Friday, October 10, 2008

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA

Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki

(Bagian 5 dari 7 tulisan)

Selasa, 25 Januari 2000

Malam masih panjang. Pukul 06.00 pagi masih berselimut gelap malam. Subuh belum bertabuh jua. Zikirku ke hadhirat yang kuasa menghangatkan hati dan raga dari hempasan kegelisahan dan angin dingin yang menelisik ruang-ruang kedutaan.

Sajadahku terbentang melintang di loteng KBRI yang remang-remang. Seperangkat gamelan Bali, rak-rak angklung yang berserak, sepasang ondel-ondel, arsip-arsip kedutaan, dan topeng besar reog berkepala harimau mengitari suasana khusukku dalam kesendirian subuh. Moskwa terletak di utara Mekkah, karenanya sholat dilaksanakan menghadap selatan. Salju putih bertabur di luaran. Aku terpekur dalam doa mohon lindungan dan petunjukNya mengarungi hidup di negeri salju ini.

Setelah berkemas dalam setelan jas hitam berlapis palto hitam panjang, aku segera beringsut ke Sekolah Indonesia Moskow. Salju yang bertebaran memberi nuansa putih di sekujur topi dan paltoku. Butir-butir halusnya yang dingin menyapu lembut wajahku dan memberi salam selamat pagi. Matahari sepeti kemarin, asyik bersembunyi di tabir tirai salju dan kabut kota yang seakan tidak pernah hilang. Lampu taman KBRI masih menyala, tanda gelap belum sempurna meninggalkan.

Siswa-siswi SIM yang berjumlah 25 orang telah berdatangan dan asyik dengan obrolan mereka di ruang kelas masing-masing. Mereka segera menyambutku dengan salam dan cium tangan, namun beberapa hanya mencuri-curi pandang berselimut malu, dan datang kepadaku saat kupanggil dan kusampaikan salam. Budaya malu Indonesia masih amat khas menaungi mereka.

Hari ini hari keduaku mengajar. Rapat guru informal yang dilaksanakan saat istirahat pertama telah memberi gambaran kepadaku tugas-tugas mengajar yang padat selama seminggu. Sekolah kecil ini hanya memiliki 10 pengajar, terdiri 8 guru tetap dan 2 guru honorer. Pak Syarif, Pak Wawan, Bu Fathiah, dan Bu Eka adalah guru-guru senior yang telah berpengalaman bertahun-tahun mengajar di SIM. Sedangkan kami berempat, Ahmad, Nandang, Wahyu, dan Helena adalah guru baru yang masih muda dengan sedikit pengalaman dan segudang semangat. Adapun Bu Svetlana dan Pak Sergei adalah 2 orang Rusia yang amat baik dan mahir berbahasa Indonesia dan menjadi guru honorer di SIM.

Dengan formasi 10 guru sedemikian, maka tidak kurang dari 35 mata pelajaran mulai dari jenjang TK hingga SMA kami kelola sebisa mungkin. Dengan latar belakang pendidikan sarjana sains yang aku sandang, maka pelajaran Matematika dan Biologi menjadi tanggungjawabku. Bakat seni dan olahraga yang aku miliki juga menantangku untuk mengajar pelajaran olahraga dan kesenian. Masih belum cukup dengan 4 pelajaran, Pak Syarif sebagai wakasek kurikulum memberi amanat tambahan menjadikanku sebagai wakasek kesiswaan. Subhanallah, inilah saatnya kutunjukkan kepada mereka bahwa aku mampu menjalani semua tanggung jawab itu. Di sini, di Sekolah Indonesia Moskow, aku dibentuk menjadi Super Guru dengan 40 jam mengajar plus wakasek kesiswaan.

Sebagai wakasek kesiswaan otomatis aku merupakan pembina OSIS, organisasi siswa intra sekolah. Agak sulit membayangkan bentuk kegiatan yang dapat diselenggarakan di negeri salju seperti ini. Beruntung Pa Nandang amat gandrung kepada teater dan seni pertunjukkan. Ia memberi masukan kepadaku untuk memanfaatkan obyek wisata di Moskow yang jumlahnya amat banyak.

Pa Nandang menyodorkan kepadaku buku yang baru dibelinya di stasiun metro Paveletskaya: Jadwal Pertunjukkan Seni di Moskow. Sebuah buku setebal 120 halaman yang berisi semua jadwal pertunjukkan seni di Moskow selama bulan Februari 2000. Luar biasa! Ibukota seluas 950 Km persegi ini memiliki lebih dari 100 gedung teater dan seni. Semua tertera dengan terperinci: Jadwal pertunjukkan, judul, lakon, harga tiket, alamat teater, dan peruntukkannya, untuk dewasa atau anak-anak. Pantas saja, hampir semua orang Moskow (Moskvich) senang teater. Ia telah membudaya sejak zaman Tsar dahulu.

Dalam buku itu coba kutelusuri harga tiket termurah tertera Rb 15, untuk sebuah kursi di barisan belakang sebuah pertunjukkan kecil berjudul Kebun Cerry karya Antony Chekov di Teater Vakhtankova. Sedangkan tiket yang tergolong mahal seharga Rb3000, untuk sebuah kursi di balkon depan Balshoi Teater menyaksikan Balet Lebedinnoye Ozera, Tchaikovski dengan live orkestra. Harga itu berarti hampir setara dengan US$ 100!

Beberapa pertunjukkan menarik juga tertera dalam buku tersebut, misalnya pertunjukkan sirkus di Gedung Sirkus Besar Prospekt Vernadskawa, Teater Hewan Stary Arbat, dan Sirkus Hewan di Gedung Sirkus Kecil Ulitsa Sovetski Army.

Sore hari, selepas pulang sekolah, kusempatkan waktu duduk di ruang piket KBRI menemani Kang Dasep yang tengah bertugas jaga. Buku jadwal teater Pak Nandang masih asyik kucermati sambil sesekali bertanya kepada Kang Dasep arti dari informasi yang ada dalam buku tersebut.

Salju putih turun dengan deras di sore itu. Para pengeruk salju yang belum lama beristirahat, dengan langkah gontai kembali keluar dari ruang bawah dan mulai menyingkirkan salju yang sebentar saja telah menutupi jalan masuk KBRI. Mereka sadar akan tanggungjawab membersihkan halaman dan jalan masuk kedutaan, agar kendaraan yang keluar masuk tidak slip akibat salju yang menumpuk dan mengeras menjadi es.

Kang Dasep diam-diam memperhatikan keseriusanku menterjemahkan buku jadwal pertunjukkan yang kubawa. „Memang Pa Ahmad senang teater?“ ucapnya kemudian membuka percakapan. „Ya, lumayan! Saya cuma ingin mencari pertunjukkan yang pas buat anak-anak SIM. Kayaknya banyak teater anak di sini ya?“ aku menanggapi sambil berusaha mencari jadwal pertunjukkan teater di kolom khusus untuk anak-anak.

„Kalau anak SIM setahu saya lebih senang jalan-jalan ke tempat wisata, olahraga, atau apa saja yang membuat mereka bergerak aktif. Kalau duduk diam mendengarkan opera, musik, apalagi teater, saya tidak jamin mereka akan tenang.“ Kang Dasep memberi masukan. Saya tertegun dan menyadari bahwa memang benar apa yang dikatakannya. Anak-anak SD tentu senangnya bermain. Anak SMP dan SMA juga belum tentu mau diajak serius mendengarkan dialog teater, bahasa Rusia lagi!

„Paling-paling mereka senang nonton balet atau sirkus. Hampir setiap tahun SIM mengadakan jalan-jalan ke teater, selalu pertunjukkan balet“ sambung Kang Dasep membuatku terangguk-angguk. „Biasanya kalau musim dingin begini, mereka senang diajak jalan-jalan ke taman Gorki“. „Lo, memangnya melihat apa di sana?“ tanyaku menyela. „Mereka ke sana main es skating. Sekarang ini cuacanya cocok buat main es skating. Suhu antara -5 s.d -10 C sesuai untuk es skating. Es tidak terlalu cair dan suhu tidak terlalu dingin“ Saran Kang Dasep. Wah, masukan yang amat berarti untukku. Kalau begitu aku jadwalkan saja berskating di Gorki Park segera. Spasiba balshoi Kang Dasep.

Salju masih terus turun seiring gelap malam yang menutupi langit Moskwa. Waktu masih menunjukkan jam 5 petang, tetapi waktu magrib sudah tiba. Kumohon ijin untuk dapat solat di ruang piket Sekembalinya dari solat, kulihat seorang pengeruk salju tengah duduk di sofa bersiap untuk pulang. Begitu melihat saya masuk, ia serta merta mengucapkan salam: „Zdrafstuite, gaspadin uchitel!, Kak Dela?!“. (Salam, Tuan Guru! Apa Kabar?). Dengan bahasa Rusia seadanya kemudian aku sedikit ngobrol dengannya.

Ia bernama Tholik. Seorang Khirghiztan yang telah lebih dari 10 tahun mengabdi sebagai kurir dan cleaning service di Kedutaan. Sebagaimana lazimnya orang Khirghiztan, ia beragama Islam. Namun, hidayah belum meresap dalam hatinya sehingga meskipun berumur hampir 50 tahun belum juga mau melaksanakan shalat. „Tholik! Namaz pozhaluista!“ Aku mengajaknya untuk sholat. „Patom! (Nanti)“ jawabnya. „Kagda? (Kapan)“ Tanyaku kemudian. Ia hanya nyengir saja.

Tholik telah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Istri dan anak-anaknya semua tinggal di Moskwa. Tholik mengajak sahabat dan saudaranya untuk bekerja di kedutaan. Seingatku mereka ada 3 orang: Hasan, Boris, dan seorang lagi yang biasa dipanggil Amir. Orang-orang Khirghiz adalah pekerja teknis yang ulet, rajin, patuh, dan dapat dipercaya. Kang Dasep memberitahuku bahwa mereka acapkali diajak oleh staf kedutaan untuk membantu mereka membereskan rumah, mengecat flat, memperbaiki peralatan, membelikan barang, dan pekerjaan tekanis lainnya. Tentu hal itu juga menyenangkan mereka karena para staf memberi tips yang memuaskan bagi mereka.

Malam datang menjelang. Dan perutku sudah memberi isyarat untuk segera dipenuhi hajatnya: makan. Alhamdulillah, kemarin malam Mas Tursino telah mengajakku berbelanja di supermarket 24 jam di Sadovaya Ulitsa. Sehingga persediaan makan di dapur telah tersedia. Ternyata Pak Nandang telah lebih awal berada di dapur di lantai dasar Kedutaan. Asap berbau harum nasi telah mulai tercium olehku.

„Rek! Ente masak lauk, aku sudah beres masak nasi nih!“ Gaya pa Nandang yang unik menyuruhku masak. Aku mulai akrab dengan panggilan Rek, sapaan untuk teman dalam bahasa Jawa Timur. Ia tahu ayahku orang asli Jawa Timur. Jurus memasak kilat segera aku perlihatkan. Dalam masa 5 menit, telah tersedia di meja sepiring ikan sardin dengan saus tomat, telur rebus, dan sup jagung. Semua tersaji dengan mudah karena aku hanya memindahkan dari kaleng dan memanaskannya saja. Begitulah jurus kilat bujangan supaya laparnya segera hilang.

‚Rek! Di prapatan jalan ke arah metro Tretyakovskaya ada yang jual ayam grill. Kata Kang Dasep Enak. Kita beli yuk buat besok pagi!“ Ajak Pak Nandang. Aku tidak memberi tanggapan. Dalam hati aku khawatir mengenai kehalalannya. „Aku tahu ente takut haram. Ayam jelas nggak haram, Rek! Kalau ragu, kita cari yang penjualnya orang Asia tengah. Bagaimana?“ Pa Nandang menunggu reaksiku. „Besok-besok aja deh. Sekarang udah kenyang. Besok pagi juga masih ada lauk khan.“ Jawabku. Pa Nandang tampak maklum. Setelah sebatang rokok dihabiskannya, ia beringsut keluar. Sementara aku masih menyelesaikan suapan terakhir makan malam kelima di Rusia ini.

Di luar hanya terdengar suara angin menderu menyapu jendela-jendela kaca yang berembun ditimbuni salju. Sesekali kudengar senyap-senyap suara anak-anak SIM ditingkahi suara bola-bola kayu berbenturan. Suara apa itu?

„Assalamu alaikum, sedang apa kalian di sini?“ Sapaku takjub kepada anak-anak SIM yang belum juga pulang. „Hai, Pa Ahmad! Mau ikutan main Pak?“ Sapa mereka ramah. Ternyata mereka berada di aula bawah tanah kedutaan. Sebuah ruang berukuran 6 x 10 m yang menjadi tempat bermain tenis meja dan bilyard. Bola-bola bilyard itulah yang kudengar berbenturan tadi.

Tampak Emmy dan Cocci sedang berlatih tennis meja, tepatnya bermain tenis meja dengan semaunya. Sementara Pandu dan Rommel sedang bertanding bilyard. Mereka tampak mahir memainkan bola-bola berwarna-warni itu. Aku perhatikan mereka dengan seksama, tampak sedikit kikuk mereka bermain. „ Mengapa kalian belum pulang?“ Tanyaku memecah kekakuan.

„Papa masih rapat. Jadi kita harus nunnggu, Pak!“ jelas mereka. Aku memahaminya. Tampaknya ada banyak waktu untuk dapat lebih dekat dengan mereka. Kucoba bergabung dengan bermain tenis meja dan minta diajari bermain bilyard. Kuingatkan bahwa jangan sampai lupa waktu kalau bermain. Ingat sholat, ingat belajar. Jangan sampai jadikan permainan sebagai sarana judi, meskipun bukan dengan uang, tetap saja haram. Tidak lama kemudian interkom berbunyi yang memberitahukan mereka bahwa rapat para staf sudah selesai. Saatnya untuk pulang.

Salju mengiringi kepergian mobil-mobil berplat CD33 keluar gerbang kedutaan. Hari sudah gelap malam. Perjalananku mengarungi Rusia masih panjang. Kugoreskan bait-bait puisi harapan dan azam.

Allahu Ghayatuna
Arrasul Qudwatuna
Alquran dusturuna
Aljihadu sabiiluna
Almautu fii sabiilillah
Asmaa amaaninaa

(Bersambung ke bagian-6)

No comments: