Friday, February 24, 2006

Moskwa-2

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di RUSIA
Oleh: Marzuki, A.

(Bagian-2 dari 7 tulisan)

Sabtu, 22 Jan 2000
Dabroye Utra! Zhelayu vam uspekha sevodnya!
Hari Sabtu, hari kedua di Moskwa, Pak Joko—pejabat TU—mengajakku berbelanja pakaian ke Pasar Vietnam di Savelovsky. Pak Hidayat berkenan menjadi pemandu kami di sana. Suhu sedikit menghangat, minus 12 derajat selsius! Alhamdulillah cuaca cerah, dan angin bertiup lembut bersahabat.

Perjalanan ke arah utara dimulai dari KBRI melalui Pyatnitskaya Ulitsa, menyeberang kanal Moskwa, lalu melewati kompleks megah Kremlin, gedung KGB Lubyanka, Stadion Olympik, Gedung Teater Tentara, dan memotong lingkar dalam kota—Sadovaya Koltso hingga tiba di Savelovsky. Sebuah gedung pertokoan sederhana mirip PD Pasar Jaya di Jakarta dipenuhi dengan pedagang yang hampir seluruhnya Vietnamis, Pasar Vietnam!

Pak Hidayat menceritakan bahwa di Moskwa lebih dari setengah juta Vietnamis. Mereka datang bergelombang ke Moskwa dan wilayah lain di Uni Sovyet sejak pecah perang Vietnam tahun 1968. Kedekatan politis kedua bangsa penganut komunis memungkinkan mereka mudah diterima sebagai pengungsi di Uni Sovyet. Vietnamis banyak mengadu nasib menjadi pekerja kasar, pedagang pakaian dan kelontong, dan petani di pinggiran Moskwa.

Pak Hidayat memperkirakan bahwa di Moskwa telah berdiri lebih dari 20 pasar yang didominasi orang-orang Vietnam. Setidaknya ada 3 pasar besar yang diproklamirkan sebagai pasar Vietnam, yaitu di Savelovsky, Tulsky, dan Partizansky. Pokoknya, kalau mau beli barang yang murah, bumbu khas asia dan sayur-sayuran ‘langka’ semacam kangkung, katuk, bayam, dll cari saja di pasar Vietnam!

“Skolska stoit? Mozhna paminsye?”
Berapa harganya? Boleh kurang sedikit? Dua pertanyaan urgen kalau sedang belanja. Hanya saja jika jawabanya panjang, alias bukan sekedar da (iya) atau nyet (tidak), maka gelagapan juga menanggapinya. Tetapi alhamdullah, karakter orang Vietnam tidak sedingin orang-orang Slavia Rusia. Mereka masih mau tersenyum dan mau ditawar harga dagangannya. Kalaupun marah, mereka toh nggak bisa melotot kayak orang Rusia... J

Dalam tempo kurang dari sejam, aku telah merampungkan paket belanja pertama di Rusia: Sebuah Palto dari wol ala Sudirman, Sepatu bulu, syal dingin tebal, kaos kaki wol, sarung tangan wol, dan kaos hanoman yang semuanya berwarna hitam. Topi bulu? Ah, nanti saja membelinya. Lebih bagus yang model tentara Rusia. Kalau mau beli nanti saja di Ismailovsky Park! Begitu usul Pak Joko yang turut serta berbelanja dengan kami.

Dihitung-hitung, ternyata belanjaan yang kuanggap murah lumayan juga harganya. Semua berjumlah total hingga 6000 rubel, atau senilai 200 dollar US alias sepertiga gaji pertamaku! Itu berarti lebih dari 2 juta rupiah! Memang kalau dihitung-hitung dan dibandingkan dengan rupiah, maka jangan harap bisa belanja dengan tentram.

Privet! Kak Dela? Tovarish! Vi At kuda? Malayzia?”
Nyet, mei Indoneziets! Ochen priatna!
Sebuah sapaan ramah dari pedagang vietnam yang menjajakan berbagai hio, petasan,dan asesoris per-Budha-an. Pak Hidayat yang berkulit putih, pendek dan bertampang khas cina berkali-kali diajak berbicara vietnam, dan kali ini dituduh orang Malaysia. Benar-benar tidak populer ternyata negeri kita tecinta Indonesia. Dengan sesama tetangga Asia Tenggara saja mereka tidak pernah berhasil menebaknya.

Pasar Vietnam Savelovsky menempati sebuah blok besar, terdiri atas 3 gedung utama, yaitu toko pakaian dan kelontong, toko elektronik, dan toko perlengkapan ibu hamil dan bayi yang gedung-nya dipisahkan oleh jalan. Pasar ini berada di sisi stasiun kereta savelovsky dan berdampingan dengan jalan layang lingkar ketiga, Treti Koltso, yang masih dalam pembangunan.

Moskva Bolshaya Jerevnya! Kazhdei jend, bolshe chem 1000 novi mashinei priedet suda!
Supir kami, seorang Rusia berbadan gemuk besar bernama Waluja memberi komentar tentang pembangunan jalan yang tiada henti namun tidak juga memadai menampung jumlah mobil yang masuk Moskwa lebih dari 1000 buah perhari. Kalau kita pikirkan, sebenarnya masih lebih maklum kejadian macet di Jakarta. Jalan yang sempit, penduduk yang banyak, dan pedagang kaki lima yang tumpah ruah ke jalan menjadi penyebab kemacetan. Tetapi Moskwa, meskipun memiliki jalan-jalan lebar teratur dengan berbagai alternatifnya, masih juga macet di waktu sibuk! Bayangkan saja, jalan lingkar koltso 16 jalur bisa macet berjam-jam!

Tetapi kenapa waktu kami datang kemarin pagi tidak macet yaa? Cetus hatiku dalam hati. Belum sempat kusampaikan pertanyaan itu, jawabannya sudah kudapat. Ternyata kemacetan itu ada ‘timing’nya, pagi hari setelah jam 8.00 dan sore hari setelah jam 17.00. Kharasyo, Spasiba bolshoi, Waluja!!

No comments: