Monday, October 20, 2008

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA MOSKWA

Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

(Bagian 6 dari 7 tulisan)

Rabu, 25 Januari 2000

Ibarat sinar mentari begitulah kasih ibu
Sepanjang zaman tak akan terbalas
Teruntai begitu indahnya .....

Untaian nasyid suara persaudaraan menggugahku akan kerinduan pada kasih sayang ibu. Sudah hampir seminggu berada di Moskwa, kerinduan menyelinap dalam hati teringat akan berbagai harapan yang ibu sampaikan saat melepas di bandara Soekarno Hatta. “Jaga diri, jaga sholat” demikian pesan singkat yang membuatku menitikkan air mata. Hari ini juga aku harus meneleponnya.

Pagi yang cerah, suhu minus 7 C. Orang-orang Rusia menganggapnya suasana musim dingin yang ‘hangat’. Memang bila berjalan-jalan di luar badan terasa hangat, tidak lain karena palto tebal yang menyelimuti sekujur badan membuat panas badan tetap terperangkap di antara kulit dan pakaian. Namun, teman-teman staf kedutaan mengingatkanku untuk tidak lupa memakai krem pelembab muka dan kulit, serta memakai topi bulu yang menutup telinga. Jika telinga terpapar angin dingin, awalnya terasa nyeri dan kaku, lalau lambat laun memerah dan akhirnya membiru. Kalau sudah benar-benar biru kaku, maka terancam beku permanen dan harus diamputasi. Karena itu, telingga yang memerah karena kedinginan adalah warning untuk segera masuk ruangan dan menghangatkan badan.

Hari ketiga mengajar di Sekolah Indonesia terjauh, SIM. Membuka-buka album kenangan SIM tempo doeloe, aku merasakan suasana patriotik saat pendirian sekolah ini. Bapak Awal Uzhara yang masih hadir ke sekolah sebagai guru bahasa sementara menuturkan untaian sejarah berdirinya SIM.

Pak Awal, adalah saksi sejarah hidup yang patut digali ilmunya. Ia berumur 70 tahun, dan telah tinggal di Moskow sejak tahun 1957. Ia adalah angkatan kedua pengiriman mahasiswa Indonesia ke Uni Sovyet, dan mengambil bidang penyutradaraan film. Seniornya yang merupakan angkatan pertama ialah: Syumanjaya, Almarhum. Pa Awal tahu persis, bagaimana SIM didirikan. Sebab saat itu ia menjadi lokal staf honorer di Kedutaan. Gedung yang menjadi SIM sekarang adalah tempat tinggalnya dahulu, ruang guru merupakan kamar tidurnya di tahun 1964.

Sebenarnya cikal bakal SIM telah ada sejak awal tahun 1963, ujar Pak Awwal. Saat itu Duta Besar Manaai Sophiaan merasakan perlunya pendidikan khusus bagi anak-anak Indonesia di Moskow. Beliau khawatir adanya perbedaan ideologi, budaya, dan rasa kebangsaan antara Uni Sovyet dan Indonesia yang cukup dalam, sehingga anak-anak Indonesia dapat terhindar dari pola pikir dan budaya komunisme. Manaai Sophiaan menyekolahkan anak-anaknya sendiri –di antaranya Sophan Sophiaan—di Sekolah Indonesia Moskow yang ia rintis tersebut. SIM menempati bangunan kecil, terpisah dari gedung kedutaan dan wisma duta, yang awalnya sebagai rumah tinggal penjaga kedutaan.

Seiring dengan perubahan politik Indonesia pasca peristiwa G-30-S tahun 1965, maka terjadi perubahan drastis dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Terjadi kerenggangan hubungan dengan negara-negara komunis, terutama Uni Sovyet. Seluruh struktur di KBRI Moskow berubah, nuansa militer amat kentara antara tahun 1966—1973. Pada masa itulah, tepatnya 1 Agustus 1967, Sekolah Indonesia Moskow resmi didirikan dan menjadi Sekolah Indonesia Luar Negeri pertama yang resmi berdiri.

Memasuki era 70-an, SIM mengalami perkembangan sehingga rumah jaga di pojok kompleks KBRI tersebut seluruhnya menjadi gedung SIM. Pertambahan siswa yang siginifikan hingga lebih dari 50 siswa di awal 80-an menuntut penambahan ruang SIM. Kedutaan kemudian mengalokasikan ruang-ruang sopir di gedung utara untuk dijadikan kelas-kelas SD. Kondisi ini terus bertahan hingga sekarang.

Aku teringat perbincangan saat pertama kali menempati meja kerja di ruang guru, Pak Syarif menyampaikan rasa syukur atas kedatangan kami. Rasa syukur yang disampaikannya begitu dalam, karena dengan kedatangan kami maka SIM dapat kembali aktif dan yang terpenting eksistensi SIM dapat dipertahankan.

SIM hampir saja dibubarkan sehubungan dengan krisis moneter tahun 1998, karena ketiadaan pembiayaan operasional sekolah dan Kedutaan terpaksa memberhentikan beberapa stafnya termasuk sebagian guru. Meskipun tidak terwujud kata sepakat di antara pengurus BP-SIM, tetap saja surat pembubaran disiapkan, sehingga kekhawatiran sivitas SIM semakin nyata.

Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan jua. Duta Besar RI di Moskow yang datang pada pertengahan 1999, Prof Dr. J.A. Katili tidak menyetujui pembubaran SIM.

“Saya adalah pendidik. Saya amat peduli dengan pendidikan anak-anak Indonesia. Sangat keterlaluan jika kedatangan saya di sini justru meruntuhkan pendidikan”, demikian kira-kira penolakan yang tegas dari Bapak Dubes J.A Katili saat disodorkan rencana pembubaran SIM sehubungan dengan efisiensi anggaran. Semua itu saya ketahui ketika saya tanyakan kepada Pa Adi prajitno, Sekretaris Duta Besar, saat makan siang bersama di dapur kedutaan.

Pak Adi Prajitno menuturkan panjang lebar betapa seriusnya Duta Besar mempertahankan SIM. Sebagai guru besar UI dan ITB, seorang profesor pakar geologi Indonesia, pantang baginya membubarkan institusi pendidikan. “SIM tidak akan dibubarkan, justru harus dipertahankan. Kalau perlu adakan perbaikan dan penambahan guru-guru agar SIM dapat berjalan dengan baik dan menjadi profil pendidikan Indonesia di sini” Tegas sang Dubes J.A. Katili.

Atas dasar instruksi itulah, maka BP-SIM mengadakan perekrutan guru-guru baru dari Indonesia yang hasilnya adalah kedatangan kami berempat: Ahmad Marzuki (Matematika, Biologi, OR), Nandang Aradea (Bahasa Indonesia, IPS), Wahyu Wuryandari (Kimia, IPA), dan Siti Helena (IPS, Sosiologi, Antropologi, Agama Kristen).

Sayangnya, keberuntungan SIM tidak dialami oleh beberapa sekolah Indonesia yang lain. Krisis moneter 1998 menyisakan sejarah ditutupnya beberapa Sekolah Indonesia di luar negeri, yaitu: SI-Manila (Filipina), SI-Hongkong (Cina), SI-Roma (Italia), dan SI-Praha(Ceko). Adapun SI-Beograd (Yugoslavia) tidak diketahui nasibnya. Teman-teman SI-Wassenar (Belanda) memberitahukan bahwa siswa-siswi Beograd biasanya mengikuti Ebtanas ke Belanda, tetapi sejak 2 tahun terakhir tidak ada pengiriman siswa.

Hari ini, salju sedikit turun. Siang hari saat break makan siang, Pa Nandang mengajakku untuk mencari wartel. Awalnya aku enggan, karena untuk menghubungi keluarga di Indonesia dapat menggunaka HP teman dan kemudian diganti pulsanya. Tapi, karena keinginan untuk mencoba dan berpetualang, akhirnya kakiku terayun juga menuju ke arah utara KBRI, menyusuri Novokusnetskaya Ulitsa, belok kiri melalui Klimentovski Pereulok, dan terus ke utara menyusuri Pyatnitskaya Ulitsa. Mas Dayat memberitahukan bahwa ada kantor pos yang di dalamnya terdapat wartel di ujung jalan di tepi Kanal Moskwa, dan itulah yang menjadi patokan kami. Tidak sulit mendapatinya, kami temukan sebuah gedung dengan tulisan Pochta (kantor pos), dan didalamnya terdapat ruang-ruang bicara layaknya wartel.

Dengan membeli sebuah kartu telepon seharga Rb 250,- kami dapat menggunakan telepon internasional tersebut. Sayang sekali, pulsa sebanyak itu hanya dapat menelepon selama 10 menit saja!

“Mah! Ini Zuki di Moskow! Alhamdulillah sehat. Bagaimana kabar mamah? Sehat? ” Aku langsung memberondong ibuku dengan seruntun pertanyaan, ekspresi berbagai rasa kerinduan padanya. “Alhamdulillah sehat, Ki. Bagaimana di sana? Betah?” jawab ibuku penuh kegembiraan mendengarkan suaraku meneleponnya. Tiada kebahagiaan yang lebih besar bagi seorang ibu selain mendengar keberhasilan anak-anaknya. Aku ungkapkan berbagai rasa di Moskow mulai dari cuaca yang sangat dingin, lingkungan asing, suasana baru bekerja di kedutaan, sekolah yang mungil, salju yang putih, hingga makanan rusia yang rasanya jauh dari kelesatan citarasa Indonesia.

“Kalau makan hati-hati Ki! lihat kehalalannya! Jangan lupa sholatnya!” Ibuku selalunya begitu mengingatkan. “Jangan lupa juga dengan adik-adiknya di sini yang masih sekolah” tambahnya menyindirku untuk berbagi rezeki dengan mereka. Kusampaikan bahwa insya Allah gaji pertamaku sebagian akan kukirimkan kedalam rekening ibu. Semoga Allah memberkahi dan memudahkan rezekiku. Kerinduanku belum tuntas, namun terpaksa kuakhiri juga pembicaraan karena sinyal berakhirnya pulsa telah berbunyi. Suara bip-bip halus terdengar mengingatkan bahwa waktu bicara tinggal 1 menit lagi. Aku berpamitan dan mengiringkan salam untuk keluarga tercinta di Jakarta. Semoga Allah senantiasa melindungi mereka.

Mentari musim dingin hari ini tampak indah merona bercahaya. Sinarnya menerpa hamparan putih salju hingga pantulannya menyilaukan mata. Membawa kaca mata hitam sudah menjadi syarat kenyamanan saat mentari bersinar seperti ini. Pantulan cahaya yang menusuk mata bukan hanya menyulitkan pandangan, tetapi dalam kadar yang tinggi dapat memusingkan kepala. Betapa banyak kecelakaan lalu lintas di musim salju diakibatkan oleh pantulan sinar mentari seperti ini.

Cuaca cerah ternyata menyimpan efek lain yang membuatku heran. Suhu terasa semakin dingin seiring dengan semakin teriknya mentari. Entah mengapa dapat terjadi demikian. Ah, mungkin angin bertiup lebih kencang saat itu.

Langkah kakiku terhenti saat Pak Nandang memanggilku lantang. “Ayo rek, kita naik tralibus! Itu tralibusnya datang!”. Aku belum sempat memberi jawaban, ia sudah beringsut masuk tralibus sehingga tak ada pilihan bagiku untuk ikut serta dengannya. Kami seperti 2 orang asing kebingungan saat naik, karena tidak tahu bagaimana harus membayar karcisnya. Tidak ada petugas yang meminta karcis dan tidak ada kaunter pembelian karcis di depan bus itu. Kami berusaha mencari tahu bagaimana aturan pembayaran naik tralibus ini. Saat ada penumpang di halte berikutnya naik, kami melihat ia mengeluarkan sebuah karcis dari sakunya dan melubanginya dengan alat pelubang kecil yang terdapat di dinding tralibus. Ooo, begitu caranya. Tetapi bagaimana mendapatkan karcisnya? Tetap saja kami tidak tahu.

Belum sempat kami dapatkan jawaban, tralibus telah sampai di halte Tretyakovskaya Galleriya. Saatnya kami turun. Bergegas turun dengan perasaan was-was karena menumpang tanpa membayar tiket, kami berjalan cepat melintasi depan stasiun metro Tretyakovskaya. Di kelokan Novokuznetskaya, barulah hati kami merasa nyaman. Rasa penasaran tentu harus kubayar nanti sesampainya di kedutaan.

Angin sepoi-sepoi bertiup halus menggoyangkan palto kami yang terjuntai hingga betis. Deru tramvai menelusuri rel di sepanjang Novokuznetskaya Ulitsa meningkahi suasana siang ini. Kata-kata ibuku senantiasa bergema di hati. Terus bergema menyuarakan simfoni rindu. Kata-katanya selalu terngiang di telingaku ... ingat anakku, jaga sholatmu....

Hasbunallah wa nikmal wakiil
Nikmal Maula wa nikman nashiir.

(Bersambung ke bagian 7)

Friday, October 10, 2008

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA

Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

(Bagian 5 dari 7 tulisan)

Selasa, 25 Januari 2000

Malam masih panjang. Pukul 06.00 pagi masih berselimut gelap malam. Subuh belum bertabuh jua. Zikirku ke hadhirat yang kuasa menghangatkan hati dan raga dari hempasan kegelisahan dan angin dingin yang menelisik ruang-ruang kedutaan.

Sajadahku terbentang melintang di loteng KBRI yang remang-remang. Seperangkat gamelan Bali, rak-rak angklung yang berserak, sepasang ondel-ondel, arsip-arsip kedutaan, dan topeng besar reog berkepala harimau mengitari suasana khusukku dalam kesendirian subuh. Moskwa terletak di utara Mekkah, karenanya sholat dilaksanakan menghadap selatan. Salju putih bertabur di luaran. Aku terpekur dalam doa mohon lindungan dan petunjukNya mengarungi hidup di negeri salju ini.

Setelah berkemas dalam setelan jas hitam berlapis palto hitam panjang, aku segera beringsut ke Sekolah Indonesia Moskow. Salju yang bertebaran memberi nuansa putih di sekujur topi dan paltoku. Butir-butir halusnya yang dingin menyapu lembut wajahku dan memberi salam selamat pagi. Matahari sepeti kemarin, asyik bersembunyi di tabir tirai salju dan kabut kota yang seakan tidak pernah hilang. Lampu taman KBRI masih menyala, tanda gelap belum sempurna meninggalkan.

Siswa-siswi SIM yang berjumlah 25 orang telah berdatangan dan asyik dengan obrolan mereka di ruang kelas masing-masing. Mereka segera menyambutku dengan salam dan cium tangan, namun beberapa hanya mencuri-curi pandang berselimut malu, dan datang kepadaku saat kupanggil dan kusampaikan salam. Budaya malu Indonesia masih amat khas menaungi mereka.

Hari ini hari keduaku mengajar. Rapat guru informal yang dilaksanakan saat istirahat pertama telah memberi gambaran kepadaku tugas-tugas mengajar yang padat selama seminggu. Sekolah kecil ini hanya memiliki 10 pengajar, terdiri 8 guru tetap dan 2 guru honorer. Pak Syarif, Pak Wawan, Bu Fathiah, dan Bu Eka adalah guru-guru senior yang telah berpengalaman bertahun-tahun mengajar di SIM. Sedangkan kami berempat, Ahmad, Nandang, Wahyu, dan Helena adalah guru baru yang masih muda dengan sedikit pengalaman dan segudang semangat. Adapun Bu Svetlana dan Pak Sergei adalah 2 orang Rusia yang amat baik dan mahir berbahasa Indonesia dan menjadi guru honorer di SIM.

Dengan formasi 10 guru sedemikian, maka tidak kurang dari 35 mata pelajaran mulai dari jenjang TK hingga SMA kami kelola sebisa mungkin. Dengan latar belakang pendidikan sarjana sains yang aku sandang, maka pelajaran Matematika dan Biologi menjadi tanggungjawabku. Bakat seni dan olahraga yang aku miliki juga menantangku untuk mengajar pelajaran olahraga dan kesenian. Masih belum cukup dengan 4 pelajaran, Pak Syarif sebagai wakasek kurikulum memberi amanat tambahan menjadikanku sebagai wakasek kesiswaan. Subhanallah, inilah saatnya kutunjukkan kepada mereka bahwa aku mampu menjalani semua tanggung jawab itu. Di sini, di Sekolah Indonesia Moskow, aku dibentuk menjadi Super Guru dengan 40 jam mengajar plus wakasek kesiswaan.

Sebagai wakasek kesiswaan otomatis aku merupakan pembina OSIS, organisasi siswa intra sekolah. Agak sulit membayangkan bentuk kegiatan yang dapat diselenggarakan di negeri salju seperti ini. Beruntung Pa Nandang amat gandrung kepada teater dan seni pertunjukkan. Ia memberi masukan kepadaku untuk memanfaatkan obyek wisata di Moskow yang jumlahnya amat banyak.

Pa Nandang menyodorkan kepadaku buku yang baru dibelinya di stasiun metro Paveletskaya: Jadwal Pertunjukkan Seni di Moskow. Sebuah buku setebal 120 halaman yang berisi semua jadwal pertunjukkan seni di Moskow selama bulan Februari 2000. Luar biasa! Ibukota seluas 950 Km persegi ini memiliki lebih dari 100 gedung teater dan seni. Semua tertera dengan terperinci: Jadwal pertunjukkan, judul, lakon, harga tiket, alamat teater, dan peruntukkannya, untuk dewasa atau anak-anak. Pantas saja, hampir semua orang Moskow (Moskvich) senang teater. Ia telah membudaya sejak zaman Tsar dahulu.

Dalam buku itu coba kutelusuri harga tiket termurah tertera Rb 15, untuk sebuah kursi di barisan belakang sebuah pertunjukkan kecil berjudul Kebun Cerry karya Antony Chekov di Teater Vakhtankova. Sedangkan tiket yang tergolong mahal seharga Rb3000, untuk sebuah kursi di balkon depan Balshoi Teater menyaksikan Balet Lebedinnoye Ozera, Tchaikovski dengan live orkestra. Harga itu berarti hampir setara dengan US$ 100!

Beberapa pertunjukkan menarik juga tertera dalam buku tersebut, misalnya pertunjukkan sirkus di Gedung Sirkus Besar Prospekt Vernadskawa, Teater Hewan Stary Arbat, dan Sirkus Hewan di Gedung Sirkus Kecil Ulitsa Sovetski Army.

Sore hari, selepas pulang sekolah, kusempatkan waktu duduk di ruang piket KBRI menemani Kang Dasep yang tengah bertugas jaga. Buku jadwal teater Pak Nandang masih asyik kucermati sambil sesekali bertanya kepada Kang Dasep arti dari informasi yang ada dalam buku tersebut.

Salju putih turun dengan deras di sore itu. Para pengeruk salju yang belum lama beristirahat, dengan langkah gontai kembali keluar dari ruang bawah dan mulai menyingkirkan salju yang sebentar saja telah menutupi jalan masuk KBRI. Mereka sadar akan tanggungjawab membersihkan halaman dan jalan masuk kedutaan, agar kendaraan yang keluar masuk tidak slip akibat salju yang menumpuk dan mengeras menjadi es.

Kang Dasep diam-diam memperhatikan keseriusanku menterjemahkan buku jadwal pertunjukkan yang kubawa. „Memang Pa Ahmad senang teater?“ ucapnya kemudian membuka percakapan. „Ya, lumayan! Saya cuma ingin mencari pertunjukkan yang pas buat anak-anak SIM. Kayaknya banyak teater anak di sini ya?“ aku menanggapi sambil berusaha mencari jadwal pertunjukkan teater di kolom khusus untuk anak-anak.

„Kalau anak SIM setahu saya lebih senang jalan-jalan ke tempat wisata, olahraga, atau apa saja yang membuat mereka bergerak aktif. Kalau duduk diam mendengarkan opera, musik, apalagi teater, saya tidak jamin mereka akan tenang.“ Kang Dasep memberi masukan. Saya tertegun dan menyadari bahwa memang benar apa yang dikatakannya. Anak-anak SD tentu senangnya bermain. Anak SMP dan SMA juga belum tentu mau diajak serius mendengarkan dialog teater, bahasa Rusia lagi!

„Paling-paling mereka senang nonton balet atau sirkus. Hampir setiap tahun SIM mengadakan jalan-jalan ke teater, selalu pertunjukkan balet“ sambung Kang Dasep membuatku terangguk-angguk. „Biasanya kalau musim dingin begini, mereka senang diajak jalan-jalan ke taman Gorki“. „Lo, memangnya melihat apa di sana?“ tanyaku menyela. „Mereka ke sana main es skating. Sekarang ini cuacanya cocok buat main es skating. Suhu antara -5 s.d -10 C sesuai untuk es skating. Es tidak terlalu cair dan suhu tidak terlalu dingin“ Saran Kang Dasep. Wah, masukan yang amat berarti untukku. Kalau begitu aku jadwalkan saja berskating di Gorki Park segera. Spasiba balshoi Kang Dasep.

Salju masih terus turun seiring gelap malam yang menutupi langit Moskwa. Waktu masih menunjukkan jam 5 petang, tetapi waktu magrib sudah tiba. Kumohon ijin untuk dapat solat di ruang piket Sekembalinya dari solat, kulihat seorang pengeruk salju tengah duduk di sofa bersiap untuk pulang. Begitu melihat saya masuk, ia serta merta mengucapkan salam: „Zdrafstuite, gaspadin uchitel!, Kak Dela?!“. (Salam, Tuan Guru! Apa Kabar?). Dengan bahasa Rusia seadanya kemudian aku sedikit ngobrol dengannya.

Ia bernama Tholik. Seorang Khirghiztan yang telah lebih dari 10 tahun mengabdi sebagai kurir dan cleaning service di Kedutaan. Sebagaimana lazimnya orang Khirghiztan, ia beragama Islam. Namun, hidayah belum meresap dalam hatinya sehingga meskipun berumur hampir 50 tahun belum juga mau melaksanakan shalat. „Tholik! Namaz pozhaluista!“ Aku mengajaknya untuk sholat. „Patom! (Nanti)“ jawabnya. „Kagda? (Kapan)“ Tanyaku kemudian. Ia hanya nyengir saja.

Tholik telah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Istri dan anak-anaknya semua tinggal di Moskwa. Tholik mengajak sahabat dan saudaranya untuk bekerja di kedutaan. Seingatku mereka ada 3 orang: Hasan, Boris, dan seorang lagi yang biasa dipanggil Amir. Orang-orang Khirghiz adalah pekerja teknis yang ulet, rajin, patuh, dan dapat dipercaya. Kang Dasep memberitahuku bahwa mereka acapkali diajak oleh staf kedutaan untuk membantu mereka membereskan rumah, mengecat flat, memperbaiki peralatan, membelikan barang, dan pekerjaan tekanis lainnya. Tentu hal itu juga menyenangkan mereka karena para staf memberi tips yang memuaskan bagi mereka.

Malam datang menjelang. Dan perutku sudah memberi isyarat untuk segera dipenuhi hajatnya: makan. Alhamdulillah, kemarin malam Mas Tursino telah mengajakku berbelanja di supermarket 24 jam di Sadovaya Ulitsa. Sehingga persediaan makan di dapur telah tersedia. Ternyata Pak Nandang telah lebih awal berada di dapur di lantai dasar Kedutaan. Asap berbau harum nasi telah mulai tercium olehku.

„Rek! Ente masak lauk, aku sudah beres masak nasi nih!“ Gaya pa Nandang yang unik menyuruhku masak. Aku mulai akrab dengan panggilan Rek, sapaan untuk teman dalam bahasa Jawa Timur. Ia tahu ayahku orang asli Jawa Timur. Jurus memasak kilat segera aku perlihatkan. Dalam masa 5 menit, telah tersedia di meja sepiring ikan sardin dengan saus tomat, telur rebus, dan sup jagung. Semua tersaji dengan mudah karena aku hanya memindahkan dari kaleng dan memanaskannya saja. Begitulah jurus kilat bujangan supaya laparnya segera hilang.

‚Rek! Di prapatan jalan ke arah metro Tretyakovskaya ada yang jual ayam grill. Kata Kang Dasep Enak. Kita beli yuk buat besok pagi!“ Ajak Pak Nandang. Aku tidak memberi tanggapan. Dalam hati aku khawatir mengenai kehalalannya. „Aku tahu ente takut haram. Ayam jelas nggak haram, Rek! Kalau ragu, kita cari yang penjualnya orang Asia tengah. Bagaimana?“ Pa Nandang menunggu reaksiku. „Besok-besok aja deh. Sekarang udah kenyang. Besok pagi juga masih ada lauk khan.“ Jawabku. Pa Nandang tampak maklum. Setelah sebatang rokok dihabiskannya, ia beringsut keluar. Sementara aku masih menyelesaikan suapan terakhir makan malam kelima di Rusia ini.

Di luar hanya terdengar suara angin menderu menyapu jendela-jendela kaca yang berembun ditimbuni salju. Sesekali kudengar senyap-senyap suara anak-anak SIM ditingkahi suara bola-bola kayu berbenturan. Suara apa itu?

„Assalamu alaikum, sedang apa kalian di sini?“ Sapaku takjub kepada anak-anak SIM yang belum juga pulang. „Hai, Pa Ahmad! Mau ikutan main Pak?“ Sapa mereka ramah. Ternyata mereka berada di aula bawah tanah kedutaan. Sebuah ruang berukuran 6 x 10 m yang menjadi tempat bermain tenis meja dan bilyard. Bola-bola bilyard itulah yang kudengar berbenturan tadi.

Tampak Emmy dan Cocci sedang berlatih tennis meja, tepatnya bermain tenis meja dengan semaunya. Sementara Pandu dan Rommel sedang bertanding bilyard. Mereka tampak mahir memainkan bola-bola berwarna-warni itu. Aku perhatikan mereka dengan seksama, tampak sedikit kikuk mereka bermain. „ Mengapa kalian belum pulang?“ Tanyaku memecah kekakuan.

„Papa masih rapat. Jadi kita harus nunnggu, Pak!“ jelas mereka. Aku memahaminya. Tampaknya ada banyak waktu untuk dapat lebih dekat dengan mereka. Kucoba bergabung dengan bermain tenis meja dan minta diajari bermain bilyard. Kuingatkan bahwa jangan sampai lupa waktu kalau bermain. Ingat sholat, ingat belajar. Jangan sampai jadikan permainan sebagai sarana judi, meskipun bukan dengan uang, tetap saja haram. Tidak lama kemudian interkom berbunyi yang memberitahukan mereka bahwa rapat para staf sudah selesai. Saatnya untuk pulang.

Salju mengiringi kepergian mobil-mobil berplat CD33 keluar gerbang kedutaan. Hari sudah gelap malam. Perjalananku mengarungi Rusia masih panjang. Kugoreskan bait-bait puisi harapan dan azam.

Allahu Ghayatuna
Arrasul Qudwatuna
Alquran dusturuna
Aljihadu sabiiluna
Almautu fii sabiilillah
Asmaa amaaninaa

(Bersambung ke bagian-6)