bahasa arab bercampur inggris kami berkenalan
ukhuwah terjalin di antara kami laksana saudara dekat

Malam itu kami bertandang ke kamarnya di Asrama dua
tempat Adam tinggal bersama muslim Sudan, Mustofa
mereka baru sebulan berada di Rastov Na Donu
keprihatinannya tertumpah kala aku datang bertamu

Rastov tak ramah terhadap kami yang berkulit hitam
apalagi muslim yang dianggapnya sumber kekacauan
mungkin di Moskow lebih baik kami berdiam
pun kuliah di sana lebih berkualitas juga aman

Aku hanya mengiringkan senyum dan menghiburnya
bahwa Rusia dimanapun tak jauh berbeda
saat ini trauma Chechnya melanda mereka
ketakutan pada Islam membuatnya curiga membabi buta

Kesabaran, tegar dan tawakkal adalah bekal yang harus dimiliki
perjuangan kita menebarkan rahmah insya Allah merubah opini
ketidaktahuan manusia memang menggelapkan hatinya
marilah kita datang dengan senyum dan persembahkan cahaya

Hari ketiga di sini kembali kususuri Rastov dengan jalan kaki
sepanjang Sadovaya melewati Paedagogiceski hingga Wakzal
dengan tramwai keramaian sentralni rinok kulewati
terbawa kantuk dan tertidur hingga cerevicni bulevar

Bangunan tua di kiri-kanan jalan Stanislavkawa
lambang keanggunan masa-masa Komunis berkuasa
patung Kirov, Lenin, Stalin, dan Gagarin di sudut kota
simbol penghormatan rakyat atas jasa mereka

Aku hanya tersenyum kecut memandang patung itu
mengingat kebiadaban di balik ideologi sosialis semu
berjuta kepala menunduk lesu mati membeku
masa-masa komunis, satu nyawa seharga peluru

Saat kembali sore hari ke tempat kusinggah
Rahman mengajakku bertandang ke asrama dua
terpampang berita berbahasa arab dengan kabar duka cita
ibu mahasiswi palestina berpulang ke hadhiratNya

Serta merta kami menuju lantai bawah
menghadiri jamuan makan adat takziah
nasi kebuli dan sop kefir khas arabia
memenuhi lambung kami tak menyisakan rongga

Bilal dan kawan-kawannya sesama arab
berinisiatif menyelenggarakan acara takziah itu
sholat magrib dan jenazah kemudian dihelat
ukhuwah terasa dari berbagai bangsa dan suku

Malam ini pula kami meluncur dengan taksi ke asrama empat
menemui Abdul Hafizh beserta teman-teman dari Srilanka
kuberharap dapatkan tempat untuk istirahat
kamar nomor 301 disediakan menginap sementara

Malam mencekam dalam asrama yang gelap dan pengap
koridor-koridor yang sepi, dinding penuh coretan grafiti
jendela tak berkaca, api dapur yang terus menyala
kisah-kisah pencurian membuatku tak dapat memejamkan mata

Di sini segalanya mengkhawatirkan
sering terjadi perkelahian, perzinahan dan perampokan
dalangnya sesama mahasiswa terutama dari Rusia Selatan
selalu saja Chechnya yang dijadikan kambing hitam

Aku sedikit terhibur tatkala bertamu ke lantai enam
bertemu dengan kerabat muslim sahabat Abdul Hafizh
Husein, Ajmal, dan Hasyim yang lekat kukenal
menjamuku dengan kebersamaan mereguk teh manis

Dan tatkala kantuk menyerang tak memberi ampun
beringsut kami pamit kembali ke kamar yang sepi
kehadiran seorang Libanon membuatku tertegun
kebiasaannya mondar mandir merisaukan hati

Saat pagi hari merekah di kisi jendela
dan tunai sujudku telah tertunai keharibaannya
Libanon kafir itu datang lagi di sini
menceracau dusta menawarkan keji

Kemuakkanku akhirnya tak tertahankan
tatkala dusta tertuju kepada Rasulullah menghinakan
bergegas kukemas barang dan pergi meninggalkan
izzahku bergolak, tanganku gemas melepas pukulan

Aku bertandang ke tempat sahabatku berada
mengungkapkan semua rasa dan gemuruh di dada
dan saranku mencari tempat tinggal segera kutegaskan
karena asramamu penuh bahaya mengkhawatirkan

Hari ini kami berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan
ke toko buku obyek pertama menjadi sasaran
setelahnya menikmati fast food di Mak Don Sadovaya
duplikasi Mc Donald dengan gaya Amerika

Kami menyusuri pereulok hingga ke Sentralni Rinok
Melewati Sobor yang terbesar di Rastov Na Donu
berbelanja daging mencari langganan muslim selatan
ternyata ia pulang kampung ke Azerbaijan sejak lebaran

Hatiku lirih melihat pedagang-pedagang yang rata-rata muslim
namun makanan haram dan subhat didagangkan seenaknya
alih-alih mereka melaksanakan sholat sebagai seorang alim
sungguh ironis rukun Islam yang lima masih sering lupa

Tatkala mentari meninggalkan bayangnya di ufuk barat
keriuhan malam tahun baru mulai terdengar dari arah plosyad
dan menjelang tengah malam saat pergantian hari ditentukan
letusan kembang api membuat langit malam bercahayakan

tafakkurku terlantun dalam tadah tangan pada-Mu
merenungi diri dan polah manusia di malam tahun baru
semoga terhindar dari maksiyat hina diriku
dan rahmat-Nya kan meliputi ketegaran langkahku

Kejap mata masih berat oleh rasa kantuk
saat fajar merah mulai nampak dan pagi meruyak
rencana hari ini ringkas kutuliskan di dasar lubuk
menyusuri Rastov dari Utara hingga pelosok barat

Bubur dan nasi kuning sebagai sarapan pagi kali ini
dan seperti kemarin aku pergi berjalan sendiri
trambai yang merambat hingga Worosilovski
seakan enggan membawaku pergi hari ini

Ada kemalasan menetas di pusat fikirku
bukan karena kelelahan pun bukan rasa ragu
entah mengapa kehampaan tiba-tiba membuatku enggan
dan angin yang menyapaku segera pergi tanpa kesan

Benakku dipenuhi keprihatinan dan ironi
kisah-kisah perjuangan rekan mahasiswa muslim di sini
melawan kezaliman masyarakat Rusia setempat
dan hawa nafsu murahan yang mengajaknya maksiyat

Pernah suatu kali aku diceritakan kisah duka
bahwa pernah dibentuk jamaah sholat di asrama mereka
hingga terbentuk pengajian dan kursus bahasa arab
bahkan perpustakaan yang selalu bertambah peminat

Berjalan mulus hingga tiga bulan berselang
menjaring muslim Rusia ke dalam kesadaran
untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak
pengajian dibubarkan dituduh sarang pemberontak

Agen rahasia Rusia FSB tangan panjang tirani
mencari alasan pemberangusan Islam di negeri ini
perang Chechnya yang membuang nyawa beribu tentara
membuat gerakan Islam difitnah membabi buta

Lamunanku membuyar tatkala tralibus tiba di taman Vavinova
sejenak menyaksikan burung-burung riang di pucuk cemara
tak lama kuputuskan kembali ke arah kota
karena tak ada yang menarik kulihat di Rastov utara

Sebenarnya aku amat ingin mengunjungi Zoopark
Tetapi avtobus yang kutunggu tak juga nampak
kuberanjak jalan kaki hingga universitas teknik
dan berfoto di depan Gagarin dengan gaya eksentrik

Lantas dengan tramwai dibawanya aku ke arah barat
menyeberang jembatan yang sedang rusak berat
terus menyusuri jalan yang berlumpur dengan berjalan kaki
melalui ulitsa Sobino hingga taman Perovskoi

Hari libur tahun baru yang sepi
hanya sekelompok manusia yang sedang asyik bernyanyi
nadanya tak beraturan, iramanya menusuk telinga
itulah jadinya jika bernyanyi sambil menenggak vodka

Ada lagi sekelompok ABG yang tertawa bersahut bercekikikan
saling bergaya di depan lensa kamera pocket masing-masing
pose dan candanya terkadang amat berlebihan
peluk, cium, menggerayang yang mengharuskanku segera berpaling

Perjalananku di Rastov Na Donu esok harinya
berlanjut ke sebuah kota pelabuhan kecil, Taganrog Namanya
kota tempat penulis Chekov dilahirkan
suasana desa amat lekat kurasakan

Perjalanan kereta ke sana memakan waktu 2 jam
namun ongkos yang dibayarkan cukup 15 rubel saja
pemandangan padang sabana, hutan, dan laut hitam
membawa lamunan kepada keindahan Indonesia

Kerinduanku pada kerindangan hutan menghijau asri
tak terbayar oleh meranggasnya eyk, cemara, dan tusam
juga hangatnya lautan dengan terumbu karang warna warni
tak ditemukan dalam kabut dingin dan dasaran pasir laut hitam

Sungguh Indonesiaku tak terbandingkan subur dan kayanya
indah menakjubkan dari ujung gunung hingga dasar lautnya
entah mengapa rakyatnya menderita dan terhina
terkoyak dalam sengketa mangsa mancanegara

Aku tersadar dari mimpi tentang negri gemah ripah loh jenawi
saat kereta sampai di stasiun tua Taganrog sore hari
kabut putih tipis menyambut lembut tanpa basa basi
sementara kebingungungan mulai merayap di hati

OK! yang penting aku cari dahulu penginapan
masalah agendaku di sini nantilah bisa kupikirkan
dan tramwai yang lewat membawaku serta ke pelosok
dengan taksi gelisahku berakhir di hotel Taganrog

Kota kecil dengan penduduk kurang dari 200.000 jiwa
sebanding dengan kota Merak di ujung barat Jawa
Kesederhanaan kehidupan kota yang tertib dan tenang
mengingatkanku saat berlibur menemui nenek di Malang

Pagi hari saat kabut masih menutup menara di seberang jalan
aku beranjak berkeliling kota menyusur jalan utama Jerzinskawa
melihat-lihat aktivitas kota dan mencari tempat penukaran uang
karena rubelku habis kecuali recehan saja

Bank-bank masih tutup karena libur tahun baru
kekhawatiranku menjelma menjadi kepanikan tak menentu
rubelku tidak cukup untuk membayar sewa kamar dua malam
sementara dollar yang kumiliki tak dapat dijadikan pembayaran

Untung saja seperti halnya kota-kota lain di Rusia
money changer gelap bertebaran di sudut-sudut jalan
dengan tas kecil seperti layaknya tukang kredit Indonesia
ramah menjajakan bantuan jasa penukaran uang

Siang ini setelah menunaikan pembayaran hotel
kutetapkan menyusuri jalan hingga garis pantai selatan
berganti bus dua kali, berjalan kaki, menenteng tustel
kabut memaksaku kembali sebelum tiba di pantai tujuan

Di pusat kota sepanjang ulitsa Petrovka
berjajar gedung-gedung antik dan toko serba ada
ruas jalan yang lurus sedikit berkelok
ukurannya lebih tepat jika disebut pereulok

Kemudian jalan utama kota ini bernama Lenina
pendiri sovyet dengan komunis diktator proletariatnya
taman, universitas, dan gedung pemerintahan yang berdiri di situ
menggunakan nama besar Bapak Komunis Rusia itu

Taman kota Lenin Taganrog lebih kecil dari VDNH
tempat melepas lelah dan mencari hiburan sederhana
sebuah taman kanak-kanak sedang menggelar acara
memperingati tahun baru dengan panggung gembira

Saat gelap malam turun menyelimuti bumi
langkahku tiba di hotel kamar 519 kembali
roti, susu, dan sekaleng jagung yang kubeli
cukuplah dijadikan pengganjal perut pengganti nasi

Dan tafakkurku kulanjutkan dalam bait-bait puisi
yang kan kupersembahkan kepada sahabat-sahabat sejati
bahwa di negeri yang dingin tak terperi
cahaya islam menyemburat menantang uji

Teringat suatu waktu di Asrama Rahman dahulu
saat Kashmir bergolak menuntut pemuda bertindak
gemanya menggetarkan mahasiswa pakistan berseteru
perkelahian massal dengan mahasiswa India pun tak terelak

Dan buntut kisah adalah tragedi
pencekalan saudara-saudara Pakistan dan skors beberapa hari
lantas mereka dipindahkan tinggal di lain asrama
yang kondisinya lebih buruk daripada dom Rusia

Hari ketiga di Taganrog kujelang dengan rasa enggan
berkeliling kota tak ada yang membuatku berkesan
dan saat mentari di atas kepala sayup terasa menghangatkan
kesibukanku sekedar berbelanja mencari buah tangan

Begitupun ketika kereta bergerak meninggalkan kota ini
tak ada rasa kehilangan apatah lagi ingin kembali
karena kabut tipis dan angin dingin yang terbang menjauh
telah membawa pergi kenangan menyisakan jenuh

Ada rasa bersalah yang menjadi penyebab itu semua
aku pergi 3 hari tanpa pamit pun meninggalkan berita
Rahman dan Abdul Hafizh di Asrama cemas tak terkira
hampir saja kepada polisi kehilanganku diadukannya

Maafku segera berantai memohonkan pengertian
tatkala tiba di Rastov dan melihatnya panik bukan buatan
tak ada maksud menyusahkan dan membuat kalian seperti ini
selain akibat hasrat pengembaraanku yang sering tak terkendali

Siang hari pukul 14.00 setelah makan siang
Sharleen berkenan mengantarku ke tempat penyewaan internet
kabar gembira dari saudara-saudaraku Izzatul Islam
telah menyelesaikan album dan meluncurkan kaset

Dan malam ini bagiku membawa kesan mengental
saat makan malam di flat Gulam, Adnan, Hasan, dan Faisal
mereka mahasiswa Pakistan yang memasuki tahun terakhir perkuliahan
ukhuwah disajikan teramat manis tak pernah kulupakan

Ghulam mengatakan datar dan senyum yang tak pernah lepas tersungging
bahwa hidup di negeri kafir Rusia laksana penjara bagi orang asing
seberat apapun beban perasaan dalam berjuang berdakwah di sini
adalah ujian keimanan yang membentuk mukmin nastayasyi

Ketika kami tengah menikmati hidangan makan malam bersama
seorang mahasiswa Palestina datang menjela
serta merta ia diajak turut menikmati hidangan di meja
dan pembicaraan kami meluas tentang suasana negeri kita

Aku katakan tentang solidaritas muslim Indonesia
bahwa zionis Israel harus hengkang dari bumi Palestina
ia terharu saat kusyairkan Nasyid Labbaik intifadhah
doa kami terpanjat semoga terkabul insya Allah

Di hari terakhirku berada di Rastov Na Donu
kucermati kampus tua tempat belajar sahabatku
perpustakaan, laboratorium, dan ruang kuliah tingkat satu
menambah pengalaman dan pengetahuan ilmu biologiku

Tatkala mengiring Rahman ke ruang ujian di gedung anatomia
aku berkenalan dengan beberapa gadis Chechnya Ingusetia
hanya Zura gadis Ingusetia yang kuingat namanya
amat pendiam dan menyimpan misteri tentang negrinya

Siang hari menjelang keberangkatanku pulang
sendiri kuberjalan membeli oleh-oleh dan perbekalan
dan saat kepada Abdul Hafizh aku pamit kembali ke Moskwa
sebuah jepit dasi emas kepadaku dipersembahkannya

Ukhuwah teramat indah
tak dapat dilukiskan dengan kata
keakraban yang kami bina
melebihi keinginan kami bertukar nyawa...

Hasbunallah wa nikmal wakiil
Nikmal maula wa nikmannashiir
Wabillahittaufiq wal hidayah
Wassalamu alikum wr. wb.

Rostov Na Donu, 3 Januari 2001
Ahmad Marzuki
Guru Sekolah Indonesia Moskow
Novokuznetskaya Ulitsa 12
MOSKOW, FEDERASI RUSIA
Telp. 7-495-9519549/9519550

SALAM MARSGHAIL

SALAM MARSGHAIL
Oleh: Ahmad Marzuki*

Atap bocor mempertemukan kami

Kemarin musim semi berjanji akan datang. Angin lembutnya menyibakkan palto-ku dan perlahan menggugurkan butir-butir salju di pucuk cemara araukaria. Jalan-jalan dipenuhi aliran air, salju yang mencair. Butir-butir bening yang saling berkejaran untuk mendapati lubang-lubang drainase kota Moskow yang terdapat di setiap jarak 100 meter.

Tapi…., ia pergi lagi. Dan burung-burung merpati yang berkerumun di perempatan halte tramvai Visnyakovski telah memahami gelagat ini. Mereka terbiasa sabar menanti musim semi datang sebulan atau dua bulan lagi. Musim semi memang tak pernah pasti.

Hari ini, Jumat, 18 Februari 2000. hampir sebulan aku berada di sini. Mengembara di negeri asing yang miskin senyum. Sendiri merajut harapan yang meranum. Langkah lelahku berjalan perlahan terayun pulang. Tempat tinggal sementaraku hanya 1 blok jaraknya dari kantorku, KBRI Moskow. Tujuh menit saja berjalan kaki untuk sampai di kwartir, sebutan untuk flat apartemen Rusia.

“Uff, minggu yang melelahkan. Seruntunan acara peringatan hubungan diplomatik 50 tahun Indonesia-Rusia masih harus berlanjut di luar tugas-tugas harian mengajar di Sekolah Indonesia. Nye bespakoites! Vso budet kharasyo! (jangan khawatir, semua akan baik-baik saja)” gumamku masygul.

Langkahku terhenti di depan pintu besi dom tua Rusia, Visnyakovski 27, apartemenku. Gedung tua yang telah berdiri sejak perang dunia kedua. Terseberangan dengan gereja ortodoks tua dan pusat penginjilan Moskow.

Koridor masih gelap, karenanya tanggung jawabku menyalakan lampu sentral yang juga menerangi tangga-tangga hingga lantai atas. Kwartirku berada di lantai paling atas, lantai 6. Lift tua mekanik yang bersuara seperti mesin derek telah akrab di telinga, hanya saja kini terasa amat lamban mengangkatku ke atas.

“Sampai juga!” Gumamku sambil mengayun langkah berat keluar lift untuk melanjutkan sederet anak tangga lanjutan menuju lantai 6. Sunyi… dan untuk ke sekian kali kupergoki sepasang mata mungil yang mengintip dari balik pintu kwartir 51.

“Hmm, pasti malcik yang tempo hari bersamaku di lift tua itu. Anak yang pendiam, raut muka oval dan matanya hitam kecoklatan, mirip seperti mataku”. Dalam bahasa rusia malcik berarti anak laki-laki.
…………..

Sholat maghrib baru saja tertunai saat bel pintu berbunyi. Seorang wanita setengah baya tampak berusaha menjelaskan sesuatu padaku sambil menunjuk atap dan kamar mandiku. Aku tak mengerti, belum sebulan aku di sini. Bahasa Rusiaku masih sangat belum memadai.
“Izvinite, Ya nye ponimayu pa Ruski…” (Maaf, saya tidak mengerti bahasa Rusia).

Ia paham, dan diajaknya aku melihat kondisi kwartirnya yang berada tepat di bawah kwartirku. Ah, ya…kwartir 51.

Seorang lelaki berumur 40 tahunan menyambutku dengan senyumnya. Dialah suami wanita tadi. Dijabatnya tanganku dan ditatapnya dalam-dalam mataku…

“Assalamu alaikum….” Ucapnya.
Subhanallah! Inilah kali pertama aku bertemu penduduk setempat yang mengucapkan salam itu.
“Wa alaikum salam warohmatullah!, Jawabku lekas.
“Malaysia? … Indonesia?” tanyanya singkat.
“Indonesia…”
“Negara Islam terbesar di dunia…” Pujinya,
“Alhamdulillah….”
Aku balik bertanya dengan bahasa Rusiaku yang sangat buruk…
“Anda orang Rusia?”
“Hmm ya, …Kami dari Chechnya” jawabnya agak ragu-ragu dan melambat.
Masya Allah! Chechnya! Senang bertemu dengan anda.

Kami kemudian berkenalan. Ia bernama Baudin Natzaev. Bau dalam bahasa Chechnya artinya agung, dan Din artinya agama, sama dengan bahasa Arab. Sehingga Baudin mengandung arti Agama yang Agung. Tentu saja agama Islam, tegasnya. Sedangkan Natzaev adalah nama familia. Demikianlah tatanama di Rusia, selalu diikuti oleh nama familia. Lantas saya ditunjukkan kondisi kamar mandi dan dapurnya yang kebocoran dari air kamar mandiku. Ooo, karena itulah istri Baudin menunjuk-nunjuk atap dan kamar mandiku. Rupanya minta pengertianku untuk mengecek kondisi pipa dan kran di sana. Saya merasa bersalah dan memohon maaf. Saya katakan jika perlu saya siap membiayai perbaikan akibat kerusakan tersebut. Baudin mengatakan hal tersebut tidak perlu, karena memang gedung ini sudah tua. Cukup berhati-hati saja menggunakan air, jangan sampai tertumpah ke lantai yang sudah pasti akan membasahi kwartir di bawahnya.

Baudin menahan saya untuk tidak buru-buru pulang untuk minum teh bersama di dapurnya yang hangat. Ia sangat senang bertemu dengan saudaranya sesama muslim dari Indonesia. Ada banyak kisah hidup yang ingin ia tuangkan di meja kecil pertemuan pertamaku dengannya itu. Sayang…., kendala bahasa membatasi keleluasaan kami berbicara. Bahasa Rusia saya bercampur Inggris dan Indonesia yang tentu saja sulit dimengerti. Karenanya kami lebih banyak menggunakan bahasa isyarat yang seringkali sangat menggelikan.

Baudin mengucapkan Dabro Pozalovat v Moskve!, Selamat Datang di Moskow!. Ia sendiri baru setahun yang lalu datang ke Ibukota Rusia ini. Sebelumnya Baudin sekeluarga tinggal di Grozni. “Rumah kami, kota kami, semuanya kini telah hancur. Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sana, Nyiciwo nye pajelaem! Karenanya kami mencari peruntungan di sini” Baudin menjelaskan dengan sorot mata redup mengenang kemalangan yang menimpa negrinya kini.
Sementara anaknya yang sulung, Muhammad, sesekali dipanggil untuk membawakan kamus Rusia-Inggris agar saya mengerti apa yang diucapkannya. Ya, Muhammad nama malcik itu. Anak laki-laki yang biasa memperhatikan gerak-gerikku saat aku berangkat atau pulang ke kwartirku di atas. Kini aku akrab dengannya.

“Rusia sangat curiga kepada kami orang-orang Chechnya….” Lanjutnya kemudian. Saat saya baru datang di Moskow, maka uang yang saya kumpulkan bertahun-tahun sebelumnya banyak dikeluarkan untuk membayar milisia, polisi jalanan yang kerap memeriksa dokumen penduduk. Setiap kali mereka mengetahui kami dari Chechnya, segera saja kami ditahan di kantor mereka. Mereka baru melepaskan setelah kami membayar jaminan yang bagi kami cukup untuk makan seminggu.

Sambil berbincang-bincang, istri Baudin, Malikah, mempersilahkan kami makan kue-kue dan coklat yang disediakan.

“Dulu saya biasa memakai palatok (kerudung kecil) jika keluar dom (gedung). Namun, selalu saja saya dikenali sebagai orang Kaukasus. Dan selalu saja ada alasan mereka menangkap saya…..” Malikah menyela dengan raut muka sedih mengenang masa-masa awal mereka datang ke Moskow. Yang paling ia takutkan adalah keselamatan anak-anak mereka jika mereka akhirnya ditahan. Baudin memiliki 3 orang anak. Muhammad yang tertua kini berumur 11 tahun. Adiknya Madina, berumur 8 tahun, dan yang terbungsu adalah Mansur yang baru berumur 4 tahun. Muhammad dan Madina bersekolah di sekolah yang sama, yaitu persis di belakang dom kami tinggal. Muhammad kelas 6, sedangkan Madina kelas 2. Sekolah Rusia memakai sistem paket terpadu dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Jenjang kelas mulai sejak kelas 1 hingga kelas 11, setara dengan SD hingga SMU di Indonesia. Sedangkan yang bungsu, Mansur, belum bisa ditinggal di Jetski Sad, sebutan untuk taman kanak-kanak Rusia. Ia masih belum bisa berbahasa Rusia.
“Mansur hanya bisa berbicara bahasa Chechnya. Sehingga sulit untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan gurunya jika masuk Jetski Sad”, tambah Malikah.

Sambil berbincang-bincang saya mencoba mencicipi coklat yang dihidangkan. Astaghfirullah! Ini coklat Cognag! Kubatalkan melanjutkan mengigit potongan coklat yang tersisa. Setelah itu saya hanya makan biskuit dan minum teh saja. Sementara itu Baudin memperhatikan perubahan raut muka saya dengan keheranan. Namun, kemudian saya berusaha menutupi ketidakenakan suasana dengan melanjutkan pembicaraan kembali ke ceritanya tentang Grozni saat ini.

Begitulah jika tidak hati-hati membeli makanan di sini. Kandungan piva, sebutan untuk bir, sering terselip di dalam coklat, kue tar, maupun permen-permen yang dijajakan. Begitu pula dengan kripik, bumbu penyedap, dan bahan masakan siap saji, perlu teliti dan hati-hati membeli. Jangan sampai mengandung swinina, alias babi.

Saya mohon diri tatkala waktu menunjukkan pukul 20.00. Masih banyak yang harus saya siapkan untuk esok hari. Saat berpamitan, Baudin memberikan padaku sebuah buku kecil, Yaa-siin. Satu-satunya quran yang mereka miliki.

“Ahmad! Ini untukmu. Kami belum bisa membacanya. Mudah-mudahan bermanfaat untuk mu…” Baudin mengucapkan dengan bersahabat sambil menjabat erat dan memeluk bahuku.
“Ahmad! Kepada sahabat di Chechnya kami biasa mengucapkan Salam Marsghail setiap bertemu dan berpisah. Salam marghail mengandung arti selamat berjuang, semoga sukses, dan semoga Tuhan bersamamu….” Lanjutnya kemudian.

“Karenanya Ahmad!….Assalamu alaikum dan…..SALAM MARSGHAIL!”
“Wa alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh….”
………………………

Yaa-Siin yang mengharukan

Musim semi belum juga datang di pertengahan Maret 2000. Namun keceriaan hari raya Idul Adha 1420 H tetap menyemburat dari senyum-senyum hangat kaum muslimin Indonesia seusai sholat Ied di helat di KBRI Moskow. Kesibukan qurban memberi nuansa tersendiri bagi aktivitasku di sini. Idul Adha adalah hari raya terbesar umat Islam. Muslim Rusia menyebutnya Hari Raya Qurban Bairam. Hari Raya penyembelihan Qurban.

Qurban di KBRI Moskow dikoordinir oleh Himpunan Pengajian Islam Indonesia (HPII) Moskow. Lembaga Islam yang memang didirikan untuk melayani pelaksanaan syariat Islam bagi muslim Indonesia di Rusia. Pada perayaan qurban kali ini, HPII menerima amanat menyembelih 14 ekor domba dari para staf dan diplomat KBRI Moskow. Penyembelihan dilakukan di luar kota Moskow, di sebuah tempat penjagalan qurban sejauh 2 jam perjalanan dari kedutaan. Kami di antar seorang Imam Masjid Basoi Tatarski, Imam Husain. Melalui beliau pulalah HPII mendistribusikan daging qurban bagi kaum du’afa Rusia yang banyak datang ke Masjid.

Aku menyesali diri saat perhelatan tuntas diselenggarakan. “Ada yang terlewat!” gumamku.
“Aku lupa memberikan paket daging qurban untuk Baudin dan keluarganya. Padahal ia muslim yang tinggal terdekat denganku” sesalku. Aku mencoba mengecek di lemari pengumpulan daging yang belum terbagikan.
“Sayang…, semua sudah diberi nama. Tak ada yang tersisa”, desahku menyesali.

Semalaman aku merenungi keteledoran ini, dan akhirnya kuputuskan memberinya hadiah yang istimewa sebagai gantinya.. Esok paginya, sebuah al-Quran dan terjemahannya dalam bahasa Rusia kubungkus rapi. Kemudian kepersembahkan kepada Baudin sesaat sebelum kuberangkat bekerja di kedutaan.
“ Spraznikom! Selamat Hari Raya….” Ucapku.
“Balsoi spasiba! Spraznikom! Terima kasih banyak, selamat Hari Raya!” jawabnya. Dan keterkejutan mendapatkan hadiah yang tiba-tiba belum lenyap dari matanya saat ia kutinggalkan. Ia berpesan memohon aku datang bertamu ke rumahnya sepulang dari bekerja nanti. Insya Allah….

