Monday, October 20, 2008

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA MOSKWA

Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

(Bagian 6 dari 7 tulisan)

Rabu, 25 Januari 2000

Ibarat sinar mentari begitulah kasih ibu
Sepanjang zaman tak akan terbalas
Teruntai begitu indahnya .....

Untaian nasyid suara persaudaraan menggugahku akan kerinduan pada kasih sayang ibu. Sudah hampir seminggu berada di Moskwa, kerinduan menyelinap dalam hati teringat akan berbagai harapan yang ibu sampaikan saat melepas di bandara Soekarno Hatta. “Jaga diri, jaga sholat” demikian pesan singkat yang membuatku menitikkan air mata. Hari ini juga aku harus meneleponnya.

Pagi yang cerah, suhu minus 7 C. Orang-orang Rusia menganggapnya suasana musim dingin yang ‘hangat’. Memang bila berjalan-jalan di luar badan terasa hangat, tidak lain karena palto tebal yang menyelimuti sekujur badan membuat panas badan tetap terperangkap di antara kulit dan pakaian. Namun, teman-teman staf kedutaan mengingatkanku untuk tidak lupa memakai krem pelembab muka dan kulit, serta memakai topi bulu yang menutup telinga. Jika telinga terpapar angin dingin, awalnya terasa nyeri dan kaku, lalau lambat laun memerah dan akhirnya membiru. Kalau sudah benar-benar biru kaku, maka terancam beku permanen dan harus diamputasi. Karena itu, telingga yang memerah karena kedinginan adalah warning untuk segera masuk ruangan dan menghangatkan badan.

Hari ketiga mengajar di Sekolah Indonesia terjauh, SIM. Membuka-buka album kenangan SIM tempo doeloe, aku merasakan suasana patriotik saat pendirian sekolah ini. Bapak Awal Uzhara yang masih hadir ke sekolah sebagai guru bahasa sementara menuturkan untaian sejarah berdirinya SIM.

Pak Awal, adalah saksi sejarah hidup yang patut digali ilmunya. Ia berumur 70 tahun, dan telah tinggal di Moskow sejak tahun 1957. Ia adalah angkatan kedua pengiriman mahasiswa Indonesia ke Uni Sovyet, dan mengambil bidang penyutradaraan film. Seniornya yang merupakan angkatan pertama ialah: Syumanjaya, Almarhum. Pa Awal tahu persis, bagaimana SIM didirikan. Sebab saat itu ia menjadi lokal staf honorer di Kedutaan. Gedung yang menjadi SIM sekarang adalah tempat tinggalnya dahulu, ruang guru merupakan kamar tidurnya di tahun 1964.

Sebenarnya cikal bakal SIM telah ada sejak awal tahun 1963, ujar Pak Awwal. Saat itu Duta Besar Manaai Sophiaan merasakan perlunya pendidikan khusus bagi anak-anak Indonesia di Moskow. Beliau khawatir adanya perbedaan ideologi, budaya, dan rasa kebangsaan antara Uni Sovyet dan Indonesia yang cukup dalam, sehingga anak-anak Indonesia dapat terhindar dari pola pikir dan budaya komunisme. Manaai Sophiaan menyekolahkan anak-anaknya sendiri –di antaranya Sophan Sophiaan—di Sekolah Indonesia Moskow yang ia rintis tersebut. SIM menempati bangunan kecil, terpisah dari gedung kedutaan dan wisma duta, yang awalnya sebagai rumah tinggal penjaga kedutaan.

Seiring dengan perubahan politik Indonesia pasca peristiwa G-30-S tahun 1965, maka terjadi perubahan drastis dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Terjadi kerenggangan hubungan dengan negara-negara komunis, terutama Uni Sovyet. Seluruh struktur di KBRI Moskow berubah, nuansa militer amat kentara antara tahun 1966—1973. Pada masa itulah, tepatnya 1 Agustus 1967, Sekolah Indonesia Moskow resmi didirikan dan menjadi Sekolah Indonesia Luar Negeri pertama yang resmi berdiri.

Memasuki era 70-an, SIM mengalami perkembangan sehingga rumah jaga di pojok kompleks KBRI tersebut seluruhnya menjadi gedung SIM. Pertambahan siswa yang siginifikan hingga lebih dari 50 siswa di awal 80-an menuntut penambahan ruang SIM. Kedutaan kemudian mengalokasikan ruang-ruang sopir di gedung utara untuk dijadikan kelas-kelas SD. Kondisi ini terus bertahan hingga sekarang.

Aku teringat perbincangan saat pertama kali menempati meja kerja di ruang guru, Pak Syarif menyampaikan rasa syukur atas kedatangan kami. Rasa syukur yang disampaikannya begitu dalam, karena dengan kedatangan kami maka SIM dapat kembali aktif dan yang terpenting eksistensi SIM dapat dipertahankan.

SIM hampir saja dibubarkan sehubungan dengan krisis moneter tahun 1998, karena ketiadaan pembiayaan operasional sekolah dan Kedutaan terpaksa memberhentikan beberapa stafnya termasuk sebagian guru. Meskipun tidak terwujud kata sepakat di antara pengurus BP-SIM, tetap saja surat pembubaran disiapkan, sehingga kekhawatiran sivitas SIM semakin nyata.

Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan jua. Duta Besar RI di Moskow yang datang pada pertengahan 1999, Prof Dr. J.A. Katili tidak menyetujui pembubaran SIM.

“Saya adalah pendidik. Saya amat peduli dengan pendidikan anak-anak Indonesia. Sangat keterlaluan jika kedatangan saya di sini justru meruntuhkan pendidikan”, demikian kira-kira penolakan yang tegas dari Bapak Dubes J.A Katili saat disodorkan rencana pembubaran SIM sehubungan dengan efisiensi anggaran. Semua itu saya ketahui ketika saya tanyakan kepada Pa Adi prajitno, Sekretaris Duta Besar, saat makan siang bersama di dapur kedutaan.

Pak Adi Prajitno menuturkan panjang lebar betapa seriusnya Duta Besar mempertahankan SIM. Sebagai guru besar UI dan ITB, seorang profesor pakar geologi Indonesia, pantang baginya membubarkan institusi pendidikan. “SIM tidak akan dibubarkan, justru harus dipertahankan. Kalau perlu adakan perbaikan dan penambahan guru-guru agar SIM dapat berjalan dengan baik dan menjadi profil pendidikan Indonesia di sini” Tegas sang Dubes J.A. Katili.

Atas dasar instruksi itulah, maka BP-SIM mengadakan perekrutan guru-guru baru dari Indonesia yang hasilnya adalah kedatangan kami berempat: Ahmad Marzuki (Matematika, Biologi, OR), Nandang Aradea (Bahasa Indonesia, IPS), Wahyu Wuryandari (Kimia, IPA), dan Siti Helena (IPS, Sosiologi, Antropologi, Agama Kristen).

Sayangnya, keberuntungan SIM tidak dialami oleh beberapa sekolah Indonesia yang lain. Krisis moneter 1998 menyisakan sejarah ditutupnya beberapa Sekolah Indonesia di luar negeri, yaitu: SI-Manila (Filipina), SI-Hongkong (Cina), SI-Roma (Italia), dan SI-Praha(Ceko). Adapun SI-Beograd (Yugoslavia) tidak diketahui nasibnya. Teman-teman SI-Wassenar (Belanda) memberitahukan bahwa siswa-siswi Beograd biasanya mengikuti Ebtanas ke Belanda, tetapi sejak 2 tahun terakhir tidak ada pengiriman siswa.

Hari ini, salju sedikit turun. Siang hari saat break makan siang, Pa Nandang mengajakku untuk mencari wartel. Awalnya aku enggan, karena untuk menghubungi keluarga di Indonesia dapat menggunaka HP teman dan kemudian diganti pulsanya. Tapi, karena keinginan untuk mencoba dan berpetualang, akhirnya kakiku terayun juga menuju ke arah utara KBRI, menyusuri Novokusnetskaya Ulitsa, belok kiri melalui Klimentovski Pereulok, dan terus ke utara menyusuri Pyatnitskaya Ulitsa. Mas Dayat memberitahukan bahwa ada kantor pos yang di dalamnya terdapat wartel di ujung jalan di tepi Kanal Moskwa, dan itulah yang menjadi patokan kami. Tidak sulit mendapatinya, kami temukan sebuah gedung dengan tulisan Pochta (kantor pos), dan didalamnya terdapat ruang-ruang bicara layaknya wartel.

Dengan membeli sebuah kartu telepon seharga Rb 250,- kami dapat menggunakan telepon internasional tersebut. Sayang sekali, pulsa sebanyak itu hanya dapat menelepon selama 10 menit saja!

“Mah! Ini Zuki di Moskow! Alhamdulillah sehat. Bagaimana kabar mamah? Sehat? ” Aku langsung memberondong ibuku dengan seruntun pertanyaan, ekspresi berbagai rasa kerinduan padanya. “Alhamdulillah sehat, Ki. Bagaimana di sana? Betah?” jawab ibuku penuh kegembiraan mendengarkan suaraku meneleponnya. Tiada kebahagiaan yang lebih besar bagi seorang ibu selain mendengar keberhasilan anak-anaknya. Aku ungkapkan berbagai rasa di Moskow mulai dari cuaca yang sangat dingin, lingkungan asing, suasana baru bekerja di kedutaan, sekolah yang mungil, salju yang putih, hingga makanan rusia yang rasanya jauh dari kelesatan citarasa Indonesia.

“Kalau makan hati-hati Ki! lihat kehalalannya! Jangan lupa sholatnya!” Ibuku selalunya begitu mengingatkan. “Jangan lupa juga dengan adik-adiknya di sini yang masih sekolah” tambahnya menyindirku untuk berbagi rezeki dengan mereka. Kusampaikan bahwa insya Allah gaji pertamaku sebagian akan kukirimkan kedalam rekening ibu. Semoga Allah memberkahi dan memudahkan rezekiku. Kerinduanku belum tuntas, namun terpaksa kuakhiri juga pembicaraan karena sinyal berakhirnya pulsa telah berbunyi. Suara bip-bip halus terdengar mengingatkan bahwa waktu bicara tinggal 1 menit lagi. Aku berpamitan dan mengiringkan salam untuk keluarga tercinta di Jakarta. Semoga Allah senantiasa melindungi mereka.

Mentari musim dingin hari ini tampak indah merona bercahaya. Sinarnya menerpa hamparan putih salju hingga pantulannya menyilaukan mata. Membawa kaca mata hitam sudah menjadi syarat kenyamanan saat mentari bersinar seperti ini. Pantulan cahaya yang menusuk mata bukan hanya menyulitkan pandangan, tetapi dalam kadar yang tinggi dapat memusingkan kepala. Betapa banyak kecelakaan lalu lintas di musim salju diakibatkan oleh pantulan sinar mentari seperti ini.

Cuaca cerah ternyata menyimpan efek lain yang membuatku heran. Suhu terasa semakin dingin seiring dengan semakin teriknya mentari. Entah mengapa dapat terjadi demikian. Ah, mungkin angin bertiup lebih kencang saat itu.

Langkah kakiku terhenti saat Pak Nandang memanggilku lantang. “Ayo rek, kita naik tralibus! Itu tralibusnya datang!”. Aku belum sempat memberi jawaban, ia sudah beringsut masuk tralibus sehingga tak ada pilihan bagiku untuk ikut serta dengannya. Kami seperti 2 orang asing kebingungan saat naik, karena tidak tahu bagaimana harus membayar karcisnya. Tidak ada petugas yang meminta karcis dan tidak ada kaunter pembelian karcis di depan bus itu. Kami berusaha mencari tahu bagaimana aturan pembayaran naik tralibus ini. Saat ada penumpang di halte berikutnya naik, kami melihat ia mengeluarkan sebuah karcis dari sakunya dan melubanginya dengan alat pelubang kecil yang terdapat di dinding tralibus. Ooo, begitu caranya. Tetapi bagaimana mendapatkan karcisnya? Tetap saja kami tidak tahu.

Belum sempat kami dapatkan jawaban, tralibus telah sampai di halte Tretyakovskaya Galleriya. Saatnya kami turun. Bergegas turun dengan perasaan was-was karena menumpang tanpa membayar tiket, kami berjalan cepat melintasi depan stasiun metro Tretyakovskaya. Di kelokan Novokuznetskaya, barulah hati kami merasa nyaman. Rasa penasaran tentu harus kubayar nanti sesampainya di kedutaan.

Angin sepoi-sepoi bertiup halus menggoyangkan palto kami yang terjuntai hingga betis. Deru tramvai menelusuri rel di sepanjang Novokuznetskaya Ulitsa meningkahi suasana siang ini. Kata-kata ibuku senantiasa bergema di hati. Terus bergema menyuarakan simfoni rindu. Kata-katanya selalu terngiang di telingaku ... ingat anakku, jaga sholatmu....

Hasbunallah wa nikmal wakiil
Nikmal Maula wa nikman nashiir.

(Bersambung ke bagian 7)