Tuesday, February 21, 2006

SALAM MARSGHAIL

SALAM MARSGHAIL
Oleh: Ahmad Marzuki*

Atap bocor mempertemukan kami

Kemarin musim semi berjanji akan datang. Angin lembutnya menyibakkan palto-ku dan perlahan menggugurkan butir-butir salju di pucuk cemara araukaria. Jalan-jalan dipenuhi aliran air, salju yang mencair. Butir-butir bening yang saling berkejaran untuk mendapati lubang-lubang drainase kota Moskow yang terdapat di setiap jarak 100 meter.

Tapi…., ia pergi lagi. Dan burung-burung merpati yang berkerumun di perempatan halte tramvai Visnyakovski telah memahami gelagat ini. Mereka terbiasa sabar menanti musim semi datang sebulan atau dua bulan lagi. Musim semi memang tak pernah pasti.

Hari ini, Jumat, 18 Februari 2000. hampir sebulan aku berada di sini. Mengembara di negeri asing yang miskin senyum. Sendiri merajut harapan yang meranum. Langkah lelahku berjalan perlahan terayun pulang. Tempat tinggal sementaraku hanya 1 blok jaraknya dari kantorku, KBRI Moskow. Tujuh menit saja berjalan kaki untuk sampai di kwartir, sebutan untuk flat apartemen Rusia.

“Uff, minggu yang melelahkan. Seruntunan acara peringatan hubungan diplomatik 50 tahun Indonesia-Rusia masih harus berlanjut di luar tugas-tugas harian mengajar di Sekolah Indonesia. Nye bespakoites! Vso budet kharasyo! (jangan khawatir, semua akan baik-baik saja)” gumamku masygul.

Langkahku terhenti di depan pintu besi dom tua Rusia, Visnyakovski 27, apartemenku. Gedung tua yang telah berdiri sejak perang dunia kedua. Terseberangan dengan gereja ortodoks tua dan pusat penginjilan Moskow.

Koridor masih gelap, karenanya tanggung jawabku menyalakan lampu sentral yang juga menerangi tangga-tangga hingga lantai atas. Kwartirku berada di lantai paling atas, lantai 6. Lift tua mekanik yang bersuara seperti mesin derek telah akrab di telinga, hanya saja kini terasa amat lamban mengangkatku ke atas.

“Sampai juga!” Gumamku sambil mengayun langkah berat keluar lift untuk melanjutkan sederet anak tangga lanjutan menuju lantai 6. Sunyi… dan untuk ke sekian kali kupergoki sepasang mata mungil yang mengintip dari balik pintu kwartir 51.

“Hmm, pasti malcik yang tempo hari bersamaku di lift tua itu. Anak yang pendiam, raut muka oval dan matanya hitam kecoklatan, mirip seperti mataku”. Dalam bahasa rusia malcik berarti anak laki-laki.
…………..

Sholat maghrib baru saja tertunai saat bel pintu berbunyi. Seorang wanita setengah baya tampak berusaha menjelaskan sesuatu padaku sambil menunjuk atap dan kamar mandiku. Aku tak mengerti, belum sebulan aku di sini. Bahasa Rusiaku masih sangat belum memadai.
“Izvinite, Ya nye ponimayu pa Ruski…” (Maaf, saya tidak mengerti bahasa Rusia).

Ia paham, dan diajaknya aku melihat kondisi kwartirnya yang berada tepat di bawah kwartirku. Ah, ya…kwartir 51.

Seorang lelaki berumur 40 tahunan menyambutku dengan senyumnya. Dialah suami wanita tadi. Dijabatnya tanganku dan ditatapnya dalam-dalam mataku…

“Assalamu alaikum….” Ucapnya.
Subhanallah! Inilah kali pertama aku bertemu penduduk setempat yang mengucapkan salam itu.
“Wa alaikum salam warohmatullah!, Jawabku lekas.
“Malaysia? … Indonesia?” tanyanya singkat.
“Indonesia…”
“Negara Islam terbesar di dunia…” Pujinya,
“Alhamdulillah….”
Aku balik bertanya dengan bahasa Rusiaku yang sangat buruk…
“Anda orang Rusia?”
“Hmm ya, …Kami dari Chechnya” jawabnya agak ragu-ragu dan melambat.
Masya Allah! Chechnya! Senang bertemu dengan anda.

Kami kemudian berkenalan. Ia bernama Baudin Natzaev. Bau dalam bahasa Chechnya artinya agung, dan Din artinya agama, sama dengan bahasa Arab. Sehingga Baudin mengandung arti Agama yang Agung. Tentu saja agama Islam, tegasnya. Sedangkan Natzaev adalah nama familia. Demikianlah tatanama di Rusia, selalu diikuti oleh nama familia. Lantas saya ditunjukkan kondisi kamar mandi dan dapurnya yang kebocoran dari air kamar mandiku. Ooo, karena itulah istri Baudin menunjuk-nunjuk atap dan kamar mandiku. Rupanya minta pengertianku untuk mengecek kondisi pipa dan kran di sana. Saya merasa bersalah dan memohon maaf. Saya katakan jika perlu saya siap membiayai perbaikan akibat kerusakan tersebut. Baudin mengatakan hal tersebut tidak perlu, karena memang gedung ini sudah tua. Cukup berhati-hati saja menggunakan air, jangan sampai tertumpah ke lantai yang sudah pasti akan membasahi kwartir di bawahnya.

Baudin menahan saya untuk tidak buru-buru pulang untuk minum teh bersama di dapurnya yang hangat. Ia sangat senang bertemu dengan saudaranya sesama muslim dari Indonesia. Ada banyak kisah hidup yang ingin ia tuangkan di meja kecil pertemuan pertamaku dengannya itu. Sayang…., kendala bahasa membatasi keleluasaan kami berbicara. Bahasa Rusia saya bercampur Inggris dan Indonesia yang tentu saja sulit dimengerti. Karenanya kami lebih banyak menggunakan bahasa isyarat yang seringkali sangat menggelikan.

Baudin mengucapkan Dabro Pozalovat v Moskve!, Selamat Datang di Moskow!. Ia sendiri baru setahun yang lalu datang ke Ibukota Rusia ini. Sebelumnya Baudin sekeluarga tinggal di Grozni. “Rumah kami, kota kami, semuanya kini telah hancur. Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sana, Nyiciwo nye pajelaem! Karenanya kami mencari peruntungan di sini” Baudin menjelaskan dengan sorot mata redup mengenang kemalangan yang menimpa negrinya kini.
Sementara anaknya yang sulung, Muhammad, sesekali dipanggil untuk membawakan kamus Rusia-Inggris agar saya mengerti apa yang diucapkannya. Ya, Muhammad nama malcik itu. Anak laki-laki yang biasa memperhatikan gerak-gerikku saat aku berangkat atau pulang ke kwartirku di atas. Kini aku akrab dengannya.

“Rusia sangat curiga kepada kami orang-orang Chechnya….” Lanjutnya kemudian. Saat saya baru datang di Moskow, maka uang yang saya kumpulkan bertahun-tahun sebelumnya banyak dikeluarkan untuk membayar milisia, polisi jalanan yang kerap memeriksa dokumen penduduk. Setiap kali mereka mengetahui kami dari Chechnya, segera saja kami ditahan di kantor mereka. Mereka baru melepaskan setelah kami membayar jaminan yang bagi kami cukup untuk makan seminggu.

Sambil berbincang-bincang, istri Baudin, Malikah, mempersilahkan kami makan kue-kue dan coklat yang disediakan.

“Dulu saya biasa memakai palatok (kerudung kecil) jika keluar dom (gedung). Namun, selalu saja saya dikenali sebagai orang Kaukasus. Dan selalu saja ada alasan mereka menangkap saya…..” Malikah menyela dengan raut muka sedih mengenang masa-masa awal mereka datang ke Moskow. Yang paling ia takutkan adalah keselamatan anak-anak mereka jika mereka akhirnya ditahan. Baudin memiliki 3 orang anak. Muhammad yang tertua kini berumur 11 tahun. Adiknya Madina, berumur 8 tahun, dan yang terbungsu adalah Mansur yang baru berumur 4 tahun. Muhammad dan Madina bersekolah di sekolah yang sama, yaitu persis di belakang dom kami tinggal. Muhammad kelas 6, sedangkan Madina kelas 2. Sekolah Rusia memakai sistem paket terpadu dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Jenjang kelas mulai sejak kelas 1 hingga kelas 11, setara dengan SD hingga SMU di Indonesia. Sedangkan yang bungsu, Mansur, belum bisa ditinggal di Jetski Sad, sebutan untuk taman kanak-kanak Rusia. Ia masih belum bisa berbahasa Rusia.
“Mansur hanya bisa berbicara bahasa Chechnya. Sehingga sulit untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan gurunya jika masuk Jetski Sad”, tambah Malikah.

Sambil berbincang-bincang saya mencoba mencicipi coklat yang dihidangkan. Astaghfirullah! Ini coklat Cognag! Kubatalkan melanjutkan mengigit potongan coklat yang tersisa. Setelah itu saya hanya makan biskuit dan minum teh saja. Sementara itu Baudin memperhatikan perubahan raut muka saya dengan keheranan. Namun, kemudian saya berusaha menutupi ketidakenakan suasana dengan melanjutkan pembicaraan kembali ke ceritanya tentang Grozni saat ini.

Begitulah jika tidak hati-hati membeli makanan di sini. Kandungan piva, sebutan untuk bir, sering terselip di dalam coklat, kue tar, maupun permen-permen yang dijajakan. Begitu pula dengan kripik, bumbu penyedap, dan bahan masakan siap saji, perlu teliti dan hati-hati membeli. Jangan sampai mengandung swinina, alias babi.

Saya mohon diri tatkala waktu menunjukkan pukul 20.00. Masih banyak yang harus saya siapkan untuk esok hari. Saat berpamitan, Baudin memberikan padaku sebuah buku kecil, Yaa-siin. Satu-satunya quran yang mereka miliki.

“Ahmad! Ini untukmu. Kami belum bisa membacanya. Mudah-mudahan bermanfaat untuk mu…” Baudin mengucapkan dengan bersahabat sambil menjabat erat dan memeluk bahuku.
“Ahmad! Kepada sahabat di Chechnya kami biasa mengucapkan Salam Marsghail setiap bertemu dan berpisah. Salam marghail mengandung arti selamat berjuang, semoga sukses, dan semoga Tuhan bersamamu….” Lanjutnya kemudian.

“Karenanya Ahmad!….Assalamu alaikum dan…..SALAM MARSGHAIL!”
“Wa alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh….”
………………………

Yaa-Siin yang mengharukan

Musim semi belum juga datang di pertengahan Maret 2000. Namun keceriaan hari raya Idul Adha 1420 H tetap menyemburat dari senyum-senyum hangat kaum muslimin Indonesia seusai sholat Ied di helat di KBRI Moskow. Kesibukan qurban memberi nuansa tersendiri bagi aktivitasku di sini. Idul Adha adalah hari raya terbesar umat Islam. Muslim Rusia menyebutnya Hari Raya Qurban Bairam. Hari Raya penyembelihan Qurban.

Qurban di KBRI Moskow dikoordinir oleh Himpunan Pengajian Islam Indonesia (HPII) Moskow. Lembaga Islam yang memang didirikan untuk melayani pelaksanaan syariat Islam bagi muslim Indonesia di Rusia. Pada perayaan qurban kali ini, HPII menerima amanat menyembelih 14 ekor domba dari para staf dan diplomat KBRI Moskow. Penyembelihan dilakukan di luar kota Moskow, di sebuah tempat penjagalan qurban sejauh 2 jam perjalanan dari kedutaan. Kami di antar seorang Imam Masjid Basoi Tatarski, Imam Husain. Melalui beliau pulalah HPII mendistribusikan daging qurban bagi kaum du’afa Rusia yang banyak datang ke Masjid.

Aku menyesali diri saat perhelatan tuntas diselenggarakan. “Ada yang terlewat!” gumamku.
“Aku lupa memberikan paket daging qurban untuk Baudin dan keluarganya. Padahal ia muslim yang tinggal terdekat denganku” sesalku. Aku mencoba mengecek di lemari pengumpulan daging yang belum terbagikan.
“Sayang…, semua sudah diberi nama. Tak ada yang tersisa”, desahku menyesali.

Semalaman aku merenungi keteledoran ini, dan akhirnya kuputuskan memberinya hadiah yang istimewa sebagai gantinya.. Esok paginya, sebuah al-Quran dan terjemahannya dalam bahasa Rusia kubungkus rapi. Kemudian kepersembahkan kepada Baudin sesaat sebelum kuberangkat bekerja di kedutaan.
“ Spraznikom! Selamat Hari Raya….” Ucapku.
“Balsoi spasiba! Spraznikom! Terima kasih banyak, selamat Hari Raya!” jawabnya. Dan keterkejutan mendapatkan hadiah yang tiba-tiba belum lenyap dari matanya saat ia kutinggalkan. Ia berpesan memohon aku datang bertamu ke rumahnya sepulang dari bekerja nanti. Insya Allah….

Ketika malam hari, saat kami telah duduk bersama di sisi meja kecil dapurnya yang hangat, beliau sekali lagi mengucapkan terima kasih atas Al-Quran pemberian saya. Baginya kitab itu adalah benda keramat yang benar-benar berharga. Baudin membungkusnya dengan taplak sulam yang bersih, dan menyimpannya dengan rapi di kotak teratas lemari ruang tamunya. Ia benar-benar kagum melihat Al-Quran besar yang dilengkapi terjemahan bahasa Rusia seperti itu. Ia berharap bahwa suatu saat dirinya atau anaknya, Muhammad, mampu membaca Al-Qur’an itu.

Baudin kemudian menuturkan kisah tentang tyotya-nya (bibinya) yang wafat seminggu yang lalu. Ia amat sedih mendengar berita kematian itu. Baudin amat ingin pulang kampung bertakziah, namun saat ini tidak mungkin ia lakukan. Grozni masih belum aman.

Baudin menceritakan adat Chechnya jika ada seseorang yang ditimpa musibah kematian. Keluarga yang ditinggalkan bersama-sama membacakan surat Yaa-siin untuk dihadiahkan kepada si mayit. Kemudian, jika mampu, maka biasanya mereka menyembelih seekor karova (kerbau) untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin, lantas melakukan zikir dan doa bersama untuk almarhum. Demikianlah Baudin menggambarkan kebiasaan adat di daerahnya.

Baudin amat sedih, karena ia tidak bisa membacakan Yaa Siin untuk tyotya-nya. Ia juga sedih karena tidak mampu menyembelihkan seekor baran-pun(kambing) untuk sedekah bagi almarhumah. Aku menandaskan bahwa yang terpenting adalah berdo’a dengan bacaan do’a yang kita mampu, sekalipun dengan bahasa Chechnya. Allah Maha Mengetahui segala macam bahasa. Bahkan bahasa semua makhlukNya.

Tatkala waktu sholat magrib datang, saya memohon ijin untuk melakukan sholat di rumahnya.
“Ya, mari kita Namaz bersama” Ujar Baudin. Namaz dalam bahasa Rusia berarti sholat. Namun terkadang digunakan pula kata Malitsa, yang berarti do’a.
Kami kemudian bergantian berwudhu dan sholat berjamaah. Muhammad ikut serta berjamaah. Ia sesekali masih harus melirik kepadaku untuk meniru gerakan dan posisi sholat yang benar. Rupanya ini kali pertama Muhammad sholat berjamaah di rumah. Baudin biasanya sholat sendiri, dan Muhammad belum ditegaskan olehnya untuk belajar sholat.

Seusai wirid dan do’a kami panjatkan, Baudin memohon aku membacakan surat Yaa-Siin untuk dipersembahkan kepada bibinya yang baru saja wafat. Al-quran tarjamah Rusia yang baru saja kuberikan diambilnya dan disodorkan kepadaku untuk dibacakan. Mereka mendengarkan dan menyimak lamat-lamat alunan Yaa-Siin yang kuperdengarkan. Keharuan menyeruak, dan mata kami perlahan berkaca-kaca……..
...........................

Masjid di Moskow

Beberapa bulan berselang dan aku tenggelam dalam kesibukan. Hingga saat telepon rumahku terpasang setelah sebelumnya dicabut karena penghuni sebelumnya belum melunasi tunggakan, aku kembali teringat nomor telepon Baudin yang pernah diberikannya. Aku amat ingin bertamu ke rumahnya, namun khawatir mengganggunya. Karenanya kutelepon ia lebih dahulu.

“Ahmad! Anda sangat sibuk ya? Tak dolga nye vtrecimsa! Lama sekali kita tidak berjumpa!” sambut Baudin tatkala aku membuka percakapan pertelepon.
“Maaf, Baudin! Sebenarnya saya sangat ingin bertemu anda, tapi saya khawatir menganggu…”
“Ahmad! Jangan pernah berpikir seperti itu. Wie uzhe kak moi brat! Anda sudah seperti saudara saya! Rumah saya selalu terbuka untukmu. Silakan datang setiap ada waktu. Setiap pukul 7 malam saya biasanya sudah ada di rumah, datanglah pada waktu itu” tegas Baudin.
“Kharasyo, spasiba! Baik, terima kasih. Insya Allah jumat sore minggu ini saya bertamu ke rumah anda”
“Saya tunggu anda, Ahmad!”
“Terima kasih, Da svidania, Assalamu alaikum dan Salam Marsghail!”
“Wa alaikum salam, Salam Marsghail!” Jawabnya menutup pembicaraan.
Da svidania adalah ungkapan yang biasa digunakan saat berpisah. Da svidania berarti sampai berjumpa.

Jumat sore, tatkala mentari musim Panas di pertengahan Juli 2000 masih terang menyinari bumi, kubergegas pulang untuk selanjutnya bertamu ke rumah Baudin tetangga Chechnya-ku. Kali ini Baudin bercerita banyak tentang nasib muslim Chechnya yang semakin buta terhadap agamanya sendiri. Ia memberi contoh dirinya yang samasekali tidak mengenal huruf arab saja masih dianggap lebih baik di kalangannya karena masih bisa sholat. Kami biasanya sholat dan berdoa hanya berdasarkan hafalan yang diajarkan turun temurun. Kami hanya mengingatnya setelah mendengarkan, bukan karena membaca tulisan arab langsung. Karenanya sangat mungkin sekali terjadi kesalahan dalam bacaan kami.

“Wie beili v mecet v Moskve? Apakah anda pernah ke masjid di Moskow?” aku mencoba mencari solusi. Aku berpikir bahwa tentu saja di masjid tersedia Al-Quran dan kerap kali terdapat orang-orang yang mampu membaca Al-Quran dengan baik.
“Znacit, Ahmad! Ketahuilah, Ahmad! Terus terang saya amat jarang ke Masjid. Pernah sekali dua kali saya ke masjid Balsoi Tatarski yang terletak 200 m di seberang kedutaan anda untuk sholat Jumat. Selanjutnya saya tidak sempat lagi karena harus bekerja sepanjang hari. Di samping itu bahasa pengantar ketika khutbah lebih banyak bahasa Tatar yang saya tidak pahami” Baudin menguraikan sambil memberi alasan.

Saya tersenyum mencoba memahami. Pernah sekali saya mengikuti sholat jumat di Masjid Balsoi Tatarski, dan memang khutbah dilakukan dengan bahasa Tatar, namun kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, meskipun sangat ringkas.

“Ahmad! Terus terang terkadang saya bingung mengikuti sholat di masjid. Mereka melakukan sholat agak berbeda dengan yang biasa saya lakukan. Tapi saya melihat sholatmu sama dengan saya. Pacimo tak slucilas! Mengapa demikian, Ahmad!” Baudin mulai menyampaikan uneg-unegnya.

Saya coba menelusuri perbedaan yang dimaksud. Saya teringat beberapa waktu yang lalu sempat membaca buku kecil tentang muslimin di Rusia. Bangsa-bangsa di Asia Tengah seperti Kazakh, Tajik, Kirghiz, Turkmen, termasuk pula Tatar menganut ahlus sunnah wal jamaah mazhab Hanafi. Karenanya pelaksanaan sholat mereka sedikit berbeda dengan bangsa-bangsa Kaukasus, yaitu Chechnya, Ingusetia, dan Dagestan yang bermazhab Syafi’i. Adapun Azerbaijan sebagian adalah sunni dengan mazhab hanafi, dan sebagian lagi yang berbatasan dengan Iran menganut syi’i. Saya sampaikan duduk masalahnya, sehingga Baudin mengerti.

Lantas Kami bercakap-cakap tentang Masjid yang ada di Moskow. Ia mengira hanya ada 2 masjid saja di sini, Prospek Mira dan Balsoi Tatarski. Saya membetulkan bahwa sesungguhnya ada 5 masjid yang telah berdiri. Satu lagi di kompleks museum perjuangan Kutuzovski, dan 2 lainnya di rayon Otradnoye. Dua masjid yang saya sebutkan terakhir terletak dalam satu kompleks ibadah yang di dalamnya juga terdapat gereja ortodoks dan sinagog yahudi.

Saya teringat percakapan dengan imam masjid, Syekh Shihabuddin, ketika pertama kali mengunjungi masjid di Otradnoye itu.
"Ijin pembangunan masjid sangat sulit di Moskow ini. Namun kami tidak kehabisan akal mengupayakannya. Seorang deputat muslim keturunan Tatar melobbi pemerintah untuk diijinkan membangun sebuah komplek rumah ibadah" ujar beliau. Ijin akhirnya keluar, dan pembangunan segera dilakukan.
"Karena terikat janji, maka kami juga mendirikan sebuah Gereja kecil dan Sinagog kecil di kompleks di komplek ini" lanjut Imam tersebut.
"Alhamdulillah, dengan cara tersebut Masjid yang cukup besar ini dapat berdiri" lanjut beliau dan menutup pembicaraan kami. Deputat adalah sebutan untuk anggota Duma, Parlemen Rusia. Setiap propinsi memiliki wakilnya di Duma.

Saya pernah beberapa kali berbaur dengan saudara-saudara muslim di Masjid Pusat, Prospek Mira. Masjid terbesar di antara 5 masjid yang ada di Moskow itu dan terletak persis di sudut komplek olahraga Olimpiski. Di sanalah dulu dilaksanakan Olimpiade dunia tahun 1980.
Sungguh menyenangkan dapat berkenalan dengan muslim dari berbagai bangsa: Chechnya, Dagestan, Tajik, dan Rusia. Saya juga berkenalan dengan saudara dari Palestina, Tanzania, Aljazair, dan Azerbaijan. Perbedaan-perbedaan yang terlihat dalam praktek ibadah kami, seperti sholat, memang seringkali menjadi bahan perdebatan. Namun tidak pernah dipersoalkan berlarut-larut. Kami saling memahami latarbelakang mazhab masing-masing, dan kami tetap melaksanakan sholat berjamaah bersama.

Kemudian Baudin melanjutkan kisahnya mengenai muslim Chechnya di Grozni. Ia terkenang bahwa pernah suatu ketika di tahun 80-an, saat Rusia masih bagian dari Uni Sovyet, sebagian kaum muslim yang peduli terhadap nasib umatnya berupaya mendirikan Masjid dan Madrasah di sana. Pembangunan berjalan lancar, meskipun bangunan yang akhirnya berdiri sangat sederhana. Aktivitas keislaman kemudian meningkat. Banyak muslimin chechnya yang sadar pada kebodohannya dan mulai mengenal huruf arab di madrasah itu.

"Tahun pertama berjalan dengan baik. Hingga tahun keduapun Madrasah masih aktif dan berjalan dengan lancar. Tapi...." Baudin menarik nafas dan berkata dengan tatapan sayu.
"Pada tahun ketiga pemerintah Uni Sovyet, melalui tangan-tangan KGB, menghentikan semua aktivitas masjid dan madrasah itu. Masjid ditutup dan dijadikan gudang. Begitu pula madrasahnya. Para guru-guiru ditangkapi, dan saya tidak tahu nasib mereka selanjutnya, Ocen Zhal! Sungguh sayang!" Kenang Baudin, sedih.

“Selama Komunis berkuasa, kebebasan beragama kami direnggut” Baudin melanjutkan.
“Saya teringat ketika masih kecil, saat menjelang tidur, maka ayah atau ibu masuk kamar saya dan mengajarkan syahadat seperti berbisik di telinga. Awalnya saya tidak mengerti, apa maksud ayah menyuruh saya mengikutinya bersyahadat. Lama kemudian saya tahu bahwa begitulah kewajiban kami orang-orang tua melanjutkan tradisi mengislamkan anaknya” panjang lebar Baudin menuturkan sambil sesekali mereguk teh manis panas yang dihidangkan Malikah, istrinya.
Saya berusaha mendengarkan penuturan Baudin dengan seksama sambil sesekali bertanya jika ada kata-kata yang saya tidak mengerti. Alhamdulillah, Bahasa Rusia saya sekarang semakin memadai untuk menangkap pembicaraan.

“Orang-orangtua kami juga mengajarkan al-Fatihah dengan membacakannya setiap kami menjelang tidur” lanjut Baudin.
“Sayang, ...tidak semua bisa mengajarkan sholat. Beruntung saya sering melihat orang sholat, sehingga lambat laun saya dapat melakukannya sendiri lengkap dengan bacaannya”
Baudin kemudian mencontohkan bacaan-bacaan sholat yang ia hafal. Sesekali saya membetulkan madnya yang terkadang kurang sempurna.

“Oh ya, Ahmad! Izvinite...maaf telah menghidangkanmu coklat yang mengandung alkohol dahulu. Saya sendiri tidak tahu. Saya baru menyadarinya saat melihatmu terkejut dan tidak melanjutkan memakan coklat itu. Karenanya, prastite, Ahmad!”, Baudin teringat kejadian saat pertama kali kami bertemu dan minum teh bersama di kwartirnya.
Saya tersenyum menerima maafnya. Lagipula tidak ada yang perlu dipersalahkan. Bukankah Allah tidak menuliskan keburukan karena ketidaktahuan?
Jalan masih panjang untuk da’wah di Chechnya, gumamku.
.......................

Hari Kemerdekaan

Angin musim panas masih menghangatkan tubuh saat kami di KBRI Moskow sibuk menghadapi perayaan besar hari Kemerdekaan RI ke 55, 17 Agustus 2000. Seluruh staf dikerahkan untuk memeriahkan perayaan yang akan berlangsung seharian penuh. Selain acara seremonial Upacara dan resepsi diplomatik, maka diadakan panggung hiburan dan bazaar masakan Indonesia. Semua staf dipersilahkan mengundang kenalannya untuk datang dalam acara tersebut.

Saya teringat pada Baudin dan keluarganya. Ia tentu senang diundang datang ke kedutaan dan merasakan kegembiraan bersama. Pagi hari saat akan berangkat ke kantor, kusempatkan mampir ke kwartirnya untuk menyampaikan undangan.

“Spasiba wam balsoi! Terima kasih banyak, Ahmad!” sambut Baudin menerima surat undangan.
“Saya akan usahakan datang pada acara tersebut!” tegasnya padaku.

Dan siang itu, Baudin datang bersama istrinya. Mengenakan setelan jas hitam dengan dasi berarsir, sedangkan Malikah memakai baju panjang, seperti layaknya baju muslimah, hanya saja tanpa kerudung. Baudin takjub melihat cukup banyak masyarakat Indonesia dan undangan asing yang hadir. Hari kemerdekaan, suatu kegembiraan yang belum juga mereka dapatkan. Rusia seakan menjajah Chechnya kini, pikirnya. Kami terusir dari tanah air kami sendiri.

Baudin pernah menceritakan padaku tentang proklamasi Chechnya tahun 1991 dahulu.
“Kala itu kami seakan menghirup angin segar kebebasan. Kami seperti melihat masa depan yang menjanjikan kesejahteraa. Presiden kami, Jauhar Dudayev, lantang menegaskan berdirinya Republik Islam Chechnya...” Baudin mulai bercerita.

“Kami berkumpul alun-alun utama Grozni. Tak seorangpun penduduk Grozni yang tertinggal di rumah. Laki-perempuan, tua-muda, kakek-nenek hingga anak-anak, semua datang ke alun-alun kota untuk menyaksikanm proklamasi. Dentuman meriam dan Azan menandai awal proklamasi. Lantas al-Quran dibacakan dengan amat merdu oleh seorang mufti kami di Grozni. Semuanya, lebih dari setengah juta orang, diam dalam keheningan mendengarkan alunan ayat-ayat suci dibacakan. Sebagian dari kami menangis terharu” Baudin menceritakan dengan nada yang haru pula.
“Lantas saat presiden disumpah, dan proklamasi dibacakan, takbir membahana di seluruh penjuru arah, bersahut-sahutan dengan dentuman meriam dan senapan mesin” penuh semangat Baudin menggambarkan.
“Baru setelah itu parade militer digelar. Lebih dari limaratus pasukan Chechnya dengan senjata di tangan berbaris rapi, diikuti dengan iringan puluhan tank lapis baja dan kendaraan tempur lain. Mereka semua mengibarkan bendera Chechnya, hijau muda dengan dua strip merah di sisinya”
Lanjutnya penuh semangat.

Kisah selanjutnya sejarah menorehkan tinta hitam kelam Bagi Chechnya. Rusia tidak rela jika Chechnya lepas dari cengkramannya. Negeri kaya minyak bumi dan jalur transportasi darat menuju timur tengah sangat vital bagi eksistensi Rusia. Dan pecahlah perang Chechnya. Dan....Jihadpun dikumandangkan .......

Saat makan siang disajikan, kuantarkan Baudin dan Malikah menikmati hidangan. Nasi uduk, Gado-gado, Bakso, Siomay, Pempek, Rujak, Kerupuk dsb satu persatu mereka cicipi. Baudin tampaknya antusias dan menyukai makanan Indonesia. Rupanya ia juga suka rasa pedas. Hanya saja istrinya Malikah selalu menegurnya untuk menahan diri. Ia tahu bahwa suaminya memiliki maag dan sering sakit perut jika makan yang pedas. Karenanya ia khawatir jika Baudin kambuh di tengah pesta ini.

Malikah tahu banyak tentang kesehatan. Tantu saja ia menguasainya, karena ia lulusan Institut kedokteran di Institut Vladikavkas, 100 km ke arah barat Grozni. Malikah seorang dokter. Adapun Baudin seorang teknik mesin lulusan Universitas Teknik yang terkenal di Grozni. Pada zaman USSR, semua sarjana ditempatkan oleh negara. Tidak boleh menolak atau mengajukan pindah sekalipun. Untunglah Malikah ditempatkan di tanah airnya sendiri, Grozni. Namun gajinya tidak lebih sekedar untuk makan roti dan transportasi sehari-hari. Adapun Baudin telah mengenyam pahit getir bekerja di berbagai pabrik negara. Ia juga pernah ditempatkan sebagai teknisi perang di Jerman Timur. Beruntung pula akhirnya Baudin ditempatkan di sebuah pabrik penghasil mesin-mesin industri di Grozni. Dan di sanalah Baudin dan Malikah bertemu.

Di Era Komunisme, kebebasan memilih jalan hidup benar-benar dikekang oleh negara. Komunisme menjadikan rakyat di USSR sebagai sapi perahan yang harus mengikuti penguasa, para pejabat Komite Sentral Partai Komunis. Sedikit saja berbicara berbeda dengan kebijakan pemerintah, maka hantu KGB segera menciduknya. Kerja paksa di kamp Gulag, atau dibuang ke Siberia. Kalau sudah demikian, kematian seakan sudah di depan mata. Baudin mengisahkan bahwa saat Stalin berkuasa lebih dari 44 ribu rakyat Uni Sovyet mati di tangan pemerintahnya sendiri. Di era Stalin pulalah rakyat Uni Sovyet dipindahpaksakan. Lebih dari separuh rakyat Chechnya kala itu dipindahkan ke Kazakhtan. Dan tanah-tanah kami yang kosong diisi dengan penduduk Rusia dan suku bangsa lain sebagai upaya pembauran paksa gaya Stalin. Kemerdekaan memang mahal, janganlah pernah disia-siakan. Ucapan Baudin terakhir amat dalam membekas di hatiku. Ya...Kemerdekaan itu amat mahal...
......................

Mengaji IQRO’

Sore hari di pertengahan September 2001, saya sempatkan diri bersilaturrahmi ke kwartir Baudin. Seperti biasa, kami bercengkrama di dapurnya yang hangat sambil menikmati sup Rusia 'Bors', dan kentang rebus yang biasa dimakan bersama Cyorni khleb (roti hitam).

Kali ini giliran saya menuturkan tentang kondisi muslim di Indonesia. Mulai dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, masa-masa penjajahan Belanda, hingga peran ulama dan kaum muslimin di era kemerdekaan. Saya utarakan pula ke Baudin bahwa kini jihad bergema di Indonesia Timur. Perang suci telah dimulai untuk mempertahankan aqidah dan Izzah dari makar orang-orang kafir. Ada rasa rindu menyelinap di antara kata-kata yang meluncur dan semangat yang menyala di hati. Baudin turut prihatin atas kondisi Indonesia kini.

"Tentu ini banyak hikmahnya. Setidaknya mengingatkan kita bahwa orang-orang kafir tidak pernah suka jika Islam berjaya. Dan tentu ini adalah ujian bagi keimanan kita. Seperti juga yang terjadi di Chechnya kini" ujarku berusaha menghibur diri.

Saat waktu maghrib tiba, kami tegakkan jamaah bersama. Muhammad turut serta seperti waktu yang lalu. Ia masih harus melihatku di setiap perubahan gerakan shalatku. Dan bacaan yang ia tahu baru surat al-Fatihah saja.

Kepada Baudin kembali saya tawarkan untuk privat mengaji bagi Muhammad. Baudin ragu mengiyakan seperti juga yang lalu. Kemudian Baudin berterus terang bahwa ia tidak mampu membayar privat, yang murah sekalipun kecil. Ah, tak terpikirkan olehku bahwa masalah pembayaran yang ia beratkan. Segera saja kusampaikan padanya maksudku sesungguhnya.

"Baudin! Setiap muslim yang dapat membaca al-Qur'an, maka wajib baginya mengajarkannya kepada sesama saudaranya yang belum bisa, eta mnye abeizatelna " kataku menjelaskan.
"Karena sebuah kewajiban, cukuplah pahala Allah sebagai pamrihnya. tidak perlu yang lain" lanjutku.
"...karenanya, saya menawarkan padamu hanya ingin membayar kewajiban itu. Semua Bes platna! tidak usah dibayar!" tegasku kemudian.

Baudin gembira sekali mendengarnya. Wajahnya bersinar menampakkan harapan. Ia amat senang akhirnya menemukan guru mengaji bagi anaknya. Semua kekhawatiran tentang masa depan Muhammad yang terpendam sejak ia mengadu nasib di Moskow seakan sirna layaknya salju yang hilang diterpa terik mentari. Segera saja kusodorkan sebuah buku kecil IQRO' yang memang sudah kupersiapkan sejak dahulu untuk Muhammad. Kusampaikan bahwa metode IQRO' amat mudah. Jika setiap hari Muhammad membaca dan mengulang-ulangnya dengan benar, maka dalam waktu kurang dari 3 bulan sudah dapat membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Saat itu pula saya mulai mengajarkannya mengenalkan huruf. Dalam waktu singkat, Muhammad telah menguasai 7 huruf hijaiyah, a...ba...ta...tsa...ja...ha...kho...Alhamdulilah.

Muslim di Moskow

Pada minggu berikutnya saat selesai mengajar Muhammad melanjutkan IQRO I-nya, saya ceritakan kepada Baudin sejarah munculnya metode IQRO ini di Indonesia. Sejak dahulu para ulama di Indonesia berusaha merumuskan cara yang baik dan mudah mengajarkan membaca Al-Quran. Metode pengenalan huruf sejak awal ternyata memberatkan dan membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun untuk bisa membaca al-Quran dengan baik. Mereka terus mencoba berbagai macam cara agar Al-Quran benar-benar terasa mudah dibaca dan cepat dikuasai oleh umat Islam. Mereka yakin bahwa sesungguhnya ada cara yang efektif dan cepat membaca al-Quran, karena Allah memang telah menjanjikan demikian. Oleh karena itu kemudian dipikirkan metode yang mengakhirkan teori pengenalan nama huruf dan hukum-hukum bacaan tajwid. Metode praktis ini langsung mengajarkan secara praktis membaca al-Quran. Nah, salah satu metode praktis belajar membaca al-Quran yang berhasil disusun adalah metode IQRO'. Alhamdulillah sejak 12 tahun yang lalu sejak pertama kali diperkenalkan secara luas di Indonesia, metode IQRO berhasil memberantas buta huruf al-Quran bagi jutaan anak-anak muslim, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di ASEAN. Saya berharap nantinya dapat pula berkembang di Rusia, insya Allah.

Dalam kesempatan berkumpul di masjid Balsoi Tatarski seusai shalat fardhu, saya sampaikan pula keunikan buku kecil IQRO yang sengaja saya bawa kepada kenalan-kenalan di sana. Mereka amat kagum dengan keberhasilan ini, dan tertarik untuk mencoba menggunakannya. Kepada mereka dua kali seminggu saya berjanji untuk datang dan bersama-sama belajar membaca al-Quran dengan metode IQRO’ tersebut. Bahadur dari Tajikistan dan Jibril dari Ukraina adalah dua sahabat saya yang paling rajin datang untuk mengaji di Masjid. Ada rasa bahagia yang tak terkira saat mulut-mulut mereka mulai mampu mengeja huruf-huruf Al-Quran tersebut. Secercah harapan mulai tumbuh di belantara gersang Rusia. Terbersit dalam ingatan selaksa harapan untuk dapat memberantas buta huruf al-Quran di sini.

Moskow, ibukota Rusia, kota besar dengan 12 juta penduduknya, siapa sangka lebih dari 1 juta di antaranya adalah muslim. Suku bangsa Tatar yang telah lama berabad-abad bermukim di Moskow adalah bangsa muslim yang mendominasi lebih dari separuh muslim di sini. Kemudian para pendatang dari selatan yang rata-rata pedagang, dan buruh kasar, menambah banyak komunitas muslim Moskow. Mereka adalah suku bangsa dari Asia Tengah dan Kaukasus. Suku bangsa dari Asia Tengah meliputi Kazakh, Uzbek, Kirgiz, Turkmen, dan Tajik. Sedangkan dari kaukasus meliputi Chechnya, Ingusetia, Dagestan, ditambah Azerbaijan. Mereka dapat dengan mudah kita jumpai di pasar-pasar tradisional, seperti Kievskaya, Donilovsi dan Tyopli Stan.

Sejak pecah perang Chechnya tahun 1992, maka gelombang pendatang dari republik kecil tersebut meningkat pesat. Diperkirakan di Moskow kini terdapat kurang lebih 70 ribu orang-orang Chechnya dan Ingusetia. Perang di Chechnya tidak hanya menimbulkan kerugian berupa kematian serdadu militer dan keuangan bagi Rusia. Masalah sosial yang belakangan bermunculan di Moskow terpaksa mereka hadapi akibat ulah mereka sendiri menghancurkan Grozni.

Pindah Kwartir

Akhir September 2000, saat saya akan pindah kwartir ke selatan Moskow, kusempatkan diri mampir ke rumah Baudin untuk pamit. Raut sedih karena kehilangan amat tampak di wajahnya. Ia menyesali diri, mengapa tidak sejak pertemuan pertama menerima tawaran mengaji.
“Mungkin sekarang Muhammad telah bisa membaca al-Quran jika sejak awal saya mengiyakan....”sesalnya.

Baudin menduga saya akan meninggalkannya, karena itu segera saya tegaskan padanya:
“Baudin! Di manapun saya tinggal, sepanjang saya mampu, saya akan tetap datang untuk mengaji bersama Muhammad. Sudah menjadi kewajiban saya mengajarkan al-Quran bagi yang belum bisa dan benar-benar ingin belajar”timpalku.
“Jangan pernah berpikir merepotkan, atau memberatkan, Baudin! Ini sudah kewajiban saya”lanjutku menegaskan.
“...lagipula saya diuntungkan dapat berlatih berbahasa Rusia dengan anda, khan?”
Keragu-raguan di matanya beranjak hilang, senyumnya mengembang membuatku senang.

Lantas Baudin membantuku mengemasi barang dan mengangkutnya ke mobil seorang staf yang turut membantu kepindahanku. Lift macet dan tidak dapat digunakan. Bantuan Baudin amat berarti bagiku.

“Baudin! Insya Allah setiap selasa dan Jumat saya akan datang ke kwartirmu untuk mengaji dengan Muhammad” ucapku saat berpamitan.
“Saya amat senang bertemu denganmu, Baudin! Kau adalah saudaraku dari Chechnya. Saya ingin sekali suatu saat dapat menginjakkan kaki di negerimu. Insya Allah..., saya akan datang ke kwartirmu...insya Allah” ucapku sambil menggengam erat tangannya yang kukuh.

“Spasiba, Ahmad! Saya selalu menunggumu, pasti menunggumu. Baiklah, Assalamu Alaikum, Ahmad!”ucapnya melepas kepindahanku.
“Wa alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh....., Salam Marsghail!” jawabku sambil menyambut pelukannya yang terasa sangat erat seakan hendak meremukkan tulang rusukku.
Salam Marsghail, Baudin......

Moskow, 20 April 2001

Ahmad Marzuki
Sekolah Indonesia Moskow
Novokuznetskaya Ulitsa 12
Moskow, Federasi Rusia

2 comments:

Anonymous said...

pak..bener nih..
mahu di publish..
haha..saya doain terkabul pak..amien..

Unknown said...

Assalamu'alaikum

Pak Ahmad...

ceritanya menarik, pandai Bapak menyusun alur cerita. Di bikin Novel aja ....
mana lanjutannya cerita keluarga Baudin...di tunggu...