Ketika malam hari, saat kami telah duduk bersama di sisi meja kecil dapurnya yang hangat, beliau sekali lagi mengucapkan terima kasih atas Al-Quran pemberian saya. Baginya kitab itu adalah benda keramat yang benar-benar berharga. Baudin membungkusnya dengan taplak sulam yang bersih, dan menyimpannya dengan rapi di kotak teratas lemari ruang tamunya. Ia benar-benar kagum melihat Al-Quran besar yang dilengkapi terjemahan bahasa Rusia seperti itu. Ia berharap bahwa suatu saat dirinya atau anaknya, Muhammad, mampu membaca Al-Qur’an itu.

Baudin kemudian menuturkan kisah tentang tyotya-nya (bibinya) yang wafat seminggu yang lalu. Ia amat sedih mendengar berita kematian itu. Baudin amat ingin pulang kampung bertakziah, namun saat ini tidak mungkin ia lakukan. Grozni masih belum aman.

Baudin menceritakan adat Chechnya jika ada seseorang yang ditimpa musibah kematian. Keluarga yang ditinggalkan bersama-sama membacakan surat Yaa-siin untuk dihadiahkan kepada si mayit. Kemudian, jika mampu, maka biasanya mereka menyembelih seekor karova (kerbau) untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin, lantas melakukan zikir dan doa bersama untuk almarhum. Demikianlah Baudin menggambarkan kebiasaan adat di daerahnya.

Baudin amat sedih, karena ia tidak bisa membacakan Yaa Siin untuk tyotya-nya. Ia juga sedih karena tidak mampu menyembelihkan seekor baran-pun(kambing) untuk sedekah bagi almarhumah. Aku menandaskan bahwa yang terpenting adalah berdo’a dengan bacaan do’a yang kita mampu, sekalipun dengan bahasa Chechnya. Allah Maha Mengetahui segala macam bahasa. Bahkan bahasa semua makhlukNya.

Tatkala waktu sholat magrib datang, saya memohon ijin untuk melakukan sholat di rumahnya.
“Ya, mari kita Namaz bersama” Ujar Baudin. Namaz dalam bahasa Rusia berarti sholat. Namun terkadang digunakan pula kata Malitsa, yang berarti do’a.
Kami kemudian bergantian berwudhu dan sholat berjamaah. Muhammad ikut serta berjamaah. Ia sesekali masih harus melirik kepadaku untuk meniru gerakan dan posisi sholat yang benar. Rupanya ini kali pertama Muhammad sholat berjamaah di rumah. Baudin biasanya sholat sendiri, dan Muhammad belum ditegaskan olehnya untuk belajar sholat.

Seusai wirid dan do’a kami panjatkan, Baudin memohon aku membacakan surat Yaa-Siin untuk dipersembahkan kepada bibinya yang baru saja wafat. Al-quran tarjamah Rusia yang baru saja kuberikan diambilnya dan disodorkan kepadaku untuk dibacakan. Mereka mendengarkan dan menyimak lamat-lamat alunan Yaa-Siin yang kuperdengarkan. Keharuan menyeruak, dan mata kami perlahan berkaca-kaca……..
...........................

Masjid di Moskow

Beberapa bulan berselang dan aku tenggelam dalam kesibukan. Hingga saat telepon rumahku terpasang setelah sebelumnya dicabut karena penghuni sebelumnya belum melunasi tunggakan, aku kembali teringat nomor telepon Baudin yang pernah diberikannya. Aku amat ingin bertamu ke rumahnya, namun khawatir mengganggunya. Karenanya kutelepon ia lebih dahulu.

“Ahmad! Anda sangat sibuk ya? Tak dolga nye vtrecimsa! Lama sekali kita tidak berjumpa!” sambut Baudin tatkala aku membuka percakapan pertelepon.
“Maaf, Baudin! Sebenarnya saya sangat ingin bertemu anda, tapi saya khawatir menganggu…”
“Ahmad! Jangan pernah berpikir seperti itu. Wie uzhe kak moi brat! Anda sudah seperti saudara saya! Rumah saya selalu terbuka untukmu. Silakan datang setiap ada waktu. Setiap pukul 7 malam saya biasanya sudah ada di rumah, datanglah pada waktu itu” tegas Baudin.
“Kharasyo, spasiba! Baik, terima kasih. Insya Allah jumat sore minggu ini saya bertamu ke rumah anda”
“Saya tunggu anda, Ahmad!”
“Terima kasih, Da svidania, Assalamu alaikum dan Salam Marsghail!”
“Wa alaikum salam, Salam Marsghail!” Jawabnya menutup pembicaraan.
Da svidania adalah ungkapan yang biasa digunakan saat berpisah. Da svidania berarti sampai berjumpa.

Jumat sore, tatkala mentari musim Panas di pertengahan Juli 2000 masih terang menyinari bumi, kubergegas pulang untuk selanjutnya bertamu ke rumah Baudin tetangga Chechnya-ku. Kali ini Baudin bercerita banyak tentang nasib muslim Chechnya yang semakin buta terhadap agamanya sendiri. Ia memberi contoh dirinya yang samasekali tidak mengenal huruf arab saja masih dianggap lebih baik di kalangannya karena masih bisa sholat. Kami biasanya sholat dan berdoa hanya berdasarkan hafalan yang diajarkan turun temurun. Kami hanya mengingatnya setelah mendengarkan, bukan karena membaca tulisan arab langsung. Karenanya sangat mungkin sekali terjadi kesalahan dalam bacaan kami.

“Wie beili v mecet v Moskve? Apakah anda pernah ke masjid di Moskow?” aku mencoba mencari solusi. Aku berpikir bahwa tentu saja di masjid tersedia Al-Quran dan kerap kali terdapat orang-orang yang mampu membaca Al-Quran dengan baik.
“Znacit, Ahmad! Ketahuilah, Ahmad! Terus terang saya amat jarang ke Masjid. Pernah sekali dua kali saya ke masjid Balsoi Tatarski yang terletak 200 m di seberang kedutaan anda untuk sholat Jumat. Selanjutnya saya tidak sempat lagi karena harus bekerja sepanjang hari. Di samping itu bahasa pengantar ketika khutbah lebih banyak bahasa Tatar yang saya tidak pahami” Baudin menguraikan sambil memberi alasan.

Saya tersenyum mencoba memahami. Pernah sekali saya mengikuti sholat jumat di Masjid Balsoi Tatarski, dan memang khutbah dilakukan dengan bahasa Tatar, namun kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, meskipun sangat ringkas.

“Ahmad! Terus terang terkadang saya bingung mengikuti sholat di masjid. Mereka melakukan sholat agak berbeda dengan yang biasa saya lakukan. Tapi saya melihat sholatmu sama dengan saya. Pacimo tak slucilas! Mengapa demikian, Ahmad!” Baudin mulai menyampaikan uneg-unegnya.

Saya coba menelusuri perbedaan yang dimaksud. Saya teringat beberapa waktu yang lalu sempat membaca buku kecil tentang muslimin di Rusia. Bangsa-bangsa di Asia Tengah seperti Kazakh, Tajik, Kirghiz, Turkmen, termasuk pula Tatar menganut ahlus sunnah wal jamaah mazhab Hanafi. Karenanya pelaksanaan sholat mereka sedikit berbeda dengan bangsa-bangsa Kaukasus, yaitu Chechnya, Ingusetia, dan Dagestan yang bermazhab Syafi’i. Adapun Azerbaijan sebagian adalah sunni dengan mazhab hanafi, dan sebagian lagi yang berbatasan dengan Iran menganut syi’i. Saya sampaikan duduk masalahnya, sehingga Baudin mengerti.

Lantas Kami bercakap-cakap tentang Masjid yang ada di Moskow. Ia mengira hanya ada 2 masjid saja di sini, Prospek Mira dan Balsoi Tatarski. Saya membetulkan bahwa sesungguhnya ada 5 masjid yang telah berdiri. Satu lagi di kompleks museum perjuangan Kutuzovski, dan 2 lainnya di rayon Otradnoye. Dua masjid yang saya sebutkan terakhir terletak dalam satu kompleks ibadah yang di dalamnya juga terdapat gereja ortodoks dan sinagog yahudi.

Saya teringat percakapan dengan imam masjid, Syekh Shihabuddin, ketika pertama kali mengunjungi masjid di Otradnoye itu.
"Ijin pembangunan masjid sangat sulit di Moskow ini. Namun kami tidak kehabisan akal mengupayakannya. Seorang deputat muslim keturunan Tatar melobbi pemerintah untuk diijinkan membangun sebuah komplek rumah ibadah" ujar beliau. Ijin akhirnya keluar, dan pembangunan segera dilakukan.
"Karena terikat janji, maka kami juga mendirikan sebuah Gereja kecil dan Sinagog kecil di kompleks di komplek ini" lanjut Imam tersebut.
"Alhamdulillah, dengan cara tersebut Masjid yang cukup besar ini dapat berdiri" lanjut beliau dan menutup pembicaraan kami. Deputat adalah sebutan untuk anggota Duma, Parlemen Rusia. Setiap propinsi memiliki wakilnya di Duma.

Saya pernah beberapa kali berbaur dengan saudara-saudara muslim di Masjid Pusat, Prospek Mira. Masjid terbesar di antara 5 masjid yang ada di Moskow itu dan terletak persis di sudut komplek olahraga Olimpiski. Di sanalah dulu dilaksanakan Olimpiade dunia tahun 1980.
Sungguh menyenangkan dapat berkenalan dengan muslim dari berbagai bangsa: Chechnya, Dagestan, Tajik, dan Rusia. Saya juga berkenalan dengan saudara dari Palestina, Tanzania, Aljazair, dan Azerbaijan. Perbedaan-perbedaan yang terlihat dalam praktek ibadah kami, seperti sholat, memang seringkali menjadi bahan perdebatan. Namun tidak pernah dipersoalkan berlarut-larut. Kami saling memahami latarbelakang mazhab masing-masing, dan kami tetap melaksanakan sholat berjamaah bersama.

Kemudian Baudin melanjutkan kisahnya mengenai muslim Chechnya di Grozni. Ia terkenang bahwa pernah suatu ketika di tahun 80-an, saat Rusia masih bagian dari Uni Sovyet, sebagian kaum muslim yang peduli terhadap nasib umatnya berupaya mendirikan Masjid dan Madrasah di sana. Pembangunan berjalan lancar, meskipun bangunan yang akhirnya berdiri sangat sederhana. Aktivitas keislaman kemudian meningkat. Banyak muslimin chechnya yang sadar pada kebodohannya dan mulai mengenal huruf arab di madrasah itu.

"Tahun pertama berjalan dengan baik. Hingga tahun keduapun Madrasah masih aktif dan berjalan dengan lancar. Tapi...." Baudin menarik nafas dan berkata dengan tatapan sayu.
"Pada tahun ketiga pemerintah Uni Sovyet, melalui tangan-tangan KGB, menghentikan semua aktivitas masjid dan madrasah itu. Masjid ditutup dan dijadikan gudang. Begitu pula madrasahnya. Para guru-guiru ditangkapi, dan saya tidak tahu nasib mereka selanjutnya, Ocen Zhal! Sungguh sayang!" Kenang Baudin, sedih.

“Selama Komunis berkuasa, kebebasan beragama kami direnggut” Baudin melanjutkan.
“Saya teringat ketika masih kecil, saat menjelang tidur, maka ayah atau ibu masuk kamar saya dan mengajarkan syahadat seperti berbisik di telinga. Awalnya saya tidak mengerti, apa maksud ayah menyuruh saya mengikutinya bersyahadat. Lama kemudian saya tahu bahwa begitulah kewajiban kami orang-orang tua melanjutkan tradisi mengislamkan anaknya” panjang lebar Baudin menuturkan sambil sesekali mereguk teh manis panas yang dihidangkan Malikah, istrinya.
Saya berusaha mendengarkan penuturan Baudin dengan seksama sambil sesekali bertanya jika ada kata-kata yang saya tidak mengerti. Alhamdulillah, Bahasa Rusia saya sekarang semakin memadai untuk menangkap pembicaraan.

“Orang-orangtua kami juga mengajarkan al-Fatihah dengan membacakannya setiap kami menjelang tidur” lanjut Baudin.
“Sayang, ...tidak semua bisa mengajarkan sholat. Beruntung saya sering melihat orang sholat, sehingga lambat laun saya dapat melakukannya sendiri lengkap dengan bacaannya”
Baudin kemudian mencontohkan bacaan-bacaan sholat yang ia hafal. Sesekali saya membetulkan madnya yang terkadang kurang sempurna.

“Oh ya, Ahmad! Izvinite...maaf telah menghidangkanmu coklat yang mengandung alkohol dahulu. Saya sendiri tidak tahu. Saya baru menyadarinya saat melihatmu terkejut dan tidak melanjutkan memakan coklat itu. Karenanya, prastite, Ahmad!”, Baudin teringat kejadian saat pertama kali kami bertemu dan minum teh bersama di kwartirnya.
Saya tersenyum menerima maafnya. Lagipula tidak ada yang perlu dipersalahkan. Bukankah Allah tidak menuliskan keburukan karena ketidaktahuan?
Jalan masih panjang untuk da’wah di Chechnya, gumamku.
.......................

Hari Kemerdekaan

Angin musim panas masih menghangatkan tubuh saat kami di KBRI Moskow sibuk menghadapi perayaan besar hari Kemerdekaan RI ke 55, 17 Agustus 2000. Seluruh staf dikerahkan untuk memeriahkan perayaan yang akan berlangsung seharian penuh. Selain acara seremonial Upacara dan resepsi diplomatik, maka diadakan panggung hiburan dan bazaar masakan Indonesia. Semua staf dipersilahkan mengundang kenalannya untuk datang dalam acara tersebut.

Saya teringat pada Baudin dan keluarganya. Ia tentu senang diundang datang ke kedutaan dan merasakan kegembiraan bersama. Pagi hari saat akan berangkat ke kantor, kusempatkan mampir ke kwartirnya untuk menyampaikan undangan.

“Spasiba wam balsoi! Terima kasih banyak, Ahmad!” sambut Baudin menerima surat undangan.
“Saya akan usahakan datang pada acara tersebut!” tegasnya padaku.

Dan siang itu, Baudin datang bersama istrinya. Mengenakan setelan jas hitam dengan dasi berarsir, sedangkan Malikah memakai baju panjang, seperti layaknya baju muslimah, hanya saja tanpa kerudung. Baudin takjub melihat cukup banyak masyarakat Indonesia dan undangan asing yang hadir. Hari kemerdekaan, suatu kegembiraan yang belum juga mereka dapatkan. Rusia seakan menjajah Chechnya kini, pikirnya. Kami terusir dari tanah air kami sendiri.

Baudin pernah menceritakan padaku tentang proklamasi Chechnya tahun 1991 dahulu.
“Kala itu kami seakan menghirup angin segar kebebasan. Kami seperti melihat masa depan yang menjanjikan kesejahteraa. Presiden kami, Jauhar Dudayev, lantang menegaskan berdirinya Republik Islam Chechnya...” Baudin mulai bercerita.

“Kami berkumpul alun-alun utama Grozni. Tak seorangpun penduduk Grozni yang tertinggal di rumah. Laki-perempuan, tua-muda, kakek-nenek hingga anak-anak, semua datang ke alun-alun kota untuk menyaksikanm proklamasi. Dentuman meriam dan Azan menandai awal proklamasi. Lantas al-Quran dibacakan dengan amat merdu oleh seorang mufti kami di Grozni. Semuanya, lebih dari setengah juta orang, diam dalam keheningan mendengarkan alunan ayat-ayat suci dibacakan. Sebagian dari kami menangis terharu” Baudin menceritakan dengan nada yang haru pula.
“Lantas saat presiden disumpah, dan proklamasi dibacakan, takbir membahana di seluruh penjuru arah, bersahut-sahutan dengan dentuman meriam dan senapan mesin” penuh semangat Baudin menggambarkan.
“Baru setelah itu parade militer digelar. Lebih dari limaratus pasukan Chechnya dengan senjata di tangan berbaris rapi, diikuti dengan iringan puluhan tank lapis baja dan kendaraan tempur lain. Mereka semua mengibarkan bendera Chechnya, hijau muda dengan dua strip merah di sisinya”
Lanjutnya penuh semangat.

Kisah selanjutnya sejarah menorehkan tinta hitam kelam Bagi Chechnya. Rusia tidak rela jika Chechnya lepas dari cengkramannya. Negeri kaya minyak bumi dan jalur transportasi darat menuju timur tengah sangat vital bagi eksistensi Rusia. Dan pecahlah perang Chechnya. Dan....Jihadpun dikumandangkan .......

Saat makan siang disajikan, kuantarkan Baudin dan Malikah menikmati hidangan. Nasi uduk, Gado-gado, Bakso, Siomay, Pempek, Rujak, Kerupuk dsb satu persatu mereka cicipi. Baudin tampaknya antusias dan menyukai makanan Indonesia. Rupanya ia juga suka rasa pedas. Hanya saja istrinya Malikah selalu menegurnya untuk menahan diri. Ia tahu bahwa suaminya memiliki maag dan sering sakit perut jika makan yang pedas. Karenanya ia khawatir jika Baudin kambuh di tengah pesta ini.

Malikah tahu banyak tentang kesehatan. Tantu saja ia menguasainya, karena ia lulusan Institut kedokteran di Institut Vladikavkas, 100 km ke arah barat Grozni. Malikah seorang dokter. Adapun Baudin seorang teknik mesin lulusan Universitas Teknik yang terkenal di Grozni. Pada zaman USSR, semua sarjana ditempatkan oleh negara. Tidak boleh menolak atau mengajukan pindah sekalipun. Untunglah Malikah ditempatkan di tanah airnya sendiri, Grozni. Namun gajinya tidak lebih sekedar untuk makan roti dan transportasi sehari-hari. Adapun Baudin telah mengenyam pahit getir bekerja di berbagai pabrik negara. Ia juga pernah ditempatkan sebagai teknisi perang di Jerman Timur. Beruntung pula akhirnya Baudin ditempatkan di sebuah pabrik penghasil mesin-mesin industri di Grozni. Dan di sanalah Baudin dan Malikah bertemu.

Di Era Komunisme, kebebasan memilih jalan hidup benar-benar dikekang oleh negara. Komunisme menjadikan rakyat di USSR sebagai sapi perahan yang harus mengikuti penguasa, para pejabat Komite Sentral Partai Komunis. Sedikit saja berbicara berbeda dengan kebijakan pemerintah, maka hantu KGB segera menciduknya. Kerja paksa di kamp Gulag, atau dibuang ke Siberia. Kalau sudah demikian, kematian seakan sudah di depan mata. Baudin mengisahkan bahwa saat Stalin berkuasa lebih dari 44 ribu rakyat Uni Sovyet mati di tangan pemerintahnya sendiri. Di era Stalin pulalah rakyat Uni Sovyet dipindahpaksakan. Lebih dari separuh rakyat Chechnya kala itu dipindahkan ke Kazakhtan. Dan tanah-tanah kami yang kosong diisi dengan penduduk Rusia dan suku bangsa lain sebagai upaya pembauran paksa gaya Stalin. Kemerdekaan memang mahal, janganlah pernah disia-siakan. Ucapan Baudin terakhir amat dalam membekas di hatiku. Ya...Kemerdekaan itu amat mahal...
......................

Mengaji IQRO’

Sore hari di pertengahan September 2001, saya sempatkan diri bersilaturrahmi ke kwartir Baudin. Seperti biasa, kami bercengkrama di dapurnya yang hangat sambil menikmati sup Rusia 'Bors', dan kentang rebus yang biasa dimakan bersama Cyorni khleb (roti hitam).

Kali ini giliran saya menuturkan tentang kondisi muslim di Indonesia. Mulai dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, masa-masa penjajahan Belanda, hingga peran ulama dan kaum muslimin di era kemerdekaan. Saya utarakan pula ke Baudin bahwa kini jihad bergema di Indonesia Timur. Perang suci telah dimulai untuk mempertahankan aqidah dan Izzah dari makar orang-orang kafir. Ada rasa rindu menyelinap di antara kata-kata yang meluncur dan semangat yang menyala di hati. Baudin turut prihatin atas kondisi Indonesia kini.

"Tentu ini banyak hikmahnya. Setidaknya mengingatkan kita bahwa orang-orang kafir tidak pernah suka jika Islam berjaya. Dan tentu ini adalah ujian bagi keimanan kita. Seperti juga yang terjadi di Chechnya kini" ujarku berusaha menghibur diri.

Saat waktu maghrib tiba, kami tegakkan jamaah bersama. Muhammad turut serta seperti waktu yang lalu. Ia masih harus melihatku di setiap perubahan gerakan shalatku. Dan bacaan yang ia tahu baru surat al-Fatihah saja.

Kepada Baudin kembali saya tawarkan untuk privat mengaji bagi Muhammad. Baudin ragu mengiyakan seperti juga yang lalu. Kemudian Baudin berterus terang bahwa ia tidak mampu membayar privat, yang murah sekalipun kecil. Ah, tak terpikirkan olehku bahwa masalah pembayaran yang ia beratkan. Segera saja kusampaikan padanya maksudku sesungguhnya.

"Baudin! Setiap muslim yang dapat membaca al-Qur'an, maka wajib baginya mengajarkannya kepada sesama saudaranya yang belum bisa, eta mnye abeizatelna " kataku menjelaskan.
"Karena sebuah kewajiban, cukuplah pahala Allah sebagai pamrihnya. tidak perlu yang lain" lanjutku.
"...karenanya, saya menawarkan padamu hanya ingin membayar kewajiban itu. Semua Bes platna! tidak usah dibayar!" tegasku kemudian.

Baudin gembira sekali mendengarnya. Wajahnya bersinar menampakkan harapan. Ia amat senang akhirnya menemukan guru mengaji bagi anaknya. Semua kekhawatiran tentang masa depan Muhammad yang terpendam sejak ia mengadu nasib di Moskow seakan sirna layaknya salju yang hilang diterpa terik mentari. Segera saja kusodorkan sebuah buku kecil IQRO' yang memang sudah kupersiapkan sejak dahulu untuk Muhammad. Kusampaikan bahwa metode IQRO' amat mudah. Jika setiap hari Muhammad membaca dan mengulang-ulangnya dengan benar, maka dalam waktu kurang dari 3 bulan sudah dapat membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Saat itu pula saya mulai mengajarkannya mengenalkan huruf. Dalam waktu singkat, Muhammad telah menguasai 7 huruf hijaiyah, a...ba...ta...tsa...ja...ha...kho...Alhamdulilah.

Muslim di Moskow

Pada minggu berikutnya saat selesai mengajar Muhammad melanjutkan IQRO I-nya, saya ceritakan kepada Baudin sejarah munculnya metode IQRO ini di Indonesia. Sejak dahulu para ulama di Indonesia berusaha merumuskan cara yang baik dan mudah mengajarkan membaca Al-Quran. Metode pengenalan huruf sejak awal ternyata memberatkan dan membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun untuk bisa membaca al-Quran dengan baik. Mereka terus mencoba berbagai macam cara agar Al-Quran benar-benar terasa mudah dibaca dan cepat dikuasai oleh umat Islam. Mereka yakin bahwa sesungguhnya ada cara yang efektif dan cepat membaca al-Quran, karena Allah memang telah menjanjikan demikian. Oleh karena itu kemudian dipikirkan metode yang mengakhirkan teori pengenalan nama huruf dan hukum-hukum bacaan tajwid. Metode praktis ini langsung mengajarkan secara praktis membaca al-Quran. Nah, salah satu metode praktis belajar membaca al-Quran yang berhasil disusun adalah metode IQRO'. Alhamdulillah sejak 12 tahun yang lalu sejak pertama kali diperkenalkan secara luas di Indonesia, metode IQRO berhasil memberantas buta huruf al-Quran bagi jutaan anak-anak muslim, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di ASEAN. Saya berharap nantinya dapat pula berkembang di Rusia, insya Allah.

Dalam kesempatan berkumpul di masjid Balsoi Tatarski seusai shalat fardhu, saya sampaikan pula keunikan buku kecil IQRO yang sengaja saya bawa kepada kenalan-kenalan di sana. Mereka amat kagum dengan keberhasilan ini, dan tertarik untuk mencoba menggunakannya. Kepada mereka dua kali seminggu saya berjanji untuk datang dan bersama-sama belajar membaca al-Quran dengan metode IQRO’ tersebut. Bahadur dari Tajikistan dan Jibril dari Ukraina adalah dua sahabat saya yang paling rajin datang untuk mengaji di Masjid. Ada rasa bahagia yang tak terkira saat mulut-mulut mereka mulai mampu mengeja huruf-huruf Al-Quran tersebut. Secercah harapan mulai tumbuh di belantara gersang Rusia. Terbersit dalam ingatan selaksa harapan untuk dapat memberantas buta huruf al-Quran di sini.

Moskow, ibukota Rusia, kota besar dengan 12 juta penduduknya, siapa sangka lebih dari 1 juta di antaranya adalah muslim. Suku bangsa Tatar yang telah lama berabad-abad bermukim di Moskow adalah bangsa muslim yang mendominasi lebih dari separuh muslim di sini. Kemudian para pendatang dari selatan yang rata-rata pedagang, dan buruh kasar, menambah banyak komunitas muslim Moskow. Mereka adalah suku bangsa dari Asia Tengah dan Kaukasus. Suku bangsa dari Asia Tengah meliputi Kazakh, Uzbek, Kirgiz, Turkmen, dan Tajik. Sedangkan dari kaukasus meliputi Chechnya, Ingusetia, Dagestan, ditambah Azerbaijan. Mereka dapat dengan mudah kita jumpai di pasar-pasar tradisional, seperti Kievskaya, Donilovsi dan Tyopli Stan.

Sejak pecah perang Chechnya tahun 1992, maka gelombang pendatang dari republik kecil tersebut meningkat pesat. Diperkirakan di Moskow kini terdapat kurang lebih 70 ribu orang-orang Chechnya dan Ingusetia. Perang di Chechnya tidak hanya menimbulkan kerugian berupa kematian serdadu militer dan keuangan bagi Rusia. Masalah sosial yang belakangan bermunculan di Moskow terpaksa mereka hadapi akibat ulah mereka sendiri menghancurkan Grozni.

Pindah Kwartir

Akhir September 2000, saat saya akan pindah kwartir ke selatan Moskow, kusempatkan diri mampir ke rumah Baudin untuk pamit. Raut sedih karena kehilangan amat tampak di wajahnya. Ia menyesali diri, mengapa tidak sejak pertemuan pertama menerima tawaran mengaji.
“Mungkin sekarang Muhammad telah bisa membaca al-Quran jika sejak awal saya mengiyakan....”sesalnya.

Baudin menduga saya akan meninggalkannya, karena itu segera saya tegaskan padanya:
“Baudin! Di manapun saya tinggal, sepanjang saya mampu, saya akan tetap datang untuk mengaji bersama Muhammad. Sudah menjadi kewajiban saya mengajarkan al-Quran bagi yang belum bisa dan benar-benar ingin belajar”timpalku.
“Jangan pernah berpikir merepotkan, atau memberatkan, Baudin! Ini sudah kewajiban saya”lanjutku menegaskan.
“...lagipula saya diuntungkan dapat berlatih berbahasa Rusia dengan anda, khan?”
Keragu-raguan di matanya beranjak hilang, senyumnya mengembang membuatku senang.

Lantas Baudin membantuku mengemasi barang dan mengangkutnya ke mobil seorang staf yang turut membantu kepindahanku. Lift macet dan tidak dapat digunakan. Bantuan Baudin amat berarti bagiku.

“Baudin! Insya Allah setiap selasa dan Jumat saya akan datang ke kwartirmu untuk mengaji dengan Muhammad” ucapku saat berpamitan.
“Saya amat senang bertemu denganmu, Baudin! Kau adalah saudaraku dari Chechnya. Saya ingin sekali suatu saat dapat menginjakkan kaki di negerimu. Insya Allah..., saya akan datang ke kwartirmu...insya Allah” ucapku sambil menggengam erat tangannya yang kukuh.

“Spasiba, Ahmad! Saya selalu menunggumu, pasti menunggumu. Baiklah, Assalamu Alaikum, Ahmad!”ucapnya melepas kepindahanku.
“Wa alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh....., Salam Marsghail!” jawabku sambil menyambut pelukannya yang terasa sangat erat seakan hendak meremukkan tulang rusukku.
Salam Marsghail, Baudin......

Moskow, 20 April 2001

Ahmad Marzuki
Sekolah Indonesia Moskow
Novokuznetskaya Ulitsa 12
Moskow, Federasi Rusia