Wednesday, April 05, 2006

Moskwa-4

SEBUAH DESA KECIL BERNAMA
MOSKWA
Catatan kecil seorang guru seminggu pertama di Rusia
Oleh: Ahmad Marzuki


Bagian IV

Senin, 24 Januari 2000
Hari pertamaku bekerja! segala sesuatunya harus beres. Jangan ada yang ketinggalan untuk dibawa: Kepercayaan diri dan penampilan prima.

Pagi hari, pukul 08.45 dengan langkah mantap aku berjalan ke arah gedung kecil di sebelah selatan KBRI, Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Gedung berbentuk huruf L bersebelahan dengan tempat tinggal duta besar, Wisma Duta.
Gedung tersebut penah menjadi poliklinik saat keseluruhan komplek merupakan Rumah Sakit Anak-anak. Setelah difungsikan sebagai kedutaan RI tahun 1954, gedung mungil di sudut utara tersebut menjadi tempat tinggal lokal staf jaga dan ruang kursus sebelum akhirnya menjadi Sekolah Indonesia.

Sekolah Indonesia di Moskwa telah ada sejak zaman orde lama, yaitu tahun 1963. Saat itu Duta Besar RI, Manaai Sophian, amat prihatin dengan ketiadaan lembaga pendidikan bagi anak-anak staf kedutaan. Kondisi politik stempat tidak memungkinkan mereka bersekolah di sekolah Sovyet. Situasi setelah peristiwa G30S semakin mendukung dibutuhkannya sekolah tersebut, untuk itu diajukan permohonan ke Jakarta. Hasilnya, pada tanggal 1 Agustus 1968, SIM dikukuhkan oleh SK menteri P dan K No. 06/P&K/1968 sebagai sekolah Indonesia di luar Negeri di bawah naungan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan bekerjasama dengan Departemen P dan K.

S nova v shkola!
Saat langkah kakiku memasuki aula SIM berukuran 6 x 8 m, para siswa yang berjumlah 25 orang dari tingkat TK hingga 3 SMU telah berdiri dengan rapi. Mereka mengenakan seragam jas dan celana biru dongker, hem putih, dasi merah, dan sepatu hitam. Suasana dingin di luar segera terbayar dengan kehangatan dalam ruangan dan senyum-senyum kecil anak-anak Indonesia.
Perkenalan singkat setelah upacara membuat keakraban tercipta. Suasana grogi yang sempat bersemayam dalam hati serta merta dapat kuantisipasi. Bu Erna Kusmaningsih, kabid Pensosbud KBRI Moskow, yang merupakan PJS Kepala SIM menghantarkan perkenalan kami.

Siang hari, saat istirahat siang, Pak Sholihin, Kaunit Komunikasi KBRI, mengajakku makan siang di luar KBRI. Pak Solihin adalah pejabat yang memperjuangkanku hingga dapat menorehkan sejarah hidup di Moskwa ini. Beliaulah yang merekrut kami --guru-guru baru—sejak dari wawancara, pengurusan berkas, keberangkatan, kontak Moskwa-Indonesia, hingga perkenalan di KBRI 3 hari yang lalu.

Kami berjalan kaki ke arah barat melintasi Pyatnitskaya Ulitsa, arah Metro Tretyakovskaya, dan singgah di restoran khas Rusia “Yolki Palki”. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa gaul artinya “Bodo Amat!”. Pak Abdullah yang turut mendampingi kami menjadi juru pesan jenis makanan yang akan kami makan. Ia cukup berpengalaman urusan hidangan Rusia yang ‘aman’ dimakan.

Dabro pozhalovath v nasyem restorane!
Urusan mengisi perut di Moskwa, tidaklah sesederhana di Indonesia dahulu. Bukan lantaran ketiadaan uang atau selera yang berlainan, tetapi status halal haram tentu harus selalu didahulukan. Di restoran ini tersedia berbagai jenis makanan yang menarik ala Rusia dan dari negri-negri sekitarnya. Makanan pembuka kami adalah salad berbagai sayuran dan buah-buahan. Tentu jangan dibayangkan akan selengkap sayur dan buah-buahan tropis. Sebagai bumbu pencampur salad ada banyak pilihan rasa, misalnya minyak olive, maionez, keju cair, dan lain-lainnya yang tidak kuketahui namanya. Jangan harap akan ditemukan sambel terasi, bumbu pempek atau sambel pecel. Selain di Rusia tidak mudah diperoleh cabe, juga budaya mereka yang tidak suka pedas. Sambel kecap yang mereka hidangkan lebih tepat disebut saus tomat asam-asin . Agak nano-nano rasanya!

Priyatnawa appetita!
Makanan kedua terhidang kepada kami sup bors merah tanpa daging dan roti baton khas Rusia. Lalu menyusul hidangan utama 2 pilihan: nasi plof atau pure kentang dengan lauk jamur. Dan hidangan kami ditutup dengan buah-buah segar: anggur, apel, dan pir. Sari buah jeruk dan teh hangat melengkapkan makan siang kami dan mengakhiri pengalaman pertama kami makan di restoran Rusia lebih dari 1 jam. Pelayan yang sedari tadi melayani kami mengucapkan terima kasih dan mengantar kami ke pintu keluar dgn ‘senyum dingin’ mereka yang khas.
Spasiba bolshoi, prikhodite k nam isyo!

Setelah makan siang, Pak Abdullah menyempatkan diri menukarkan uang di dekat stasiun metro Tretyakovskaya. “Orang Rusia tidak percaya dengan rubel mereka sendiri” komentar Pak Sholihin. Sejak dulu, apalagi pasca runtuhnya Uni Sovyet, bank-bank Rusia selalu terancam bangkrut dan uang rakyat yang simpan raib entah kemana. Sehingga kebanyakan orang Rusia, terutama penduduk Moskwa menyimpan uang dalam dollar di rumah mereka sendiri. Jika hendak berbelanja, barulah mereka tukarkan di ‘obmen valyuty’ yang banyak terdapat di hampir setiap perempatan jalan dan tempat strategis. Apalagi nilai rubel beberapa kali mengalami penurunan drastis. Pada masa akhir komunis tahun 1990, nilai 1 dollar sebanding dengan 1 rubel. Tetapi pada tahun 1997 nilai 1 dollar sudah mencapai 6 rubel. Setelah itu terjadi krisis moneter yang amat parah sehingga tahun 2000 nilai 1 dollar telah mencapai 28 rubel!! Kalau dibandingkan dengan krisis moneter di tanah air, maka kondisi Rusia sebenarnya jauh lebih parah. Hanya saja, latar belakang budaya kerja, sumber daya alam dan energi yang belimpah, dan supremasi hukum yang terkendali membuat Rusia tidak mengalami kehancuran dan krisis berkepanjangan. Kini sudah tampak begitu gencar pembangunan di berbagai sudut kota Moskwa.

Sore hari, setelah sekolah usai dan sholat magrib telah kutunaikan, aku beranikan diri berjalan sendiri ke luar pagar KBRI. Angin dingin minus 18 derajat selsius sedikit membuat gemeretak gigi dan memerahkan pipi. Ternyata saran sekuriti KBRI –Pak Tursino—untuk menggunakan krim kulit jika keluar gedung benar-benar harus diindahkan. Udara dingin bukan hanya membuat kulit membeku, kelembaban yang rendah kurang dari 20% dapat menimbulkan dehidrasi fatal.

Langkah kakiku berayun menyusuri Ulitsa Novokuznetskaya hingga perempatan Visnyakovski Pereulok. Sebuah ‘Gastronom’ yang menjual bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari berada di sudut gedung di pojok perempatan itu. Sejak zaman komunis, toko-toko yang menyediakan makanan dan kebutuhan sehari-hari tersebar di setiap blok.

Di Moskwa dan kota-kota besar lain di Rusia terdapat toko-toko yang menjual makanan dan bahan kebutuhan sehari-hari di jalan-jalan kecil yang disebut Produkti. Toko yang berukuran sedang yang terletak di jalan-jalan yang cukup besar disebut Gastronom. Sedangkan toko-toko besar di jalan utama disebut Universam. Aku beranikan diri untuk melihat ke dalam gastronom dan membeli sesuatu di sana. Beberapa potong roti kecil—pirozhki terdiri dari sochnik (berisi tvorog), pakhlava (berisi kacang mindal), ekler (dilapis coklat cair) dan sebotol coca cola berhasil kubeli. Dan seperti biasanya para penjual yang kutemui selalu memberikan bonus ‘sikap dingin’ dan tidak mau peduli. Masih perlu waktu untuk mengubah kultur mereka menghargai pembeli.

Sekembalinya dari gastronom, kusempatkan diri mampir ke ruang piket KBRI. Pak Dasep tengah bertugas saat itu didampingi Pak Setro Martoyo yang murah senyum. Percakapan ringan kami seputar aktivitas di KBRI dan suasana Mokwa di musim dingin menjadi menarik dengan hidangan pirozhki yang kubawa dan mie instan yang disediakan Mas Toyo, panggilan dari Bapak Setro martoyo. Pak Dasep telah 5 tahun di Moskwa. Ia cukup banyak mengetahui seluk beluk ‘desa’ ini. “Musim dingin adalah ciri khas Moskwa” tuturnya. Biasanya musim dingin dimulai awal Nopember. Salju pertama turun di pertengahan November. Musim dingin berlangsung amat panjang hingga akhir Maret tahun berikutnya. Berarti hampir 5 bulan lamanya Moskwa diselimuti salju. Jika kita jalan-jalan ke luar kota Moskwa, banyak sekali lokasi yang tidak dapat dicapai pada musim dingin. Jalan-jalan menuju ke desa-desa dan lokasi terpencil pada pertengahan Januari tertutup salju hingga 1,5 meter! “Kalau di Moskwa sih tidak masalah” timpal Mas Toyo. Pemerintah ibukota memiliki instansi khusus yang rutin mengeruk salju hampir setiap hari. Hanya saja jalan-jalan menjadi sempit karena salju di tengah jalan disingkirkan ke sisi jalan. Apalagi mobi-mobil penduduk Moskwa diparkir di kiri-kanan jalan, maka jalan 2 jalur menjadi tinggal 1 jalur dan membuat kemacetan berkepanjangan.

Aku teringat kisah Pak Adi kemarin. Penduduk Moskwa seluruhnya tinggal di kwartira (apartemen) dalam gedung-gedung bertingkat yang disebut dom. Tinggi dom bervariasi antara 5 hingga 16 lantai. Dom berlantai 5 tanpa lift dibangun masa pemerintahan Stalin. Kwartir di dom Stalin berukuran besar, tinggi (lebih dari 3 meter), terdiri atas 3-8 komnata (ruangan) selain kamar mandi dan dapur, dan memiliki tangga panjang yang landai. Kwartir tersbut diperuntukkan untuk pegawai pemerintah dan anggota CC Partai Komunis, sehingga banyak terdapat di pusat Moskwa.

Pada masa pemerintahan Kruschov dilakukan pembangunan dom secara massal untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal rakyat. Dom Kruschov terkenal sederhana, kecil, dan kommunal. Kamar mandi dan dapur pada setiap lantai dibuat terpadu, sehingga semua penghuni dalam satu lantai menggunakan kamar mandi dan dapur secara bersama (kommunal). Dom dibangun berlantai 6, tanpa lift, dan tersebar di bebagai penjuru Moskwa.

Setelah Kruschov lengser dari pemerintahan tahun 1967, pemerintahan Brezhnev melakukan kebijakan pembangunan dom yang menghemat penggunaan lahan. Dom dibuat berlantai 16, menggunakan lift ganda (besar dan kecil), ukuran kwartira standart 2--4 komnata, dan setiap dom dilengkapi dengan produkti, taman bermain anak, dan taman-taman kecil sebagai paru-paru Moskwa.

Masalahnya, semua tata kota Moskwa menggunakan prinsip proletariat. Semua warga Moskwa tidak diperkenankan memiliki kendaraan pribadi. Untuk transportasi, negara telah menyediakan berbagai macam fasilitas seperti bis(avtobus), bis listrik (tralibus), trem (tramvai), mikrobis (masrutnoye taksi), dan kereta bawah tanah (metro). Karena itu semua dom yang dibangun tidak diperlengkapi dengan garasi mobil. Alhasil, pasca perestroika dan glasnost, rakyat Moskwa yang euphoria dengan kebebasan berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Karena tidak memiliki garasi pribadi, mereka menjadikan sisi jalan sebagai tempat parkir. (Bersambung ke Bagian 5).

No comments: