Monday, October 20, 2008

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA MOSKWA

Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

(Bagian 6 dari 7 tulisan)

Rabu, 25 Januari 2000

Ibarat sinar mentari begitulah kasih ibu
Sepanjang zaman tak akan terbalas
Teruntai begitu indahnya .....

Untaian nasyid suara persaudaraan menggugahku akan kerinduan pada kasih sayang ibu. Sudah hampir seminggu berada di Moskwa, kerinduan menyelinap dalam hati teringat akan berbagai harapan yang ibu sampaikan saat melepas di bandara Soekarno Hatta. “Jaga diri, jaga sholat” demikian pesan singkat yang membuatku menitikkan air mata. Hari ini juga aku harus meneleponnya.

Pagi yang cerah, suhu minus 7 C. Orang-orang Rusia menganggapnya suasana musim dingin yang ‘hangat’. Memang bila berjalan-jalan di luar badan terasa hangat, tidak lain karena palto tebal yang menyelimuti sekujur badan membuat panas badan tetap terperangkap di antara kulit dan pakaian. Namun, teman-teman staf kedutaan mengingatkanku untuk tidak lupa memakai krem pelembab muka dan kulit, serta memakai topi bulu yang menutup telinga. Jika telinga terpapar angin dingin, awalnya terasa nyeri dan kaku, lalau lambat laun memerah dan akhirnya membiru. Kalau sudah benar-benar biru kaku, maka terancam beku permanen dan harus diamputasi. Karena itu, telingga yang memerah karena kedinginan adalah warning untuk segera masuk ruangan dan menghangatkan badan.

Hari ketiga mengajar di Sekolah Indonesia terjauh, SIM. Membuka-buka album kenangan SIM tempo doeloe, aku merasakan suasana patriotik saat pendirian sekolah ini. Bapak Awal Uzhara yang masih hadir ke sekolah sebagai guru bahasa sementara menuturkan untaian sejarah berdirinya SIM.

Pak Awal, adalah saksi sejarah hidup yang patut digali ilmunya. Ia berumur 70 tahun, dan telah tinggal di Moskow sejak tahun 1957. Ia adalah angkatan kedua pengiriman mahasiswa Indonesia ke Uni Sovyet, dan mengambil bidang penyutradaraan film. Seniornya yang merupakan angkatan pertama ialah: Syumanjaya, Almarhum. Pa Awal tahu persis, bagaimana SIM didirikan. Sebab saat itu ia menjadi lokal staf honorer di Kedutaan. Gedung yang menjadi SIM sekarang adalah tempat tinggalnya dahulu, ruang guru merupakan kamar tidurnya di tahun 1964.

Sebenarnya cikal bakal SIM telah ada sejak awal tahun 1963, ujar Pak Awwal. Saat itu Duta Besar Manaai Sophiaan merasakan perlunya pendidikan khusus bagi anak-anak Indonesia di Moskow. Beliau khawatir adanya perbedaan ideologi, budaya, dan rasa kebangsaan antara Uni Sovyet dan Indonesia yang cukup dalam, sehingga anak-anak Indonesia dapat terhindar dari pola pikir dan budaya komunisme. Manaai Sophiaan menyekolahkan anak-anaknya sendiri –di antaranya Sophan Sophiaan—di Sekolah Indonesia Moskow yang ia rintis tersebut. SIM menempati bangunan kecil, terpisah dari gedung kedutaan dan wisma duta, yang awalnya sebagai rumah tinggal penjaga kedutaan.

Seiring dengan perubahan politik Indonesia pasca peristiwa G-30-S tahun 1965, maka terjadi perubahan drastis dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Terjadi kerenggangan hubungan dengan negara-negara komunis, terutama Uni Sovyet. Seluruh struktur di KBRI Moskow berubah, nuansa militer amat kentara antara tahun 1966—1973. Pada masa itulah, tepatnya 1 Agustus 1967, Sekolah Indonesia Moskow resmi didirikan dan menjadi Sekolah Indonesia Luar Negeri pertama yang resmi berdiri.

Memasuki era 70-an, SIM mengalami perkembangan sehingga rumah jaga di pojok kompleks KBRI tersebut seluruhnya menjadi gedung SIM. Pertambahan siswa yang siginifikan hingga lebih dari 50 siswa di awal 80-an menuntut penambahan ruang SIM. Kedutaan kemudian mengalokasikan ruang-ruang sopir di gedung utara untuk dijadikan kelas-kelas SD. Kondisi ini terus bertahan hingga sekarang.

Aku teringat perbincangan saat pertama kali menempati meja kerja di ruang guru, Pak Syarif menyampaikan rasa syukur atas kedatangan kami. Rasa syukur yang disampaikannya begitu dalam, karena dengan kedatangan kami maka SIM dapat kembali aktif dan yang terpenting eksistensi SIM dapat dipertahankan.

SIM hampir saja dibubarkan sehubungan dengan krisis moneter tahun 1998, karena ketiadaan pembiayaan operasional sekolah dan Kedutaan terpaksa memberhentikan beberapa stafnya termasuk sebagian guru. Meskipun tidak terwujud kata sepakat di antara pengurus BP-SIM, tetap saja surat pembubaran disiapkan, sehingga kekhawatiran sivitas SIM semakin nyata.

Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan jua. Duta Besar RI di Moskow yang datang pada pertengahan 1999, Prof Dr. J.A. Katili tidak menyetujui pembubaran SIM.

“Saya adalah pendidik. Saya amat peduli dengan pendidikan anak-anak Indonesia. Sangat keterlaluan jika kedatangan saya di sini justru meruntuhkan pendidikan”, demikian kira-kira penolakan yang tegas dari Bapak Dubes J.A Katili saat disodorkan rencana pembubaran SIM sehubungan dengan efisiensi anggaran. Semua itu saya ketahui ketika saya tanyakan kepada Pa Adi prajitno, Sekretaris Duta Besar, saat makan siang bersama di dapur kedutaan.

Pak Adi Prajitno menuturkan panjang lebar betapa seriusnya Duta Besar mempertahankan SIM. Sebagai guru besar UI dan ITB, seorang profesor pakar geologi Indonesia, pantang baginya membubarkan institusi pendidikan. “SIM tidak akan dibubarkan, justru harus dipertahankan. Kalau perlu adakan perbaikan dan penambahan guru-guru agar SIM dapat berjalan dengan baik dan menjadi profil pendidikan Indonesia di sini” Tegas sang Dubes J.A. Katili.

Atas dasar instruksi itulah, maka BP-SIM mengadakan perekrutan guru-guru baru dari Indonesia yang hasilnya adalah kedatangan kami berempat: Ahmad Marzuki (Matematika, Biologi, OR), Nandang Aradea (Bahasa Indonesia, IPS), Wahyu Wuryandari (Kimia, IPA), dan Siti Helena (IPS, Sosiologi, Antropologi, Agama Kristen).

Sayangnya, keberuntungan SIM tidak dialami oleh beberapa sekolah Indonesia yang lain. Krisis moneter 1998 menyisakan sejarah ditutupnya beberapa Sekolah Indonesia di luar negeri, yaitu: SI-Manila (Filipina), SI-Hongkong (Cina), SI-Roma (Italia), dan SI-Praha(Ceko). Adapun SI-Beograd (Yugoslavia) tidak diketahui nasibnya. Teman-teman SI-Wassenar (Belanda) memberitahukan bahwa siswa-siswi Beograd biasanya mengikuti Ebtanas ke Belanda, tetapi sejak 2 tahun terakhir tidak ada pengiriman siswa.

Hari ini, salju sedikit turun. Siang hari saat break makan siang, Pa Nandang mengajakku untuk mencari wartel. Awalnya aku enggan, karena untuk menghubungi keluarga di Indonesia dapat menggunaka HP teman dan kemudian diganti pulsanya. Tapi, karena keinginan untuk mencoba dan berpetualang, akhirnya kakiku terayun juga menuju ke arah utara KBRI, menyusuri Novokusnetskaya Ulitsa, belok kiri melalui Klimentovski Pereulok, dan terus ke utara menyusuri Pyatnitskaya Ulitsa. Mas Dayat memberitahukan bahwa ada kantor pos yang di dalamnya terdapat wartel di ujung jalan di tepi Kanal Moskwa, dan itulah yang menjadi patokan kami. Tidak sulit mendapatinya, kami temukan sebuah gedung dengan tulisan Pochta (kantor pos), dan didalamnya terdapat ruang-ruang bicara layaknya wartel.

Dengan membeli sebuah kartu telepon seharga Rb 250,- kami dapat menggunakan telepon internasional tersebut. Sayang sekali, pulsa sebanyak itu hanya dapat menelepon selama 10 menit saja!

“Mah! Ini Zuki di Moskow! Alhamdulillah sehat. Bagaimana kabar mamah? Sehat? ” Aku langsung memberondong ibuku dengan seruntun pertanyaan, ekspresi berbagai rasa kerinduan padanya. “Alhamdulillah sehat, Ki. Bagaimana di sana? Betah?” jawab ibuku penuh kegembiraan mendengarkan suaraku meneleponnya. Tiada kebahagiaan yang lebih besar bagi seorang ibu selain mendengar keberhasilan anak-anaknya. Aku ungkapkan berbagai rasa di Moskow mulai dari cuaca yang sangat dingin, lingkungan asing, suasana baru bekerja di kedutaan, sekolah yang mungil, salju yang putih, hingga makanan rusia yang rasanya jauh dari kelesatan citarasa Indonesia.

“Kalau makan hati-hati Ki! lihat kehalalannya! Jangan lupa sholatnya!” Ibuku selalunya begitu mengingatkan. “Jangan lupa juga dengan adik-adiknya di sini yang masih sekolah” tambahnya menyindirku untuk berbagi rezeki dengan mereka. Kusampaikan bahwa insya Allah gaji pertamaku sebagian akan kukirimkan kedalam rekening ibu. Semoga Allah memberkahi dan memudahkan rezekiku. Kerinduanku belum tuntas, namun terpaksa kuakhiri juga pembicaraan karena sinyal berakhirnya pulsa telah berbunyi. Suara bip-bip halus terdengar mengingatkan bahwa waktu bicara tinggal 1 menit lagi. Aku berpamitan dan mengiringkan salam untuk keluarga tercinta di Jakarta. Semoga Allah senantiasa melindungi mereka.

Mentari musim dingin hari ini tampak indah merona bercahaya. Sinarnya menerpa hamparan putih salju hingga pantulannya menyilaukan mata. Membawa kaca mata hitam sudah menjadi syarat kenyamanan saat mentari bersinar seperti ini. Pantulan cahaya yang menusuk mata bukan hanya menyulitkan pandangan, tetapi dalam kadar yang tinggi dapat memusingkan kepala. Betapa banyak kecelakaan lalu lintas di musim salju diakibatkan oleh pantulan sinar mentari seperti ini.

Cuaca cerah ternyata menyimpan efek lain yang membuatku heran. Suhu terasa semakin dingin seiring dengan semakin teriknya mentari. Entah mengapa dapat terjadi demikian. Ah, mungkin angin bertiup lebih kencang saat itu.

Langkah kakiku terhenti saat Pak Nandang memanggilku lantang. “Ayo rek, kita naik tralibus! Itu tralibusnya datang!”. Aku belum sempat memberi jawaban, ia sudah beringsut masuk tralibus sehingga tak ada pilihan bagiku untuk ikut serta dengannya. Kami seperti 2 orang asing kebingungan saat naik, karena tidak tahu bagaimana harus membayar karcisnya. Tidak ada petugas yang meminta karcis dan tidak ada kaunter pembelian karcis di depan bus itu. Kami berusaha mencari tahu bagaimana aturan pembayaran naik tralibus ini. Saat ada penumpang di halte berikutnya naik, kami melihat ia mengeluarkan sebuah karcis dari sakunya dan melubanginya dengan alat pelubang kecil yang terdapat di dinding tralibus. Ooo, begitu caranya. Tetapi bagaimana mendapatkan karcisnya? Tetap saja kami tidak tahu.

Belum sempat kami dapatkan jawaban, tralibus telah sampai di halte Tretyakovskaya Galleriya. Saatnya kami turun. Bergegas turun dengan perasaan was-was karena menumpang tanpa membayar tiket, kami berjalan cepat melintasi depan stasiun metro Tretyakovskaya. Di kelokan Novokuznetskaya, barulah hati kami merasa nyaman. Rasa penasaran tentu harus kubayar nanti sesampainya di kedutaan.

Angin sepoi-sepoi bertiup halus menggoyangkan palto kami yang terjuntai hingga betis. Deru tramvai menelusuri rel di sepanjang Novokuznetskaya Ulitsa meningkahi suasana siang ini. Kata-kata ibuku senantiasa bergema di hati. Terus bergema menyuarakan simfoni rindu. Kata-katanya selalu terngiang di telingaku ... ingat anakku, jaga sholatmu....

Hasbunallah wa nikmal wakiil
Nikmal Maula wa nikman nashiir.

(Bersambung ke bagian 7)

Friday, October 10, 2008

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA

Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

(Bagian 5 dari 7 tulisan)

Selasa, 25 Januari 2000

Malam masih panjang. Pukul 06.00 pagi masih berselimut gelap malam. Subuh belum bertabuh jua. Zikirku ke hadhirat yang kuasa menghangatkan hati dan raga dari hempasan kegelisahan dan angin dingin yang menelisik ruang-ruang kedutaan.

Sajadahku terbentang melintang di loteng KBRI yang remang-remang. Seperangkat gamelan Bali, rak-rak angklung yang berserak, sepasang ondel-ondel, arsip-arsip kedutaan, dan topeng besar reog berkepala harimau mengitari suasana khusukku dalam kesendirian subuh. Moskwa terletak di utara Mekkah, karenanya sholat dilaksanakan menghadap selatan. Salju putih bertabur di luaran. Aku terpekur dalam doa mohon lindungan dan petunjukNya mengarungi hidup di negeri salju ini.

Setelah berkemas dalam setelan jas hitam berlapis palto hitam panjang, aku segera beringsut ke Sekolah Indonesia Moskow. Salju yang bertebaran memberi nuansa putih di sekujur topi dan paltoku. Butir-butir halusnya yang dingin menyapu lembut wajahku dan memberi salam selamat pagi. Matahari sepeti kemarin, asyik bersembunyi di tabir tirai salju dan kabut kota yang seakan tidak pernah hilang. Lampu taman KBRI masih menyala, tanda gelap belum sempurna meninggalkan.

Siswa-siswi SIM yang berjumlah 25 orang telah berdatangan dan asyik dengan obrolan mereka di ruang kelas masing-masing. Mereka segera menyambutku dengan salam dan cium tangan, namun beberapa hanya mencuri-curi pandang berselimut malu, dan datang kepadaku saat kupanggil dan kusampaikan salam. Budaya malu Indonesia masih amat khas menaungi mereka.

Hari ini hari keduaku mengajar. Rapat guru informal yang dilaksanakan saat istirahat pertama telah memberi gambaran kepadaku tugas-tugas mengajar yang padat selama seminggu. Sekolah kecil ini hanya memiliki 10 pengajar, terdiri 8 guru tetap dan 2 guru honorer. Pak Syarif, Pak Wawan, Bu Fathiah, dan Bu Eka adalah guru-guru senior yang telah berpengalaman bertahun-tahun mengajar di SIM. Sedangkan kami berempat, Ahmad, Nandang, Wahyu, dan Helena adalah guru baru yang masih muda dengan sedikit pengalaman dan segudang semangat. Adapun Bu Svetlana dan Pak Sergei adalah 2 orang Rusia yang amat baik dan mahir berbahasa Indonesia dan menjadi guru honorer di SIM.

Dengan formasi 10 guru sedemikian, maka tidak kurang dari 35 mata pelajaran mulai dari jenjang TK hingga SMA kami kelola sebisa mungkin. Dengan latar belakang pendidikan sarjana sains yang aku sandang, maka pelajaran Matematika dan Biologi menjadi tanggungjawabku. Bakat seni dan olahraga yang aku miliki juga menantangku untuk mengajar pelajaran olahraga dan kesenian. Masih belum cukup dengan 4 pelajaran, Pak Syarif sebagai wakasek kurikulum memberi amanat tambahan menjadikanku sebagai wakasek kesiswaan. Subhanallah, inilah saatnya kutunjukkan kepada mereka bahwa aku mampu menjalani semua tanggung jawab itu. Di sini, di Sekolah Indonesia Moskow, aku dibentuk menjadi Super Guru dengan 40 jam mengajar plus wakasek kesiswaan.

Sebagai wakasek kesiswaan otomatis aku merupakan pembina OSIS, organisasi siswa intra sekolah. Agak sulit membayangkan bentuk kegiatan yang dapat diselenggarakan di negeri salju seperti ini. Beruntung Pa Nandang amat gandrung kepada teater dan seni pertunjukkan. Ia memberi masukan kepadaku untuk memanfaatkan obyek wisata di Moskow yang jumlahnya amat banyak.

Pa Nandang menyodorkan kepadaku buku yang baru dibelinya di stasiun metro Paveletskaya: Jadwal Pertunjukkan Seni di Moskow. Sebuah buku setebal 120 halaman yang berisi semua jadwal pertunjukkan seni di Moskow selama bulan Februari 2000. Luar biasa! Ibukota seluas 950 Km persegi ini memiliki lebih dari 100 gedung teater dan seni. Semua tertera dengan terperinci: Jadwal pertunjukkan, judul, lakon, harga tiket, alamat teater, dan peruntukkannya, untuk dewasa atau anak-anak. Pantas saja, hampir semua orang Moskow (Moskvich) senang teater. Ia telah membudaya sejak zaman Tsar dahulu.

Dalam buku itu coba kutelusuri harga tiket termurah tertera Rb 15, untuk sebuah kursi di barisan belakang sebuah pertunjukkan kecil berjudul Kebun Cerry karya Antony Chekov di Teater Vakhtankova. Sedangkan tiket yang tergolong mahal seharga Rb3000, untuk sebuah kursi di balkon depan Balshoi Teater menyaksikan Balet Lebedinnoye Ozera, Tchaikovski dengan live orkestra. Harga itu berarti hampir setara dengan US$ 100!

Beberapa pertunjukkan menarik juga tertera dalam buku tersebut, misalnya pertunjukkan sirkus di Gedung Sirkus Besar Prospekt Vernadskawa, Teater Hewan Stary Arbat, dan Sirkus Hewan di Gedung Sirkus Kecil Ulitsa Sovetski Army.

Sore hari, selepas pulang sekolah, kusempatkan waktu duduk di ruang piket KBRI menemani Kang Dasep yang tengah bertugas jaga. Buku jadwal teater Pak Nandang masih asyik kucermati sambil sesekali bertanya kepada Kang Dasep arti dari informasi yang ada dalam buku tersebut.

Salju putih turun dengan deras di sore itu. Para pengeruk salju yang belum lama beristirahat, dengan langkah gontai kembali keluar dari ruang bawah dan mulai menyingkirkan salju yang sebentar saja telah menutupi jalan masuk KBRI. Mereka sadar akan tanggungjawab membersihkan halaman dan jalan masuk kedutaan, agar kendaraan yang keluar masuk tidak slip akibat salju yang menumpuk dan mengeras menjadi es.

Kang Dasep diam-diam memperhatikan keseriusanku menterjemahkan buku jadwal pertunjukkan yang kubawa. „Memang Pa Ahmad senang teater?“ ucapnya kemudian membuka percakapan. „Ya, lumayan! Saya cuma ingin mencari pertunjukkan yang pas buat anak-anak SIM. Kayaknya banyak teater anak di sini ya?“ aku menanggapi sambil berusaha mencari jadwal pertunjukkan teater di kolom khusus untuk anak-anak.

„Kalau anak SIM setahu saya lebih senang jalan-jalan ke tempat wisata, olahraga, atau apa saja yang membuat mereka bergerak aktif. Kalau duduk diam mendengarkan opera, musik, apalagi teater, saya tidak jamin mereka akan tenang.“ Kang Dasep memberi masukan. Saya tertegun dan menyadari bahwa memang benar apa yang dikatakannya. Anak-anak SD tentu senangnya bermain. Anak SMP dan SMA juga belum tentu mau diajak serius mendengarkan dialog teater, bahasa Rusia lagi!

„Paling-paling mereka senang nonton balet atau sirkus. Hampir setiap tahun SIM mengadakan jalan-jalan ke teater, selalu pertunjukkan balet“ sambung Kang Dasep membuatku terangguk-angguk. „Biasanya kalau musim dingin begini, mereka senang diajak jalan-jalan ke taman Gorki“. „Lo, memangnya melihat apa di sana?“ tanyaku menyela. „Mereka ke sana main es skating. Sekarang ini cuacanya cocok buat main es skating. Suhu antara -5 s.d -10 C sesuai untuk es skating. Es tidak terlalu cair dan suhu tidak terlalu dingin“ Saran Kang Dasep. Wah, masukan yang amat berarti untukku. Kalau begitu aku jadwalkan saja berskating di Gorki Park segera. Spasiba balshoi Kang Dasep.

Salju masih terus turun seiring gelap malam yang menutupi langit Moskwa. Waktu masih menunjukkan jam 5 petang, tetapi waktu magrib sudah tiba. Kumohon ijin untuk dapat solat di ruang piket Sekembalinya dari solat, kulihat seorang pengeruk salju tengah duduk di sofa bersiap untuk pulang. Begitu melihat saya masuk, ia serta merta mengucapkan salam: „Zdrafstuite, gaspadin uchitel!, Kak Dela?!“. (Salam, Tuan Guru! Apa Kabar?). Dengan bahasa Rusia seadanya kemudian aku sedikit ngobrol dengannya.

Ia bernama Tholik. Seorang Khirghiztan yang telah lebih dari 10 tahun mengabdi sebagai kurir dan cleaning service di Kedutaan. Sebagaimana lazimnya orang Khirghiztan, ia beragama Islam. Namun, hidayah belum meresap dalam hatinya sehingga meskipun berumur hampir 50 tahun belum juga mau melaksanakan shalat. „Tholik! Namaz pozhaluista!“ Aku mengajaknya untuk sholat. „Patom! (Nanti)“ jawabnya. „Kagda? (Kapan)“ Tanyaku kemudian. Ia hanya nyengir saja.

Tholik telah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Istri dan anak-anaknya semua tinggal di Moskwa. Tholik mengajak sahabat dan saudaranya untuk bekerja di kedutaan. Seingatku mereka ada 3 orang: Hasan, Boris, dan seorang lagi yang biasa dipanggil Amir. Orang-orang Khirghiz adalah pekerja teknis yang ulet, rajin, patuh, dan dapat dipercaya. Kang Dasep memberitahuku bahwa mereka acapkali diajak oleh staf kedutaan untuk membantu mereka membereskan rumah, mengecat flat, memperbaiki peralatan, membelikan barang, dan pekerjaan tekanis lainnya. Tentu hal itu juga menyenangkan mereka karena para staf memberi tips yang memuaskan bagi mereka.

Malam datang menjelang. Dan perutku sudah memberi isyarat untuk segera dipenuhi hajatnya: makan. Alhamdulillah, kemarin malam Mas Tursino telah mengajakku berbelanja di supermarket 24 jam di Sadovaya Ulitsa. Sehingga persediaan makan di dapur telah tersedia. Ternyata Pak Nandang telah lebih awal berada di dapur di lantai dasar Kedutaan. Asap berbau harum nasi telah mulai tercium olehku.

„Rek! Ente masak lauk, aku sudah beres masak nasi nih!“ Gaya pa Nandang yang unik menyuruhku masak. Aku mulai akrab dengan panggilan Rek, sapaan untuk teman dalam bahasa Jawa Timur. Ia tahu ayahku orang asli Jawa Timur. Jurus memasak kilat segera aku perlihatkan. Dalam masa 5 menit, telah tersedia di meja sepiring ikan sardin dengan saus tomat, telur rebus, dan sup jagung. Semua tersaji dengan mudah karena aku hanya memindahkan dari kaleng dan memanaskannya saja. Begitulah jurus kilat bujangan supaya laparnya segera hilang.

‚Rek! Di prapatan jalan ke arah metro Tretyakovskaya ada yang jual ayam grill. Kata Kang Dasep Enak. Kita beli yuk buat besok pagi!“ Ajak Pak Nandang. Aku tidak memberi tanggapan. Dalam hati aku khawatir mengenai kehalalannya. „Aku tahu ente takut haram. Ayam jelas nggak haram, Rek! Kalau ragu, kita cari yang penjualnya orang Asia tengah. Bagaimana?“ Pa Nandang menunggu reaksiku. „Besok-besok aja deh. Sekarang udah kenyang. Besok pagi juga masih ada lauk khan.“ Jawabku. Pa Nandang tampak maklum. Setelah sebatang rokok dihabiskannya, ia beringsut keluar. Sementara aku masih menyelesaikan suapan terakhir makan malam kelima di Rusia ini.

Di luar hanya terdengar suara angin menderu menyapu jendela-jendela kaca yang berembun ditimbuni salju. Sesekali kudengar senyap-senyap suara anak-anak SIM ditingkahi suara bola-bola kayu berbenturan. Suara apa itu?

„Assalamu alaikum, sedang apa kalian di sini?“ Sapaku takjub kepada anak-anak SIM yang belum juga pulang. „Hai, Pa Ahmad! Mau ikutan main Pak?“ Sapa mereka ramah. Ternyata mereka berada di aula bawah tanah kedutaan. Sebuah ruang berukuran 6 x 10 m yang menjadi tempat bermain tenis meja dan bilyard. Bola-bola bilyard itulah yang kudengar berbenturan tadi.

Tampak Emmy dan Cocci sedang berlatih tennis meja, tepatnya bermain tenis meja dengan semaunya. Sementara Pandu dan Rommel sedang bertanding bilyard. Mereka tampak mahir memainkan bola-bola berwarna-warni itu. Aku perhatikan mereka dengan seksama, tampak sedikit kikuk mereka bermain. „ Mengapa kalian belum pulang?“ Tanyaku memecah kekakuan.

„Papa masih rapat. Jadi kita harus nunnggu, Pak!“ jelas mereka. Aku memahaminya. Tampaknya ada banyak waktu untuk dapat lebih dekat dengan mereka. Kucoba bergabung dengan bermain tenis meja dan minta diajari bermain bilyard. Kuingatkan bahwa jangan sampai lupa waktu kalau bermain. Ingat sholat, ingat belajar. Jangan sampai jadikan permainan sebagai sarana judi, meskipun bukan dengan uang, tetap saja haram. Tidak lama kemudian interkom berbunyi yang memberitahukan mereka bahwa rapat para staf sudah selesai. Saatnya untuk pulang.

Salju mengiringi kepergian mobil-mobil berplat CD33 keluar gerbang kedutaan. Hari sudah gelap malam. Perjalananku mengarungi Rusia masih panjang. Kugoreskan bait-bait puisi harapan dan azam.

Allahu Ghayatuna
Arrasul Qudwatuna
Alquran dusturuna
Aljihadu sabiiluna
Almautu fii sabiilillah
Asmaa amaaninaa

(Bersambung ke bagian-6)

Sunday, February 04, 2007

GAMBARAN UMUM RUSIA

Lokasi
Federasi Rusia adalah Negara terluas di dunia, berukuran hampir dua kali luas Amerika Serikat dan meliputi 1/8 luas daratan bumi. Luas wilayah Rusia 6.592.812 mil atau 17.075.400 km2 yang membentang dalam 11 zona waktu, mulai dari bagian timur benua Eropa hingga ujung timur benua Asia bagian utara.

Penduduk
Jumlah penduduk Rusia pada tahun 2002 sebanyak 145.470.197 jiwa, terbesar kelima setelah Cina, India, Amerika serikat, dan Indonesia. Kepadatan penduduk 22 jiwa per mil2. Di Rusia terdapat kurang lebih 130 suku bangsa dan kelompok etnis, antara lain Rusia (83%), Tatar (3%), Ukraina, Chuvash, Yahudi, Bashkir, Byelorussia, Moldavia, dan suku-suku serta etnis lain. Agama yang dianut penduduk Rusia adalah Kristen Orthodox, Islam, Yahudi, dan Budha.

Ekonomi
Hasil bumi Rusia antara lain minyak bumi (17% cadangan dunia), gas alam (25-30% cadangan dunia), logam non-ferrous (10-20% cadangan dunia) seperti mangan, merkuri, potas, bauksit, tembaga, emas, dll., dan hasil pertanian misalnya: gandum, katun, gula bit, kentang, sayuran, dan biji-bijian.
Mata uang Rusia adalah Rubel. Jika dibandingkan, nilai 1 RM = 8 Rubel (2002). Income P.C Rusia $ 4.200 (tahun 2002), G.N.P sebesar $ 620,3 bilyun (2002).

Hari Besar
Hari besar di Rusia di antaranya Tahun Baru Masehi (1-2 Januari), Hari Natal Orthodoks (7 Januari), Tahun Baru Orthodoks (14 Januari), Hari Pembela Tanah Air (23 Februari), Hari Wanita Internasional (8 Maret), Hari Paskah Orthodoks (17 April 2006), Hari Buruh Internasional (1-2 Mei), Hari Kemenangan Perang Dunia II (9 Mei), Hari Kemerdekaan (12 Juni), Hari Rekonsiliasi (7 November, menggantikan Hari Revolusi Oktober), dan Hari Konstitusi (12 Desember).

Iklim
Sebagian besar wilayah Rusia berada di lintang utara. Iklim kutub mempengaruhi wilayah utara mulai dari Arkhangels hingga Siberia. Iklim 4 musim didominasi musim dingin selama 5 bulan sejak November--Maret, musim semi bulan April--Mei, musim panas bulan Juni--Agustus, dan musim gugur bulan September--Oktober.

Ahmad Marzuki
marzuki@mail.ru

KARAKTER ORANG RUSIA

Latar belakang politik era komunisme, menyisakan karakter bangsa Rusia yang tidak ramah, curiga, keras, dan berhati-hati saat berinteraksi dengan orang asing. Meskipun demikian tersimpan kelebihan-kelebihan dalam kedisiplinan, berbagi, dan beberapa hal lain berkaitan dengan interaksi di masyarakat.
Beberapa tips berikut ini insya Allah dapat bermanfaat:

Orang Rusia sangat kritis dan senang sekali berdebat dalam segala hal. Bahkan seringkali mereka mengkritisi bangsanya sendiri. Namun demikian, dianjurkan untuk tetap bersikap sopan dan tidak memberi komentar negatif tentang Rusia, karena jauh di lubuk hatinya orang Rusia sangat patriotik. Sebaiknya mengendalikan diri untuk tidak mengangung-agungkan nilai-nilai barat saat berkomunikasi dengan mereka.

Mayoritas rakyat Rusia tidak dapat berbahasa Inggris. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam berkomunikasi dengan mereka. Papan informasi, rambu lalulintas, media massa dan fasilitas lainnya umumnya dalam bahasa Rusia. Sehingga penting bagi anda mempelajari bahasa Rusia.

Kebanyakan penduduk kota-kota di Rusia tinggal di flat (Kwartira) yang kecil, terdiri atas satu atau dua kamar (komnata). Flat di pinggir kota umumnya lebih suram, kotor, dan kurang terawat.

Jika bertamu ke flat orang Rusia, mereka pantang berjabatan tangan di luar pintu flat. Sehingga anda sebaiknya masuk dahulu, berjabatan tangan baru kemudian melepaskan jaket anda.

Orang Rusia menghormati tamu dengan menyediakan makanan terbaik yang mereka miliki. Sebaiknya sampaikan lebih awal sebelum bertamu jika anda seorang muslim dan menjelaskan jenis makanan dan minuman yang haram bagi anda. Orang Rusia akan menghormati keyakinan anda tesebut dan merasa dipercaya.

Jangan terkejut apalagi menolak jika diajak makan di dapur oleh orang Rusia, karena ini berarti anda telah dianggap sebagai teman dekat.

Orang Rusia sebagaian besar berpendidikan tinggi, gemar membaca dan senang mengobrol berbagai hal ringan. Ada baiknya anda juga cukup menguasai berbagai hal berkaitan dengan buku, musik, seni, budaya, geografi, dan sebagainya yang sedang populer di dunia atau di negri anda.

Bila masuk ke rumah orang Rusia sebaiknya melepas sepatu tanpa diminta, semata-mata untuk mencegah salju atau lumpur mengotori flatnya. Biasanya tuan rumah akan meyorongkan sendal rumah (tapochki) unuk anda kenakan.

Mayoritas penduduk Rusia berpenghasilan kurang dari US $100, sehingga mereka memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun berbeda jauh dengan penghasilan penduduk Moskow dan St. Petersburg yang penghasilnnya di atas US $500. Materialisme amat kentara terlihat pada karakter penduduk kedua kota besar ini.

Saat berada di luar rumah, baik tampil di muka publik atau sekedar berbelanja, orang Rusia beusaha tampil maksimal tanpa memandang penghasilan mereka. Untuk urusan penampilan, mereka amat royal meskipun harus mengirit pengeluaran makan harian. Gadis-gadis Rusia terkenal cantik dan modis, terutama di kota-kota besar.

Jika merencanakan pertemuan dengan orang Rusia, pastikan waktu dan tempatnya dengan menelepon ulang beberapa jam sebelum pertemuan. Situasi di Moskow dan St. Petersburg yang sering macet perlu diantisipasi agar anda tidak terlambat.

Dalam bercakap-cakap, orang Rusia gemar menggunakan peribahasa, kata-kata bijak, atau anekdot yang membuat percakapan menjadi ‘hidup’. Ada baiknya anda mengimbanginya dengan kata-kata bijak yang sepadan dari negeri anda. Orang Rusia amat senang jika anda menguasai sebuah ungkapan dalam bahasa Rusia.

Orang Rusia mempercayai berbagai macam tahayul, meskipun bertentangan dengan logika dan agama Kristen Orthodox menentangnya, namun telah menjadi budaya turun menurun. Beberapa contohnya sebagai berikut:

1. Bila memberi hadiah bunga, maka berikan dalam jumlah ganjil (1, 3, 5, 7 dsb). Bunga dalam jumlah genap berarti berkabung atas suatu musibah.
2. Jangan bersiul di rumah atau di kendaraan. Orang yang bersiul dianggap sulit mendapat rezeki atau pengangguran.
3. Jangan bersalaman di anak tangga, jika hal itu dilakukan akan menimbulkan perselisihan dengan orang tersebut.
4. Jangan bersalaman dengan tamu di batas pintu. Jika dilakukan, maka dikhawatirkan akan menjadi pertemuan terakhir. Hendaknya masuk atau tuan rumah keluar sekalian.
5. Seorang gadis atau bujangan jangan duduk di pojok meja makan jika tidak ingin menjadi perawan tua.
6. Seorang gadis yang dipukul atau terpukul bokongnya dipercaya akan sulit mendapat jodoh, kecuali jika ia segera menarik rok atau celananya ke bawah, seakan-akan merapikannya..
7. Jika mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan, orang Rusia akan mengatakan “Nye dai Boh!” sambil menolehkan kepala ke kiri, mendecak seperti meludah 3 kali, dan mengetukkan jari ke permukaan meja (atau kayu) tiga kali. Hal tersebut dilakukan dengan harapan keburukan itu tidak terjadi.
8. Orang Rusia pantang mengatakan kelebihan keluarga atau membanggakan anaknya secara langsung. Jika hal itu terjadi, maka orang tersebut langsung mendecak 3 kali ke kiri dan mengetuk jari ke permukaan kayu 3 kali. Hal itu dilakukan agar ucapannya tidak membatalkan kondisi baik yang telah ada.
9. Jika kucing hitam melintas di depan orang Rusia, dipercaya akan membawa sial atau malapetaka. Untuk menghindarinya, maka menunggu orang lain melewati lintasan kucing tersebut atau berjalan mundur.
10. Jika lupa membawa sesuatu dari rumah, maka saat kembali mengambil barang tersebut diikuti dengan bercermin sebelum pergi kembali keluar rumah.
11. Jika ada kotoran di meja, jangan dibersihkan dengan menggunakan tangan sebagai tadahnya. Jika hal itu dilakukan dapat berdampak sulit mendapat rezeki.
12. Jangan menyapu di malam hari, dapat menyebabkan jauh dari jodoh.

Demikian beberapa pengalaman dan tips berguna selama bergaul dengan orang Rusia, khususnya Moskvich (orang Moskow).
Da Svidaniya!

Ahmad Marzuki
marzuki@mail.ru

Wednesday, April 05, 2006

Moskwa-4

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki


Bagian IV

Senin, 24 Januari 2000
Hari pertamaku bekerja! segala sesuatunya harus beres. Jangan ada yang ketinggalan untuk dibawa: Kepercayaan diri dan penampilan prima.

Pagi hari, pukul 08.45 dengan langkah mantap aku berjalan ke arah gedung kecil di sebelah selatan KBRI, Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Gedung berbentuk huruf L bersebelahan dengan tempat tinggal duta besar, Wisma Duta.
Gedung tersebut penah menjadi poliklinik saat keseluruhan komplek merupakan Rumah Sakit Anak-anak. Setelah difungsikan sebagai kedutaan RI tahun 1954, gedung mungil di sudut utara tersebut menjadi tempat tinggal lokal staf jaga dan ruang kursus sebelum akhirnya menjadi Sekolah Indonesia.

Sekolah Indonesia di Moskwa telah ada sejak zaman orde lama, yaitu tahun 1963. Saat itu Duta Besar RI, Manaai Sophian, amat prihatin dengan ketiadaan lembaga pendidikan bagi anak-anak staf kedutaan. Kondisi politik stempat tidak memungkinkan mereka bersekolah di sekolah Sovyet. Situasi setelah peristiwa G30S semakin mendukung dibutuhkannya sekolah tersebut, untuk itu diajukan permohonan ke Jakarta. Hasilnya, pada tanggal 1 Agustus 1968, SIM dikukuhkan oleh SK menteri P dan K No. 06/P&K/1968 sebagai sekolah Indonesia di luar Negeri di bawah naungan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan bekerjasama dengan Departemen P dan K.

S nova v shkola!
Saat langkah kakiku memasuki aula SIM berukuran 6 x 8 m, para siswa yang berjumlah 25 orang dari tingkat TK hingga 3 SMU telah berdiri dengan rapi. Mereka mengenakan seragam jas dan celana biru dongker, hem putih, dasi merah, dan sepatu hitam. Suasana dingin di luar segera terbayar dengan kehangatan dalam ruangan dan senyum-senyum kecil anak-anak Indonesia.
Perkenalan singkat setelah upacara membuat keakraban tercipta. Suasana grogi yang sempat bersemayam dalam hati serta merta dapat kuantisipasi. Bu Erna Kusmaningsih, kabid Pensosbud KBRI Moskow, yang merupakan PJS Kepala SIM menghantarkan perkenalan kami.

Siang hari, saat istirahat siang, Pak Sholihin, Kaunit Komunikasi KBRI, mengajakku makan siang di luar KBRI. Pak Solihin adalah pejabat yang memperjuangkanku hingga dapat menorehkan sejarah hidup di Moskwa ini. Beliaulah yang merekrut kami --guru-guru baru—sejak dari wawancara, pengurusan berkas, keberangkatan, kontak Moskwa-Indonesia, hingga perkenalan di KBRI 3 hari yang lalu.

Kami berjalan kaki ke arah barat melintasi Pyatnitskaya Ulitsa, arah Metro Tretyakovskaya, dan singgah di restoran khas Rusia “Yolki Palki”. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa gaul artinya “Bodo Amat!”. Pak Abdullah yang turut mendampingi kami menjadi juru pesan jenis makanan yang akan kami makan. Ia cukup berpengalaman urusan hidangan Rusia yang ‘aman’ dimakan.

Dabro pozhalovath v nasyem restorane!
Urusan mengisi perut di Moskwa, tidaklah sesederhana di Indonesia dahulu. Bukan lantaran ketiadaan uang atau selera yang berlainan, tetapi status halal haram tentu harus selalu didahulukan. Di restoran ini tersedia berbagai jenis makanan yang menarik ala Rusia dan dari negri-negri sekitarnya. Makanan pembuka kami adalah salad berbagai sayuran dan buah-buahan. Tentu jangan dibayangkan akan selengkap sayur dan buah-buahan tropis. Sebagai bumbu pencampur salad ada banyak pilihan rasa, misalnya minyak olive, maionez, keju cair, dan lain-lainnya yang tidak kuketahui namanya. Jangan harap akan ditemukan sambel terasi, bumbu pempek atau sambel pecel. Selain di Rusia tidak mudah diperoleh cabe, juga budaya mereka yang tidak suka pedas. Sambel kecap yang mereka hidangkan lebih tepat disebut saus tomat asam-asin . Agak nano-nano rasanya!

Priyatnawa appetita!
Makanan kedua terhidang kepada kami sup bors merah tanpa daging dan roti baton khas Rusia. Lalu menyusul hidangan utama 2 pilihan: nasi plof atau pure kentang dengan lauk jamur. Dan hidangan kami ditutup dengan buah-buah segar: anggur, apel, dan pir. Sari buah jeruk dan teh hangat melengkapkan makan siang kami dan mengakhiri pengalaman pertama kami makan di restoran Rusia lebih dari 1 jam. Pelayan yang sedari tadi melayani kami mengucapkan terima kasih dan mengantar kami ke pintu keluar dgn ‘senyum dingin’ mereka yang khas.
Spasiba bolshoi, prikhodite k nam isyo!

Setelah makan siang, Pak Abdullah menyempatkan diri menukarkan uang di dekat stasiun metro Tretyakovskaya. “Orang Rusia tidak percaya dengan rubel mereka sendiri” komentar Pak Sholihin. Sejak dulu, apalagi pasca runtuhnya Uni Sovyet, bank-bank Rusia selalu terancam bangkrut dan uang rakyat yang simpan raib entah kemana. Sehingga kebanyakan orang Rusia, terutama penduduk Moskwa menyimpan uang dalam dollar di rumah mereka sendiri. Jika hendak berbelanja, barulah mereka tukarkan di ‘obmen valyuty’ yang banyak terdapat di hampir setiap perempatan jalan dan tempat strategis. Apalagi nilai rubel beberapa kali mengalami penurunan drastis. Pada masa akhir komunis tahun 1990, nilai 1 dollar sebanding dengan 1 rubel. Tetapi pada tahun 1997 nilai 1 dollar sudah mencapai 6 rubel. Setelah itu terjadi krisis moneter yang amat parah sehingga tahun 2000 nilai 1 dollar telah mencapai 28 rubel!! Kalau dibandingkan dengan krisis moneter di tanah air, maka kondisi Rusia sebenarnya jauh lebih parah. Hanya saja, latar belakang budaya kerja, sumber daya alam dan energi yang belimpah, dan supremasi hukum yang terkendali membuat Rusia tidak mengalami kehancuran dan krisis berkepanjangan. Kini sudah tampak begitu gencar pembangunan di berbagai sudut kota Moskwa.

Sore hari, setelah sekolah usai dan sholat magrib telah kutunaikan, aku beranikan diri berjalan sendiri ke luar pagar KBRI. Angin dingin minus 18 derajat selsius sedikit membuat gemeretak gigi dan memerahkan pipi. Ternyata saran sekuriti KBRI –Pak Tursino—untuk menggunakan krim kulit jika keluar gedung benar-benar harus diindahkan. Udara dingin bukan hanya membuat kulit membeku, kelembaban yang rendah kurang dari 20% dapat menimbulkan dehidrasi fatal.

Langkah kakiku berayun menyusuri Ulitsa Novokuznetskaya hingga perempatan Visnyakovski Pereulok. Sebuah ‘Gastronom’ yang menjual bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari berada di sudut gedung di pojok perempatan itu. Sejak zaman komunis, toko-toko yang menyediakan makanan dan kebutuhan sehari-hari tersebar di setiap blok.

Di Moskwa dan kota-kota besar lain di Rusia terdapat toko-toko yang menjual makanan dan bahan kebutuhan sehari-hari di jalan-jalan kecil yang disebut Produkti. Toko yang berukuran sedang yang terletak di jalan-jalan yang cukup besar disebut Gastronom. Sedangkan toko-toko besar di jalan utama disebut Universam. Aku beranikan diri untuk melihat ke dalam gastronom dan membeli sesuatu di sana. Beberapa potong roti kecil—pirozhki terdiri dari sochnik (berisi tvorog), pakhlava (berisi kacang mindal), ekler (dilapis coklat cair) dan sebotol coca cola berhasil kubeli. Dan seperti biasanya para penjual yang kutemui selalu memberikan bonus ‘sikap dingin’ dan tidak mau peduli. Masih perlu waktu untuk mengubah kultur mereka menghargai pembeli.

Sekembalinya dari gastronom, kusempatkan diri mampir ke ruang piket KBRI. Pak Dasep tengah bertugas saat itu didampingi Pak Setro Martoyo yang murah senyum. Percakapan ringan kami seputar aktivitas di KBRI dan suasana Mokwa di musim dingin menjadi menarik dengan hidangan pirozhki yang kubawa dan mie instan yang disediakan Mas Toyo, panggilan dari Bapak Setro martoyo. Pak Dasep telah 5 tahun di Moskwa. Ia cukup banyak mengetahui seluk beluk ‘desa’ ini. “Musim dingin adalah ciri khas Moskwa” tuturnya. Biasanya musim dingin dimulai awal Nopember. Salju pertama turun di pertengahan November. Musim dingin berlangsung amat panjang hingga akhir Maret tahun berikutnya. Berarti hampir 5 bulan lamanya Moskwa diselimuti salju. Jika kita jalan-jalan ke luar kota Moskwa, banyak sekali lokasi yang tidak dapat dicapai pada musim dingin. Jalan-jalan menuju ke desa-desa dan lokasi terpencil pada pertengahan Januari tertutup salju hingga 1,5 meter! “Kalau di Moskwa sih tidak masalah” timpal Mas Toyo. Pemerintah ibukota memiliki instansi khusus yang rutin mengeruk salju hampir setiap hari. Hanya saja jalan-jalan menjadi sempit karena salju di tengah jalan disingkirkan ke sisi jalan. Apalagi mobi-mobil penduduk Moskwa diparkir di kiri-kanan jalan, maka jalan 2 jalur menjadi tinggal 1 jalur dan membuat kemacetan berkepanjangan.

Aku teringat kisah Pak Adi kemarin. Penduduk Moskwa seluruhnya tinggal di kwartira (apartemen) dalam gedung-gedung bertingkat yang disebut dom. Tinggi dom bervariasi antara 5 hingga 16 lantai. Dom berlantai 5 tanpa lift dibangun masa pemerintahan Stalin. Kwartir di dom Stalin berukuran besar, tinggi (lebih dari 3 meter), terdiri atas 3-8 komnata (ruangan) selain kamar mandi dan dapur, dan memiliki tangga panjang yang landai. Kwartir tersbut diperuntukkan untuk pegawai pemerintah dan anggota CC Partai Komunis, sehingga banyak terdapat di pusat Moskwa.

Pada masa pemerintahan Kruschov dilakukan pembangunan dom secara massal untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal rakyat. Dom Kruschov terkenal sederhana, kecil, dan kommunal. Kamar mandi dan dapur pada setiap lantai dibuat terpadu, sehingga semua penghuni dalam satu lantai menggunakan kamar mandi dan dapur secara bersama (kommunal). Dom dibangun berlantai 6, tanpa lift, dan tersebar di bebagai penjuru Moskwa.

Setelah Kruschov lengser dari pemerintahan tahun 1967, pemerintahan Brezhnev melakukan kebijakan pembangunan dom yang menghemat penggunaan lahan. Dom dibuat berlantai 16, menggunakan lift ganda (besar dan kecil), ukuran kwartira standart 2--4 komnata, dan setiap dom dilengkapi dengan produkti, taman bermain anak, dan taman-taman kecil sebagai paru-paru Moskwa.

Masalahnya, semua tata kota Moskwa menggunakan prinsip proletariat. Semua warga Moskwa tidak diperkenankan memiliki kendaraan pribadi. Untuk transportasi, negara telah menyediakan berbagai macam fasilitas seperti bis(avtobus), bis listrik (tralibus), trem (tramvai), mikrobis (masrutnoye taksi), dan kereta bawah tanah (metro). Karena itu semua dom yang dibangun tidak diperlengkapi dengan garasi mobil. Alhasil, pasca perestroika dan glasnost, rakyat Moskwa yang euphoria dengan kebebasan berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Karena tidak memiliki garasi pribadi, mereka menjadikan sisi jalan sebagai tempat parkir. (Bersambung ke Bagian 5).

Thursday, March 09, 2006

Moskwa-3

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

Bagian III


Nye slishni v sadu dazhe sorakhi
vso zdish zamerla do utra
yesli vzhani vei kak mnye dorogi
pod moskovnie vechera

Sebait nyanyian khas tentang keindahan dan ketenangan desa di sekitar kota Moskwa mengantar ingatanku pada hari ketiga di Rusia. Lagu tersebut sebenarnya untuk Leningrad, kota terbesar kedua di Rusia yang sekarang bernama Sank Petersburg. Syair asli saat dibuat pada reffrein adalah: Leningradskie vecera, tapi karena ‘permintaan’ penguasa, saat launcing diubah menjadi lagu Moskwa.

Hari ketiga di Rusia. Dingin masih terus menerpa. Menelisik di antara daun jendela yang tidak rapat. menghantarkan kebekuan dan nuanasa sepi yang mendalam.
Musim dingin menyajikan malam yang lebih panjang dari siang. Matahari sangat sulit ditemui. Meskipun cahaya temaramnya telah nampak di pagi hari, namun wajahnya bias tersamar tirai kabut dan salju yang luruh terbawa angin.

Badanku yang buatan Indonesia, masih belum beradaptasi dengan iklim kutub ini. Dan waktu 2 hari belum cukup membayar keletihan akibat perjalanan panjang dengan pesawat selama 20 jam. Jet-Lag! (baca: Jetlek!). Irama tubuhku masih mengikuti irama tropis. Padahal perbedaan waktu 4 jam amat signifikan mempengaruhi kinerja di sini.

Bangun tidur di tanah air pukul 05, berarti baru pukul 01 malam, masih dini hari. Sementara sore hari di Moskwa pukul 18, berarti pukul 22 di Indonesia, so sudah berat rasanya mata untuk tetap berjaga. Tetapi, alhamdulillah, dibalik itu semua mengandung hikmah, tidak sulit bagiku untuk bangun malam dan sujud kepada Yang Maha Kuasa.

Vi musliman? Namas sitali?
Anda muslim? Anda mengerjakan sholat?
Dua pertanyaan unik saat aku bertemu mencoba berbicara dengan beberapa pekerja Rusia yang ternyata dari suku bangsa Kirghiztan. Tholik dan Hasan nama kedua pekerja tersebut. Mereka pekerja yang rajin, hampir selalu datang paling awal dari yang lain, karena memenag tuga mereka mengeruk salju dan membersihkan parkir dari bongkahan es yang licin dan menebal.
Tholik dan Hasan juga muslim seperti diriku, tetapi sayang mereka belum mau untuk sholat.
Jawabannya selalu sama saat kuajak sholat: Patom! yang artinya dalam bahasa betawi: Entar!

Urusan sholat memang butuh perjuangan untuk mau menegakkannya dengan konsisten. Perubahan iklim mengakibatkan perubahan ‘jam tayang’ matahari. Itu berarti waktu sholat amat dinamis mengikuti perubahan musim.

Hari ini, subuh baru bertabuh 06.30, zhuhur datang menegur pukul 12.50, ashar siap digelar pukul 14.30, dan maghrib menyisip pukul 16.40 sementara Isya telah tiba pukul 18.00. Praktis harus selalu bawa jadwal sholat kemana-mana agar tidak kelewat.
Sampai hari ini, masih kumanfaatkan rukhsoh untuk menjama’ dan mengqoshor sholat. Subuh sebelum sarapan pukul 06.30, zhuhur dan ashar pukul 13.15 saat istirahat makan siang, maghrib dan isya sepulang bekerja pukul 18.00 saja. Alhamdulillah, inilah rupanya makna Islam itu mudah dan memudahkan. Selalu ada cara untuk tetap berada di jalanNya.

Hari ini ada undangan untuk berkunjung ke rumah sekretaris dubes, Pak Adi Prajitno. Seorang lokal staf senior yang murah senyum, bersahaja, dan tampak berusaha ‘mengemong’ kami, guru-guru yang baru tiba di Moskwa. Pak Adi dan keluarga sudah lama di sini, lebih dari 10 tahun lamanya. Pak Wawan, seorang guru senior, menjemputku dan Pa Nandang di KBRI.

Mobil zhiguli sederhana membawaku ke arah barat Moskwa. Arah selatan KBRI melalui Paveletsky, masuk ring utama Sadovaya, dan melaju terus melewati Dobrininskaya, Park Kulturi atau yang dikenal dengan Gorky Park, menyeberang jembatan besar tertua di Moskwa: Kuznetsky Most, terus melalui pertigaan Smolens dimana terdapat gedung MID, Minister Inostrani Del (Departemen Luar Negeri) Rusia --salah satu dari 7 gedung megah Stalin, melalui perempatan Novi Arbat, lalu berbelok ke kiri arah Gruszinsky.

Sebuah apartement untuk diplomat dan orang asing, UpDK (Upravlenia po obsluzhivaniyu Diplomaticheskawa Korpusa) terletak di belakang stasiun metro Belorusskaya dan tidak jauh dari Zoopark Moskwa, Gruzinsky. Di sanalah tinggal 5 keluarga Indonesia, termasuk Pak Adi dan keluarga. Kedatangan kami disambut dengan ramah. Hidangan berbagai makanan cita-rasa Indonesia cukup membayar kerinduan lidahku yang telah 3 hari hanya makan nasi dan sarden. Perlu latihan untuk mulai terbiasa makan roti tawar Rusia—baton, dan berbagai masakan khas setempat yang belum cocok dengan lidah ‘penuh bumbu’ Indonesia.

Pembicaraan hangat seputar pengalaman sebelum menjadi guru di Sekolah Indonesia Moskow (SIM), nasehat dan saran untuk tinggal di megapolis Moskwa mewarnai obrolan kami. Kisah menarik yang dituturkan Pak Adi adalah tentang pengalamanya masa Uni Sovyet saat tiba di Moskow tahun 1989. Situasi komunis membuat semua orang asing ‘eksklusif’. Orang Rusia dilarang berbicara panjang, bersikap kasar, marah, berinteraksi dengan orang asing, apalagi bertamu. Semua harga amat murah. Dengan uang 1 rubel, sudah terbeli roti dan lauk pauknya. Hanya saja harus antri dan dibatasi jumlahnya. Setiap kepala hanya bolah membeli satu roti baton. Adapun setiap kepala keluarga satu hari hanya boleh membeli satu baket sembako, berisi misalnya sekilo gula, 100 gram teh, 100 gram kopi, sekilo terigu, dan beberapa bahan lain. Lebih dari itu, Nyelza!! Penjual adalah raja, dan pembeli harus hormat kepada penjual.
Bu Adi menuturkan penggambaran kondisi itu saat berbelanja: Saya sudah antri sampai satu jam lebih, ternyata hanya dapat 2 butir pisang, padahal anak-anak sudah menanti di rumah menunggu makanan. Aduh, sampai bercucuran air mata saat pulang ke rumah. Apalah gunanya punya uang, kalau barang tidak ada.

Zaman Uni Sovyet tidak ada rakyat yang memiliki kendaraan, kecuali anggota utama Partai Komunis, orang-orang pemerintah. Jalan-jalan yang luas hanya dilewati kendaraan umum, kendaraan berplat merah—korps diplomatik, dan pejabat pemerintah. Hampir tidak ada kendaraan buatan luar, hampir semuanya buatan Rusia. Moskvich, Lada, Niva, Zhiguli, Wolga, Gazel dan lain-lain. Jalan-jalan terasa lapang dan lengang. Tidak pernah ada istilah macet.

Saat itu, penduduk Moskwa tidak lebih dari 7 juta orang. Padahal Moskwa sangatlah luas, mungkin 2 kali luas Jakarta. Mobilitas penduduk Moskwa saat itu cukup terfasilitasi kendaraan umum yang amat bervariasi di sini, terutama kereta bawah tanah, Metro. Kemanapun tempat di Moskwa bisa dicapai dengan kendaraan umum: avtobus—bis, trolibus—bis listrik, tramvai—trem, masrutnoye taksi—seperti mikrolet.

Saat itu, segala fasilitas umum bebas bea alias gratis! Pendidikan gratis, sekolah gratis, kuliah gratis, taman hiburan gratis, kendaraan umum gratis, kalaupun harus membayar jauh di bawah bayangan kita. Mau nonton pertunjukkan, opera, balet, sirkus, semua mudah di dapat di Moskwa, dan amat murah. Rakyat Uni Sovyet memang dimanjakan dengan kemudahan seperti itu, sebagai kompensasi pelarangan kebebasan berpendapat.

Moskwa, 23 Januari 2000








Friday, February 24, 2006

Moskwa-2

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di RUSIA
Oleh: Marzuki, A.

(Bagian-2 dari 7 tulisan)

Sabtu, 22 Jan 2000
Dabroye Utra! Zhelayu vam uspekha sevodnya!
Hari Sabtu, hari kedua di Moskwa, Pak Joko—pejabat TU—mengajakku berbelanja pakaian ke Pasar Vietnam di Savelovsky. Pak Hidayat berkenan menjadi pemandu kami di sana. Suhu sedikit menghangat, minus 12 derajat selsius! Alhamdulillah cuaca cerah, dan angin bertiup lembut bersahabat.

Perjalanan ke arah utara dimulai dari KBRI melalui Pyatnitskaya Ulitsa, menyeberang kanal Moskwa, lalu melewati kompleks megah Kremlin, gedung KGB Lubyanka, Stadion Olympik, Gedung Teater Tentara, dan memotong lingkar dalam kota—Sadovaya Koltso hingga tiba di Savelovsky. Sebuah gedung pertokoan sederhana mirip PD Pasar Jaya di Jakarta dipenuhi dengan pedagang yang hampir seluruhnya Vietnamis, Pasar Vietnam!

Pak Hidayat menceritakan bahwa di Moskwa lebih dari setengah juta Vietnamis. Mereka datang bergelombang ke Moskwa dan wilayah lain di Uni Sovyet sejak pecah perang Vietnam tahun 1968. Kedekatan politis kedua bangsa penganut komunis memungkinkan mereka mudah diterima sebagai pengungsi di Uni Sovyet. Vietnamis banyak mengadu nasib menjadi pekerja kasar, pedagang pakaian dan kelontong, dan petani di pinggiran Moskwa.

Pak Hidayat memperkirakan bahwa di Moskwa telah berdiri lebih dari 20 pasar yang didominasi orang-orang Vietnam. Setidaknya ada 3 pasar besar yang diproklamirkan sebagai pasar Vietnam, yaitu di Savelovsky, Tulsky, dan Partizansky. Pokoknya, kalau mau beli barang yang murah, bumbu khas asia dan sayur-sayuran ‘langka’ semacam kangkung, katuk, bayam, dll cari saja di pasar Vietnam!

“Skolska stoit? Mozhna paminsye?”
Berapa harganya? Boleh kurang sedikit? Dua pertanyaan urgen kalau sedang belanja. Hanya saja jika jawabanya panjang, alias bukan sekedar da (iya) atau nyet (tidak), maka gelagapan juga menanggapinya. Tetapi alhamdullah, karakter orang Vietnam tidak sedingin orang-orang Slavia Rusia. Mereka masih mau tersenyum dan mau ditawar harga dagangannya. Kalaupun marah, mereka toh nggak bisa melotot kayak orang Rusia... J

Dalam tempo kurang dari sejam, aku telah merampungkan paket belanja pertama di Rusia: Sebuah Palto dari wol ala Sudirman, Sepatu bulu, syal dingin tebal, kaos kaki wol, sarung tangan wol, dan kaos hanoman yang semuanya berwarna hitam. Topi bulu? Ah, nanti saja membelinya. Lebih bagus yang model tentara Rusia. Kalau mau beli nanti saja di Ismailovsky Park! Begitu usul Pak Joko yang turut serta berbelanja dengan kami.

Dihitung-hitung, ternyata belanjaan yang kuanggap murah lumayan juga harganya. Semua berjumlah total hingga 6000 rubel, atau senilai 200 dollar US alias sepertiga gaji pertamaku! Itu berarti lebih dari 2 juta rupiah! Memang kalau dihitung-hitung dan dibandingkan dengan rupiah, maka jangan harap bisa belanja dengan tentram.

Privet! Kak Dela? Tovarish! Vi At kuda? Malayzia?”
Nyet, mei Indoneziets! Ochen priatna!
Sebuah sapaan ramah dari pedagang vietnam yang menjajakan berbagai hio, petasan,dan asesoris per-Budha-an. Pak Hidayat yang berkulit putih, pendek dan bertampang khas cina berkali-kali diajak berbicara vietnam, dan kali ini dituduh orang Malaysia. Benar-benar tidak populer ternyata negeri kita tecinta Indonesia. Dengan sesama tetangga Asia Tenggara saja mereka tidak pernah berhasil menebaknya.

Pasar Vietnam Savelovsky menempati sebuah blok besar, terdiri atas 3 gedung utama, yaitu toko pakaian dan kelontong, toko elektronik, dan toko perlengkapan ibu hamil dan bayi yang gedung-nya dipisahkan oleh jalan. Pasar ini berada di sisi stasiun kereta savelovsky dan berdampingan dengan jalan layang lingkar ketiga, Treti Koltso, yang masih dalam pembangunan.

Moskva Bolshaya Jerevnya! Kazhdei jend, bolshe chem 1000 novi mashinei priedet suda!
Supir kami, seorang Rusia berbadan gemuk besar bernama Waluja memberi komentar tentang pembangunan jalan yang tiada henti namun tidak juga memadai menampung jumlah mobil yang masuk Moskwa lebih dari 1000 buah perhari. Kalau kita pikirkan, sebenarnya masih lebih maklum kejadian macet di Jakarta. Jalan yang sempit, penduduk yang banyak, dan pedagang kaki lima yang tumpah ruah ke jalan menjadi penyebab kemacetan. Tetapi Moskwa, meskipun memiliki jalan-jalan lebar teratur dengan berbagai alternatifnya, masih juga macet di waktu sibuk! Bayangkan saja, jalan lingkar koltso 16 jalur bisa macet berjam-jam!

Tetapi kenapa waktu kami datang kemarin pagi tidak macet yaa? Cetus hatiku dalam hati. Belum sempat kusampaikan pertanyaan itu, jawabannya sudah kudapat. Ternyata kemacetan itu ada ‘timing’nya, pagi hari setelah jam 8.00 dan sore hari setelah jam 17.00. Kharasyo, Spasiba bolshoi, Waluja!!

Wednesday, February 22, 2006

Moskwa-1

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA MOSKWA
catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia*
Oleh: Marzuki, A.**


“Zdrafstvuite! Dokumen pazhaluista!”
Sapaan perlakuan dingin terlontar dari sosok-sosok berwajah dingin di terminal-2 Seremetyevo. Suhu minus 15 derajat selsius sekejap saja terkalahkan dengan perlakuan dingin seperti ini. Sungguh menakjubkan kedisiplinan pemeriksaan yang menjunjung tinggi kecurigaan. Apalagi namaku didahului dengan Ahmad, sehingga pemeriksaan melekat lebih dari 1 jam membenarkan dugaan Islamophobi yang kukhawatirkan.

“Eta Rossiya! Eta Moskva, Kamerad!”
Terngiang suara sumbang di telinga yang mengingatkanku bahwa negeri yang baru kujejaki ini adalah pusat kedinginan dunia. Pengalaman pertama segera mengiyakan bayangan semua kengerian yang digambarkan oleh orang-orang terdekatku saat sebelum berangkat: “Awas Komunis!”

Sebuah mobil VW Kombi Caravel milik KBRI Moskow bernomor 033-028 mengantar pandanganku melalui jalan yang dipenuhi dengan selimut putih salju. Pohon-pohon Bereozka yang pucat meranggas diam tepekur, pasrah pada alam yang membekukan. Matahari belum ada tanda-tanda menampakkan diri, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Eh, maaf, aku lupa mengubah waktu Indonesia. Moskow di musim dingin 3 jam lebih awal daripada Jakarta, jadi... baru jam 07.00 pagi. Hari ini, hari pertamaku di Rusia, Jumat, 21 Januari 2000.

Tanda-tanda kehidupan mulai tampak ketika Caravel melesat melalui jembatan jalan tol lingkar MKAD (Moskovsky Koltso Avtomobilny Daroga). Jalan tol lingkar 16 jalur yang membatasi kota Administratif Moskow dengan ‘Kabupaten’ Moskow. Jalan tol gratis yang sangat lebar; memutari kota seluas 950 km2.

“Dabro Pozhalovath v Moskve!”
Kami memasuki kota melalui arah Barat Laut. Caravel terus melesat ke arah tenggara menuju pusat kota melalui jalan protokol 12 jalur, Leningradsky Prospekt. Kota sedemikian besar namun mengapa terasa sepi. Tanda-tanda kehidupan hanya lampu-lampu jalan dan hilir mudik mobil Zhiguli, Volga dan Gazel. Orang yang lalu lalang di jalan tidak lebih dari hitungan jari, padahal kami sudah memasuki pusat kota! Ajaib! Kemana gerangan para penghuni gedung-gedung menjulang yang berjajar di kiri kanan jalan? Masihkah terlalu pagi untuk beraktivitas? Padahal hampir pukul 08.00!

Pusat kota ditandai dengan jalan lingkar dalam yang biasa disebut Koltso, alias cincin. Jalan selebar lapangan bola terdiri dari 16 jalur yang disebut sebagai kaltso itu bernama Sadovaya Ulitsa. Daerah pusat atau Tsenter kota merupakan daerah elit dengan segala kelebihannya. Hampir semua gedung yang berdiri di Tsenter memiliki nilai sejarah, terutama gedung yang menjadi cikal bakal kota ini: Kremlin!

Dahulu, moskow adalah sebuah desa kecil yang dipagari pagar kayu sehingga disebut benteng, Kreml. Di luar tembok yang ada hanya kebun, tanah garapan dan hutan bereozka. Sebuah sungai kecil mengalir melalui sisi selatan benteng dan sebuah lapangan kecil di sebelah timur benteng menjadi ajang jual beli musiman saat musim panas. Desa berpagar kayu tersebut terus tumbuh menjadi benteng kokoh bertembok batu. Pada tahun 1147 lahirlah sebuah kota kecil bernama Moskwa. Yuri Dolgoruky, seorang Kniazh(Ksatria)—adalah nama sang pendiri kota itu. Diluar benteng tidak hanya tanah garapan, pemukiman rakyat yang berkembang dan para pedagang pendatang membuat kota meluas hingga lingkar yang sekarang menjadi koltso, Tsenter kota Moskwa.

“Selamat datang di KBRI Moskow! Apa kabar?”
Seruntunan sambutan dan senyum-senyum khas Indonesia menghangatkan kedinginan yang sedari tadi menyelimuti. Perjalanan 1 jam dari Seremetyevo 2 menuju KBRI yang terletak di pusat kota terasa begitu cepat. Semangat menjelajahku telah menerawang ke sudut-sudut kota misterius yang terasa sepi ini mengalahkan kelelahan sepanjang perjalanan.

Gedung KBRI adalah sosok gedung tua berusia hampir 2 abad. Arsitektur zaman Renaissance, terdiri atas 2 gedung utama untuk kantor dan wisma duta, serta beberapa gedung kecil yang difungsikan sebagai garasi, kantin, ruang piket, dan Sekolah Indonesia. Sebuah taman kecil dan lapangan tennis berada di antara gedung utama dan di beranda belakang, melengkapi teritori Indonesia seluas 1 ha. Gedung yang terletak di Novokuznetskaya Ulitsa 12-14 tersebut awalnya milik Aristokrat Rusia. Pasca Revolusi Bolshevik 1917, segera diambil alih penguasa Komunis dan dijadikan Rumah Sakit Anak-Anak. Selanjutnya, saat ditandatangani MOU pembukaan kedutaan 29 September 1954, maka gedung tersebut resmi menjadi perwakilan Indonesia untuk Uni Sovyet.

Aku dan rekanku, Nandang, untuk sementara tinggal di gedung tua itu. Ruang kecil di lantai 4 KBRI telah disulap menjadi kamar tidur sementara kami. Pak Dasep yang mengantar kami begitu baik ikut membawakan barang-barang ke atas. Bahkan ia menunjukkan kami 2 ruang penting di KBRI untuk dapat kami gunakan: Toilet dan Dapur! Spasibo Bolshoi, Tovarish Dasep! Dan hari pertamaku penuh dengan ajang perkenalan dan sowan ke tiap ruang pejabat dan rekan-rekan di KBRI. Suasana Indonesia yang khas segera merebak --ramah dan penuh basa-basi.

“Minya zavut Ahmad. Eta moi dokumen. Ya Indonesiets. Rabotayu v posolstvo”
Sebaris kalimat-kalimat pendek yang perlu kuhafal untuk berjaga-jaga dari militsioner yang kupikir terlalu rajin memeriksa dokumen kami yang bertampang asing. Kekhawatiran akan pendatang haram alias imigran gelap selalu menghantui kota yang pernah menjadi pusat superpower dunia, Uni Sovyet.

Bukan suatu yang mengherankan bila banyak orang yang ingin mengadu nasib di kota Moskwa. Hal ini disebabkan ketimpangan yang amat jauh antara pendapatan perkapita penduduk Moskwa juga Sant Petersburg dengan daerah lainnya di Rusia. Peredaran uang di kedua kota besar tersebut mencapai 80% dari jumlah semua uang yang beredar di Rusia. Kesenjangan sosial demikian kontras terasa tidak usah jauh-jauh, cukup dengan mengunjungi kota-kota satelit Moskwa terdekat semisal Serpukhov, Yachroma, dan sebagainya. Ditambah lagi kondisi negara-negara eks Uni Sovyet yang terus dilanda masalah politik dan krisis ekonomi, memaksa rakyatnya untuk bekerja keras dengan upah sedikit. Sehingga, berimigrasi keluar dari negrinya adalah sebuah keinginan dan impian. Dan... Moskwa adalah pilihan yang paling memungkinkan. Kesempatan untuk memiliki dua kewarganegaraan antara negrinya atau Rusia membuat mereka rela meninggalkan tanah air demi menghidupi keluarga.

“Slovo Boga! Ocen Kholadna!
Jaketku tidak mempan menghadapi dingin menggigit tulang minus 15 C. Padahal saat beli di Sarinah Blok M, sang pedagang bilang ini benar-benar hangat untuk musim dingin. Olala, aku lupa sampaikan kalau di Rusia bukan sekedar dingin tetapi sangat-sangat-sangat dingin!!

Aku rangkapkan pakaian menjadi 4 lapis: kaos dalam lengkap--alias kaos hanoman--, kemeja, sweater, dan Jaket dingin. Perlengkapan anti dingin ditambah dengan syal, sarung tangan, dan kaos kaki lapis 3. Masih juga dingin, Subhanallah!

*Tulisan pertama dari 7 tulisan.
**Guru Sekolah Indonesia Moskow.